PART 1 - Kepulangan

2537 Words
"Kau sudah sampai, Rasaya?" Rasaya menarik napas panjang, menghirup udara di sekitarnya yang terasa asing. Sudah dua tahun ia meninggalkan negara itu, semua tampak berbeda dari yang terakhir ia lihat. Selain udara yang memburuk, sinar matahari di negara itu membuat Rasaya sedikit tak nyaman. Rasaya mengeluarkan semua udara di paru-parunya dengan menghembuskannya cepat. Seorang pria tua pelontos mendatanginya sambil tersenyum lebar, wajahnya terasa tak asing. Laki-laki itu berhenti di depan Rasaya lalu membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. Ketika mengingatnya, Rasaya tersenyum singkat lalu memberikan koper yang sudah lama ia pegang ke pria tua itu. Rasaya berjalan di belakangnya. Merasa sedikit jengkel karena kedatangannya hanya disambut oleh sopir keluarganya. Padahal selama ini orang tuanya memohon Rasaya agar segera pulang. Tapi sekarang, setelah Rasaya menurutinya, mereka bahkan tidak meluangkan waktu untuk menjemput Rasaya di bandara. Rasaya sangat kesal dan hampir lupa bahwa ponselnya masih tersambung dengan seseorang. "Iya, Nek?" tanya Rasaya memastikan teleponnya masih terhubung. Rasaya mendengar neneknya di seberang sana mendesah panjang dan menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar Rasaya. "Kau sudah sampai? Bagaimana? Apa sudah bertemu dengan ibumu?" "Bahkan Mami tidak menjemput. Aku sangat kesal. Apa mereka lupa bahwa hari ini aku pulang?" "Tidak mungkin. Kemarin malam Nenek menyuruh ibumu untuk menjemputmu, Sayang. Bisa-bisanya mereka memperlakukan cucu nenek seperti ini." Rasaya membantu Pak Supardi, supirnya, untuk memasukkan barang-barangnya ke bagasi mobil. "Rasaya, kalau kau tidak mau tinggal di rumah ayahmu, kau bisa tinggal di rumah Nenek. Nenek akan pulang ke Indonesia seminggu lagi, setelah menyelesaikan surat-surat penting di sini." "Tidak perlu. Aku akan tinggal di rumah. Aku sudah meninggalkan ayah dan Mami terlalu lama," ucap Rasaya sambil memasuki mobil. "Baiklah jika itu yang kau mau. Tapi ingat Rasaya, bahwa nenek akan selalu di pihakmu. Kau tahu itu, kan? Nenek tidak akan mengkhianatimu seperti yang orang tuamu lakukan." "Rasaya tahu, Nek." Rasaya menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. Jalanan cukup macet karena saat ini waktu pekerja kantor pulang. Rasaya membuka kaca mobilnya, mengambil rokok di sakunya, lalu menyalakan api. "Nek, aku tutup dulu. Aku akan menghubungi nenek lagi nanti," ucap Rasaya lalu memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban neneknya. Rasaya tahu, pasti neneknya di sana mengutukinya karena berbuat tidak sopan kepadanya. Rasaya memasukkan batang rokok di sela-sela bibirnya. Melihat Pak Supardi yang menatapnya dengan sembunyi-sembunyi. Mungkin ia kaget karena Rasaya yang polos dan manis berubah menjadi perempuan yang berani merokok di mobil ayahnya. "Jangan bilang ke Ayah kalau aku merokok atau aku akan memecatmu!" ancam Rasaya sambil menatap tajam pria tua di depannya. "Satu lagi, setelah aku keluar, bagaimanapun caranya, Pak Supardi harus menghilangkan bau rokok di mobil ini. Kalau sampai Ayah menciumnya dan curiga padaku, aku akan memecatmu juga." Rasaya bukan lagi seorang putri yang dulu di ingat semua orang. Sekarang, ia akan menjadi perempuan yang akan memiliki setiap apa yang ia inginkan. Rasaya tidak akan tersenyum kepada semua orang seperti yang orang tuanya ajarkan padanya. Dia tidak akan bersusah payah menghormati semua pelayan di rumahnya. Dunianya sudah berubah. Di Belanda, semua orang memperlakukan Rasaya berbeda daripada di Indonesia. Neneknya memperlakukannya seperti ratu yang bisa melakukan apapun yang Rasaya mau tanpa bekerja keras. Neneknya mengajarkan, kalau ada orang yang lebih rendah darimu, perlakukan mereka sebagaimana posisi mereka. Batu tidak akan menjadi permata walau kau mengubahnya menjadi kalung dan memakainya di lehermu yang cantik. Batu akan tetap menjadi batu. Sam-pah akan tetap menjadi sam-pah. Neneknya terlahir dari keluarga konglomerat tertua di Indonesia, memiliki banyak hotel bintang lima yang terbesar di seluruh negeri. Hotel-hotel itu dikelolanya seorang diri dengan bantuan orang-orang kepercayaannya. Meskipun neneknya selalu memanjakan Rasaya dengan barang-barang mewah, neneknya juga mengajarkan Rasaya agar tidak tunduk kepada siapapun. Tidak memperlihatkan kelemahannya kepada siapapun. Kata neneknya, kelemahan bisa berbentuk kebaikan dan rasa cinta. Jadi, jangan memberikan dua hal itu secara berlebihan. Neneknya bahkan tidak pernah menikah, karena dengan menikah, artinya ia menggantungkan dirinya pada orang lain. Neneknya memiliki dua anak yang ia adopsi dari panti asuhan. Rama, pamannya yang sudah meninggal, dan Helen - ibunya. Hingga sekitar sepuluh tahun yang lalu, Neneknya memutuskan pindah ke Belanda, ke negara ayahnya. Di sana, neneknya mencoba untuk menulis novel. Neneknya memang hobi menulis cerita detektif dari dulu. Sebagian tulisannya sudah diterbitkan di Belanda. "Sudah sampai, Nona Rasaya," kata Pak Supardi setelah Rasaya baru menghabiskan setengah dari rokok keduanya. Rasaya segera membuang batang rokok itu ke asbak kecil di tasnya lalu menyemproti tubuhnya dengan parfum. Ia melirik tajam ke Pak Supardi sebagai ancaman lalu melenggang pergi. Rumah keluarga Rezardhi sangat besar. Ada tiga bangunan dengan bangunan tengah sebagai rumah utama. Rumah itu di desain seperti gaya Eropa dengan cerobong asap di tengah atap yang menonjol tinggi, juga dua pilar di pintu masuk yang terhubung dengan balkon lantai dua yang terlihat sangat kokoh dengan ukiran dewa-dewa. Di halaman ada air mancur besar yang di kelilingi pohon-pohon kecil yang menyala warna-warni ketika malam. Sedangkan dua bangunan lain, yaitu bangunan kecil di belakang rumah utama, berdiri tempat tinggal para pelayan dan keluarga mereka. Satu lagi, bangunan kecil dengan kebun bunga di depannya yang berbatasan dengan bangunan utama. Rumah itu sebenarnya digunakan bagi para tamu yang ingin menginap. Tapi, sejak sepuluh tahun yang lalu, Rasaya tahu bangunan itu sudah dihuni oleh seseorang. Ketika turun dari mobil, Rasaya melihat mobil hitam dengan logo perusahaan ayahnya terparkir di depan rumah. Karena menghalangi mobil Pak Supardi yang ada di belakangnya, Rasaya berniat menyuruh mereka pindah. Ia mengetuk pintu mobil beberapa kali, tapi tidak ada yang membuka pintu. Rasaya mengintip ke dalam mobil dan menemukan seorang perempuan berkaos putih yang tak asing sedang berciuman dengan laki-laki berjaket hitam. Mereka berciuman dengan sangat intim, bahkan tangan laki-laki itu sudah berada di dalam baju sang perempuan. Tangan Rasaya mengepal erat dan memukul pintu mobil itu lagi ketika mengenali sang perempuan adalah Aleene, adiknya. Rasaya berniat melabrak dua orang itu jika saja Helen tidak datang. "Rasaya," panggil ibunya lalu memeluk Rasaya sangat erat. Menciumnya di seluruh wajahnya yang membuat Rasaya tersenyum geli. "Ayo masuk ke rumah! Mami sudah membuat makanan kesukaanmu." "Bentar, Mi," ucap Rasaya sambil membalikkan badannya, tapi mobil hitam itu sudah pergi. "Apa yang kau cari? Biarkan Pak Supardi yang membawa barang-barangmu ke rumah. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya." Rasaya hanya tersenyum kecil, menatap lembut ibunya yang masih mengira Rasaya anak baik yang mengkhawatirkan semua orang di rumah ini. Rasaya mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah besar yang hangat itu. Rumah itu penuh dengan dekorasi kayu yang cantik dan antik. Rasaya masih menemukan koleksi boneka kayunya yang terpajang indah di lemari kaca di ruang tamu. "Rasaya!" teriak ayahnya sambil merentangkan tangannya lebar. Rasaya mendekati ayahnya dengan sedikit berlari, lalu memeluk pria yang terlihat semakin tua itu dengan penuh kerinduan. "Akhirnya kau pulang juga. Kalau kau tidak pulang dalam satu bulan ini, ayah akan menyeretmu dari Belanda. Dasar anak nakal!" "Aku baru menyelesaikan penelitianku, Ayah. Aku tidak bisa meninggalkannya tiba-tiba," kata Rasaya. Reno, ayah Rasaya menggeleng kuat. "Tidak ada yang melarangmu melanjutkan kuliah di sana. Tapi kau tidak pernah pulang selama dua tahun ini. Bagaimana bisa kau melakukan ini pada kami?" Rasaya melihat ibunya berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan. "Jangan berlebihan. Aku lapar. Lebih baik kita makan dulu." Mereka makan siang bersama. Rasaya mendengar cerita dari ayahnya tentang beberapa hal. Meskipun ketika di Belanda, orang tuanya selalu menerornya dengan telepon yang tidak pernah berhenti, tapi Rasaya merasa senang bisa mengobrol dengan ayahnya langsung seperti sekarang. "Adikmu sedang sibuk belajar untuk masuk kuliah kedokteran. Aleene selalu pulang malam hari," jawab Helen ketika Rasaya bertanya di mana adiknya berada. Kening Rasaya berkerut. Perempuan di mobil tadi jelas-jelas adiknya. Rasaya tidak mungkin salah mengenali adiknya, apalagi mereka berhenti tepat di depan rumahnya. Tapi siapa laki-laki di mobil tadi Rasaya sesekali mengobrol di telepon dengan adiknya, tapi Aleene tidak pernah mengatakan apapun soal pacarnya. Ia hanya bilang sedang sibuk belajar. Seorang laki-laki berjaket hitam, dengan logo perusahaan di belakangnya memasuki ruang makan. Laki-laki itu melihat sekilas pada Rasaya, terlihat sedikit terkejut, tetapi berhasil menutupinya. Lelaki itu lalu membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air mineral dan meneguknya. Rasaya menghentikan kegiatan makannya, mengamati laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia adalah Randi. Rasaya sempat melupakan keberadaan laki-laki itu di rumah ini. Dua tahun yang lalu, Rasaya pulang ke rumah dan Randi sedang berada di Palembang - di kantor cabang Rezardhi Grup - mengurusi masalah teknis di sana. Rayasa berada di rumah lebih dari dua bulan dan ia tidak pernah bertemu Randi. Tapi sekarang, melihatnya dengan leluasa mondar-mandir di rumahnya membuat Rasaya tak suka. Kenapa laki-laki itu belum pindah dari rumahnya? Bukankah dia sudah punya cukup uang untuk membeli rumah sendiri? Randi membuka jaket hitamnya. Rasaya dapat melihat laki-laki itu memakai kemeja proyek berwarna merah yang sering ia lihat dulu ketika mengunjungi pabrik ayahnya. Mungkin laki-laki itu sudah menjadi senior engineer atau malahan sudah menjadi manager produksi, melihat bagaimana ayahnya selalu membanggakan laki-laki itu. Melihat dari status pendidikannya, Rasaya tahu kemampuan laki-laki itu tak bisa dianggap remeh. Kalau Rasaya ingin memasuki perusahaan ayahnya dari bawah, Rasaya mau tak mau akan bersaing lagi dengan Randi. Seperti tahu bahwa Rasaya sedang mengamatinya, laki-laki itu mendekati meja makan dan menarik kursi di depan Rasaya. Wajah Randi berkeringat dengan rambut acak-acakan, kulitnya bewarna lebih coklat daripada yang terakhir kali Rasaya ingat. "Jam berapa kau datang? Kalau tahu, pasti aku akan menjemputmu," kata Randi. Rasaya hanya menatap tajam laki-laki itu tanpa berniat menjawabnya. Tapi melihat Helen memelototinya, Rasaya menyerah, "Baru saja. Pak Supardi menjemputku. Kau tidak perlu khawatir," ucap Rasaya ketus dan menekankan setiap kata di kalimat terakhirnya. Randi menganggukkan kepalanya, masih melihat Rasaya yang sedang makan. Merasa tidak nyaman dengan tatapan laki-laki itu, Rasaya menatapnya tajam. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" "Tidak." Randi mendekatkan kepalanya pada Rasaya. "Sudah enam tahun tidak melihatmu. Kau terlihat sudah dewasa, Ra." "Jadi maksudmu selama ini aku terlihat seperti anak kecil?" Rasaya merasa darahnya mendidih. Apa maksud Randi mengatakan hal itu di depan orang tuanya? Randi hanya mengedikkan bahunya tanpa menjawab pertanyaan Rasaya. Itu membuat Rasaya semakin kesal. Apalagi saat melihat kedua orang tuanya senyum-senyum dengan perkataan Randi. Rasaya menyudahi acara makannya. Merasa dirinya sudah tidak nafsu makan lagi. Setiap kali ada Randi, suasana hatinya tidak pernah baik. "Rasaya, ayah ingin bilang sesuatu." Rasaya sudah bersiap untuk berdiri ketika mendengar ayahnya bersuara. "Rasaya, kau tidak perlu buru-buru masuk perusahaan. Kau baru pulang dari Belanda, lebih baik dalam satu bulan ini, kau istirahat dulu di rumah atau berkunjung ke rumah kakekmu di Bali untuk berlibur," ucap ayahnya. Rasaya berpikir sebentar, tawaran ayahnya sungguh menggiurkan, apalagi sudah lama sejak ia berkunjung ke Bali. Tapi, satu bulan terlalu lama. Rasaya harus segera memulai karirnya dan sehingga ia akan matang menjadi pengganti ayahnya saat ia berusia tiga puluh tahun. Itu adalah cita-cita Rasaya sejak dulu. Rasaya sudah merencanakan, bahwa empat tahun dari sekarang ia akan menjadi Direktur Utama Rezardhi Grup atau setidaknya menjadi wakil ayahnya. "Tidak perlu, Ayah. Aku akan mulai ke kantor besok senin. Berikan saja posisi kosong di kantor untukku. Aku tidak suka di rumah tanpa melakukan apapun." Setelah mengatakan itu, Rasaya menaiki tangga ke lantai dua. Membaringkan tubuhnya di ranjang yang sudah bersih. Tidak ada sebercak pun debu, tidak ada tanda-tanda kamar itu ditinggalkan pemiliknya selama dua tahun. Rasaya setidaknya harus berterima kasih kepada Bibi Piria yang selalu membersihkan kamar dan barang-barangnya. Rasaya mengambil ponselnya di tas, melihat pesannya yang belum juga dibalas oleh Araf, pacarnya sejak lima tahun yang lalu. Akhir-akhir ini Araf tidak pernah menghubunginya. Araf bilang dirinya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Rasaya tahu laki-laki itu sedang sibuk dengan perusahaan konsultannya yang sedang berkembang pesat. Rasaya hanya memaklumi dan menghargai waktu yang dibutuhkan laki-laki itu. Tapi, tidak membalas pesannya selama dua hari adalah sesuatu yang lain. Malamnya, saat tak juga ada kabar dari Araf, Rasaya memutuskan untuk menemui laki-laki itu di apartemennya. Rasaya mengambil kunci apartemen yang diberikan Araf kepadanya dulu. Araf belum tahu bahwa ia pulang, Rasaya dapat membayangkan laki-laki itu akan terkejut dengan kedatangannya. "Mau kemana, Raya?" tanya ibunya ketika melihat Rasaya menyelinap keluar rumah hampir tengah malam. Ibunya selalu memanggilnya Raya, nama panggilannya saat kecil. Rasaya tampak ragu, ia tidak mungkin mengatakan akan ke tempat laki-laki tengah malam seperti ini. Meskipun Rasaya terbiasa dengan dunia malam, tapi orang tuanya tidak terbiasa dengan gaya hidup baratnya itu. Keluarganya menjunjung tinggi nama baik keluarga. "Aku akan ke rumah Rubi. Memberikan oleh-olehnya dari Belanda. Besok dia ada penerbangan ke Australia, jadi aku harus memberikannya sekarang." Rubi adalah teman masa sekolahnya yang sekarang bekerja sebagai pramugari di maskapai internasional. Hanya Rubi teman yang Rasaya miliki di sini. Rasaya tak pernah pandai dalam hal bersosialisasi. Rasaya tidak merasa membutuhkan kemampuan itu. "Mami akan menyuruh Randi menemanimu." Rasaya mencegah ibunya pergi. Yang benar saja, Rasaya akan pergi ke rumah pacarnya dan ia harus bersama dengan Randi? "Tidak perlu. Raya bisa menyetir sendiri. Mami tidak perlu khawatir," kata Rasaya. "Tidak boleh. Kau harus bersama Randi. Tidak baik anak perempuan keluar sendiri tengah malam seperti ini. Apalagi kamu baru pulang dari Belanda. Bagaimana kalau ada penjahat di jalan? Siapa yang akan menyelamatkanmu? Setidaknya dengan Randi, Mami bisa tidur dengan tenang." Rasaya memutar kepalanya jengah. Selalu seperti ini. Ibunya tidak pernah mempercayainya. Rasaya bukan anak kecil. Di Belanda ia selalu pulang malam dan neneknya tidak pernah mengkhawatirkannya. Neneknya selalu percaya bahwa Rasaya tidak akan melakukan hal di luar batas. Tapi di rumah ini, Rasaya menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah memiliki kebebasan. Bahkan adiknya bebas berciuman dengan laki-laki di dalam mobil. Padahal adiknya itu baru berumur delapan belas tahun. Demi segera bertemu Araf, Rasaya mengiyakan permintaan ibunya. Sepuluh menit kemudian, mobil Randi sudah berada di depan rumah. Laki-laki itu dengan tampang datar menyuruh Rasaya masuk mobil. Rasaya sempat melayangkan tangannya kepada ibunya yang melihatnya dari pintu rumah. "Kau tahu bukan kalau sebenarnya aku tidak ingin ke rumah Rubi? Antar aku ke apartemen Araf," ucap Rasaya ketika mobil mereka sudah keluar gerbang rumah Rasaya. "Tapi--" Rasaya memotong kalimat Randi, tahu bahwa laki-laki itu pasti akan membantah dirinya. "Antarkan aku ke apartemen Araf atau turunkan aku di sini. Aku bisa memesan taksi. Kau tidak perlu membuang waktumu untuk hal tidak berguna seperti ini." Melihat Randi tidak membuka mulutnya lagi, Rasaya mendesah lega. Setidaknya laki-laki itu tidak membuat hatinya semakin buruk malam ini. Sampai di depan gedung apartemen Araf, Rasaya keluar dan mencegah Randi ikut keluar bersamanya. Laki-laki itu harus tahu batas. Tidak mungkin ia mencampuri semua urusannya. "Rasaya, aku akan menunggu di sini dua puluh menit." Rasaya menatap tajam Randi yang berdiri di samping mobilnya, "Apa maksudmu? Kalau kau tidak mau menungguku, pergi saja sana! Urusanku dengan Araf tidak cukup hanya dua puluh menit." "Dua puluh menit atau aku akan menyusulmu," ucap laki-laki itu. Rasaya tahu kadang-kadang, Randi sangat keras kepala sehingga ia tidak bisa mengubah pendirian laki-laki itu. "Terserah kau saja! Aku akan mengunci kamar Araf," ujar Rasaya kesal. Rasaya meninggalkan Randi yang kembali memasuki mobilnya. Pulang nanti, ia tidak akan kembali pada laki-laki itu. Rasaya akan naik taksi atau menyuruh Araf mengantarnya pulang dan membuat Randi semalaman menunggunya. Itu adalah balasan kecil karena membuat suasana hatinya buruk hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD