Bu Guru Dhita

718 Words
Pagi menjelang, perlahan menampakkan terang di atas cakrawala. Jauh di sebelah utara, samar tampak gunung yang berselimut kabut, memberikan kesan misterius bagi yang melihat. Sejak ayam jantan pertama berkokok, Dhita sudah bangun dari tidurnya. Dua hari berlalu sejak kedatangan Dhita di tempat barunya itu, dan kini saatnya dia untuk melakukan tugasnya. Pukul setengah 7, Dhita keluar dari rumahnya. Seorang ibu berusia sekitar tiga puluhan awal yang kebetulan lewat di depan rumahnya, melihat padanya. "Pagi Bu." Sapa Dhita, mendului. "Pagi ... kamu yang menyewa rumah ini?" tanyanya, bergantian melihat pada Dhita dan rumah di belakangnya. "Iya Bu, benar. Perkenalkan, nama saya Dhita." Dhita mengangsurkan kedua tangannya untuk memperkenalkan diri. " Oh, sendirian?" tanyanya cepat, secepat dia menarik kembali tangannya setelah bersalaman dengan Dhita. "Iya." "Memangnya, di sini 'ngapain'? kerja atau apa?" selidiknya dengan mimik ingin tahu yang kentara. "Saya guru magang di SMA 250." Jelas Dhita, tak sedikit pun menghilangkan senyum di wajahnya. "Single?" "Iya Bu." Dhita mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang sepertinya tetangga rumahnya itu. Ditambah lagi raut muka si penanya yang tidak bisa dibilang ramah. "Maaf sekali Bu, saya harus pergi sekarang, kebetulan ini hari pertama saya mengajar, saya tidak ingin terlambat." Pamit Dhita, berusaha agar lawan bicaranya tidak tersinggung. Tapi memang benar dia harus segera pergi jika tidak ingin terlambat. Meski jarak sekolah dari rumahnya terbilang dekat, tapi dia belum tahu situasi jalanan yang akan ditempuhnya. "Oh ya sudah, silahkan." "Kalau begitu saya permisi dulu. " Pamit Dhita masih tetap menjaga kesopanannya. Lagipula dia akan tinggal di sini lumayan lama, jadi dia harus menjaga hubungan baik dengan para tetangganya. Lima menit berjalan menuju gang depan, sebuah angkutan kota sudah menunggunya dengan setia. Berbeda dengan angkot yang ada di kotanya yang selalu penuh di jam-jam sebelum bekerja atau sekolah seperti saat ini, angkot di sini tampak lengang dan jarang penumpang. Lalu lintas jalanan pun tak sepadat jalanan di kota besar. Sepuluh menit perjalanan, Dhita sudah tiba di depan sekolah. Komplek bangunan satu lantai bercat abu tua di depannya sudah banyak dipenuhi anak-anak berseragam putih abu. Beberapa pedagang kaki lima berderet rapi di luar pagar sekolah, dengan seorang satpam yang mengatur lalu lalang para siswa yang akan masuk. Satpam sekolah yang masih terlihat muda itu tidak terlewat memandangi Dhita. Dhita pun tersenyum ramah ketika berjalan melewatinya. Beberapa siswa yang menyadari kehadiran Dhita, ikut memperhatikannya. Sebagian berbisik-bisik, sebagian cuek, sebagian lagi terang-terangan memandanginya. Memasuki koridor sekolah, seorang siswa perempuan yang berjalan di depannya membuang sebuah plastik bekas makanan dengan sisa saus di dalamnya. Dhita yang melihat hal itu, segera menghentikan siswa di depannya. "Hei, kamu!" panggil Dhita dengan senyuman di wajahnya, namun sosok di depannya tampak acuh dan terus berjalan. "Permisi, kamu ... " ujar Dhita sambil memegangi lengan gadis di depannya. Gadis itu mengibaskan tangannya dan berbalik pada Dhita. "Apa?!" serang gadis itu dengan intonasi tinggi. "Maaf, sepertinya kamu 'menjatuhkan' sampahmu." Ujar Dhita. "Ck, penting emang? nanti juga ada petugas yang membersihkan!" "Masalahnya kamu membuangnya tepat di depan papan 'jangan buang sampah sembarangan'. Dan di dekatnya ada tong sampah yang bisa kamu pakai untuk membuang sampah kamu." "Alaaahh, sok repot banget sih! dahlah aku harus ke kelas!" ucap gadis itu. Beberapa siswa memperhatikan perdebatan mereka. Namun Dhita tak menyerah untuk membuat gadis itu memahami tindakannya. "Kimira! nama yang manis, saya berharap kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, cantik wajah dan perilaku." "Apa sih, jangan sok tahu!" Tanpa diduga siswi bernama Kimira itu mendorong Dhita, dan membuatnya menabrak siswi lain yang berada di belakangnya. "Jangan lupa sampahnya, Kimirla." Ucap Dhita tak menyerah. Dengan sedikit menaikkan nada bicaranya, dia menyunggingkan seulas senyum saat Kimira menatapnya. Gadis itu membungkukkan badan memungutnya, dan dengan cepat memasukkannya ke dalam tong sampah. Namun karena dia melakukannya dengan terpaksa dan penuh emosi, saus di dalamnya tercecer dan hampir mengenai sepatu Dhita. "Sudah, Tuan Putri! puas?!" seru Kamila mengibaskan tangannya dan bergegas pergi dari sana. Para siswa yang melihat kejadian itu membubarkan diri setelah Dhita menyuruh mereka untuk segera memasuki kelas. Memasuki ruang guru, Dhita disambut oleh Kepala Sekolah yang sudah berada di dekat mejanya. "Selamat datang Bu Dhita, hari pertama mengajar semoga lancar dan membuat Anda semakin betah berada di sini. Kalau ada kendala apapun, Anda tinggal katakan pada saya. Dengan senang hati saya akan membantu dan memastikan Anda mengajar dengan nyaman." Kata sambutan dari Kepala Sekolahnya itu

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD