Pembicaraan pertama

1163 Words
"Gak mati kan?" Tanya Eyang Dira menekan nekan ujung hidung Bara. "Cucu kesayangan Eyang, kenapa ketimpuk?" "Bu, siku anda bisa membuat Tuan Bara sesak." Sekretaris Bara mengingatkan ketika posisi Eyang Dira menekan d**a Bara dengan sikunya. Eyang Dira menarik napas dalam, menegakan tubuhnya dan menatap pada pelayannya. "Kenapa kamu tindih dia?" "Tiranti gak sengaja, Eyang, tadi mau ambil mangga yang lebih muda tapi malah jatuh," Ucap gadis muda itu menunduk merasa bersalah. "Lebih baik Ibu istirahat saja. Tuan Bara mungkin akan sadar keesokan harinya." Eyang Dira mengecup kening sang cucu sebelum akhirnya melangkah pergi dari kamar tersebut. Sementara Tiranti masih diam, menatap pria yang celaka karena ulahnya. Tidak tau diri sekali dirinya sudah dibesarkan oleh Eyang Dira dan malah melukai cucu kesayangannya. "Maaf, Tuan. Tadi saya gak sengaja." "Tiranti ayok keluar. Biarin dia istirahat. Besok kamu harus sekolah." Tiranti, perempuan berusia 18 tahun yang diurus oleh Eyang Dira sejak usianya 9 tahun. Bukan diangkat menjadi anak, Tiranti disekolahkan supaya dia bisa membalas jasa Eyang Dira dengan cara merawat dan menemaninya di sini. Sekretaris Bara juga baru pertama kali melihat gadis itu, begitupula dengan Tiranti yang baru melihat kedua orang tersebut. "Yang tadi itu anaknya Tuan Graha, Eyang?" "Iya namanya Bara, dia emang suka sibuk sendiri makannya jarang ke sini.Kamu suka sama dia gak?" Tiranti menggeleng, mana mungkin dia suka dengan pria itu. Maksudnya, mana berani juga. "Tiranti merasa bersalah, Eyang." "Gak papa, semoga besok dia sadar. Sekretaris pribadinya itu juga seorang mantan perawat kok. Jadi dia pasti tau kalau Bara baik baik aja. Tolong kamu siapin tempat tidur Eyang, jangan lupa kantong air panasnya." Mungkin banyak pelayan di sini, tapi Tiranti yang lebih intens melayani Eyang Dira untuk hal hal pribadi seperti ini. Membasuh kaki Eyang Dira, menyisirkan rambutnya dan menyelimuti sang majikan. Bahkan kamar Tiranti juga ada di samping kamar Eyang Dira. "Udah sana kamu istirahat juga." "Iya, Eyang." Keluar dari kamar, Tiranti menatap pintu dimana cucunya Eyang berada. Masih merasa bersalah, apalagi Tiranti ingat posisi pantatnya yang langsung mengenai leher Bara. "Tuhan, semoga leher Tuan tidak patah." *** "Tuan tidak apa apa?" Itu kalimat pertama yang Bara dengar ketika membuka mata. Gadis cantik yang duduk di bibir ranjang sambil menatap dengan mata bulatnya. Saat manik itu terbuka sepenuhnya, jantung Bara berdetak dengan kencang. Diingat ingat lagi, Bara pernah berdegub seperti ini ketika Eyang Kakungnya mati. Berbeda dengan sebelumnya, degupan itu kini terasa sangat nyaman. "Kamu… ?" "Saya yang nindih Tuan nya. Maaf." "Bidadari?" Tangannya terulur menyentuh pipi Tiranti. Yang berhasil membuat perempuan itu menahan napasnya sesaat. Plak! "Aw! Sakit, Tuan!" "Aduh maaf, saya kira kamu gak nyata. Maaf ya." Mengelus pipi yang terasa begitu halus. "Tidak apa apa, Tuan. Saya baik baik saja." Tiranti melepaskan tangan Bara dari pipinya. "Bara," Ucap Eyang Dira datang dengan wajahnya yang panik. "Ada yang pusing, Nak?" "Enggak, Eyang." Matanya masih terpaku pada Tiranti yang ada di sana. "Tiranti, kamu ke sekolah sana. Udah siang." "Sekali lagi saya minta maaf, Tuan," Ucapnya sebelum melangkah keluar dari sana. Eyang Dira sadar apa yang sedang dilihat oleh sang cucu. "Namanya Tiranti. Dia dibawa sama Eyang dari panti asuhan buat jaga Eyang di sini. Kamu gak pernah ketemu sama dia sih, soalnya kalau ke sini suka sebentar. Umurnya baru 18 tahun, dia sekarang mau Ujian Nasional." Mengelus rambut sang cucu. "Bara ada yang sakit nggak?" "Nggak, Eyang." Bara menggenggam tangan sang Eyang dan tersenyum padanya. "Eyang, Bara mau dijodohin lagi sama cewek yang sama. Bara gak suka. Makannya Bara kabur ke sini." "Kenapa? Kan Bara emang udah cocok jadi seorang suami. Umurnya udah pas." Bara terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Belum siap, Eyang. Takut gak cocok." "Gimana kalau sama Tiranti?" "Maksud Eyang?" "Eyang yang besarin dia. Dia gak akan pernah berkhianat kayak yang ada dalam ketakutan kamu, Nak. Jadi dia bisa jagain dan jadi istri yang baik buat kamu. Eyang yang besarin dia sendiri." Bara? Mau saja, toh anak itu memang cantikkkkk! Dia juga pasti penurut. Hanya saja, memangnya dia mau dengan Bara? *** Minggu depan, Tiranti selesai ujian nasional. Eyang Dira sudah menjamin biaya kuliah dan juga yang jajannya. Tiranti merasa hidupnya begitu penuh dengan keberuntungan. Meskipun dia was was dengan kondisi cucu eyang Dira, khawatir uang jajannya dikurangi oleh Eyang Dira nantinya. "Ran, langsung pulang?" "Iya, bye semuanya." Meskipun dengan mengurus Eyang Dira berarti membuat kehidupan remajanya dihabiskan untuk wanita tua itu. Melakukan perintahnya seperti sekarang Eyang Dira titip beli makanan kesukaannya. Pulang ke rumah tua yang megah, Tiranti meringis melihat masih ada mobil yang semalam datang. Pria bernama Bara itu masih di sini ternyata. Masuk ke rumah dan melihat ke sekitar, tidak ada siapapun di sini. Kemana semua orang? Sementara itu, Bara yang merencanakan hal ini. Dia memberikan yang pada Eyang supaya bisa pergi dengan pembantunya yang lain, dan Bara bisa berdua bicara dengan Tiranti. "Hai?" "Oh ya ampun!" Tiranti kaget dan berbalik. "Hallo, Tuan." Menyapa dengan sopan. "Maaf ya, pertemuan pertama kita gak baik. Saya Bara." "Tiranti." Menjabat tangan pria bertubuh besar di depannya. "Maaf juga buat nampar kamu tadi pagi. Saya pikir kamu hanya ilusi." "Gak papa, Tuan. Harusnya saya yang minta maaf karena sudah melukai malam tadi. Maaf ya." "Bisa gak kita ngomongnya sambil duduk aja?" "Oh boleh." Tiranti mengikuti langkah Bara untuk duduk di sofa. "Eyang pada kemana ya?" Bukannya menjawab, Bara malah menatap Tiranti dari atas ke bawah. Sedang membaca karakter gadis ini. Menarik, dia terlihat pendiam dan juga penutur. Ditampar saja tidak marah. Jadi, mungkin Bara bisa mengambil langkah lebih? "Saya itu cucu kesayangannya Eyang. Apapun yang saya katakan selalu Eyang turuti. Apalagi saya satu satunya cucu laki laki Eyang Dira yang akan mewarisi semua kekayaannya." Oke, jadi Tiranti harus apa sekarang? "Iya, Tuan?" "Udah sih, mau bilang itu aja." Niatnya untuk mengancam Tiranti terhenti ketika Bara melihat seragam SMA milik gadis itu. Tidak tega jika melakukannya, dia masih dalam masa pertumbuhan. Kenapa Bara malah jatuh cinta dengannya? Apalagi ketika Tiranti tersenyum dengan polos dan bertanya, "Tuan sudah makan siang? Mau saya buatkan? Sekalian saya mau bikin buat Eyang?" Nah, sudah cocok sekali jadi seorang istri. "kamu sudah punya pacar?" "Belum, Tuan." Ternyata benar apa yang dikatakan Eyang Dira. Bara jadi tidak sabaran untuk memilikinya. hati ini berlabuh begitu saja pada perempuan ini. Jantungnya berdetak seolah mengatakan, "Bara, inilah orang yang tepat untukmu." "Udah gak ada yang diomongin, Tuan? saya mau.... ganti baju dulu." "Silahkan." Tiranti merasa janggal dengan Bara, dia buru buru masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian. sementara Bara memilih untuk menenangkan pikiran dari keinginan menggebu untuk memiliki Tiranti. "Jangan gitu, Bara. Jangan gitu." Bara memperingati dirinya sendiri. Dia berjalan ke halaman belakang. Namun sayangnya, dia melihat jendela kamar Tiranti yang terbuka, mata Bara terbelalak melihat bagaimana perempuan itu sedang berganti pakaian. Bara terdiam sejenak sebelum akhirnya menampar diri sendiri. "Gak boleh gitu," bisiknnya pada diri sendiri. Bara menendang kaleng yang menimbulkan suara keras. "Siapa di sana?!" teriak Tiranti yang panik menutupi tubuhnya. bara segera menutup hidungnya dan membuat suara. "Meowww...." dan itu berhasil membuat Tiranti menarik napas lega. "Kucing ternyata." segera menutup jendela kamar dan melanjutkan mengganti pakaian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD