Bisnis Terselubung

2183 Words
Pria itu menggosok-gosokkan ujung telunjuknya pada body ducati ini. Otomatis, aku mengikuti gerakannya. Melihat seksama pada apa yag sedang dia gosok. "Mana yang lecet?" tanyaku takut-takut. "Nih, mata lo buta?" Entah sudah berapa kali aku meneguk ludah. Ku rasa, aku sudah kenyang hanya dengan menelan ludahku sendiri. Kembung lama-lama perut ku. Dengan menyipitkan mata, aku mendekat pada ujung jari pria ini yang ada di body motornya. Karena masih tak terlihat juga, aku memberanikan diri menyingkirkan telunjuknya dengan hati-hati. Tapi masih saja tak terlihat ada goresan di sana. Mungkin karena gelap atau bagaimana. "Nggak ada." "Nih, nih." Dia menekan-nekan body motor itu oleh telunjuknya. "Walau kecil, tapi kalau dibawa ke bengkel bakal mahal." Aku berdecak sebal sambil mendelik padanya. Kemudian dengan keberanian yang entah aku dapat dari mana, aku segera bangkit berdiri. Aku senewen kalau sudah ada yang menyinggung soal uang. "Kalau gitu, nggak usah dibawa ke bengkel. Pake lotion anti nyamuk aja. Bakal ilang, kok." Aku tidak bohong. Anna pernah melakukannya pada body mobilnya yang tergores. Dan itu sangat bekerja. "Elo pikir, ini mobil angkot?" Katanya, terdengar murka. "Iya, gue tahu. Ini motor mahal," jawabku agak sebal. "Seharusnya dengan motor mahal yang elo punya, elo nggak perlu cemas memikirkan biaya perbaikan bengkel. Pasti cuma recehan aja buat lo." Tidak mau meladeni orang setengah gila ini, aku berniat pergi dari hadapannya. Tapi, dia menahanku sebelum aku bisa lenyap dari hadapannya. "Mau ke mana lo?" katanya agak kasar. "Elo harus tanggung jawab." Aku menepis tangannya yang dia gunakan untuk menahan lenganku. "Kalau elo mau duit dari gue. Jujur aja, gue nggak punya duit. Gue miskin, kelaparan dan nggak punya tempat tinggal. Elo, salah orang kalau mau nipu." Kedua alisnya yang tebal bertaut. Menatapku antara percaya dan tidak. Kemudian memandangiku dari ujung rambut hingga kaki. Seperti sedang menilai sesuatu. Tidak usah diragukan lagi, penampilanku sekarang sudah persis seperti gembel. Pasti sudah meyakinkan dirinya bahwa aku memang benar-benar tidak punya uang. "KTP?" Katanya tiba-tiba ia menadahkan telapak tangannya. "KTP?" tanyaku heran. "Buat apa?" "Buat jaga-jaga aja, kalau-kalau elo bohong." Walau kesal, aku menurunkan tasku, membuka resleting dan mengambil dompet. Mengeluarkan identitasku yang dia minta. "Nih," Dia menerimanya, lalu membaca identitasku dengan seksama. "Jauh banget rumah lo." Katanya dengan ekspresi wajah kaget. "Elo bukan asli Jakarta?" "Menurut lo? elo nggak bisa baca?" "Terus, lo tinggal di mana?" "Udah gue bilang, gue nggak punya tempat tinggal." Jawabiu ngotot. Bukannya menjawab atau mengembalikan identitasku, dia menyilangkan kedua tangannya, lalu mengusap dagunya oleh ibu jari. Aku memerhatikannya, menanti apa yang akan dia lakukan selanjutnya. "Oke," katanya setelah beberapa menit. "Kalau gitu, tanggung jawab lo, nggak perlu pake duit." Dia mengacungkan identitasku ke udara. "Ini, gue sita sebagai jaminan." "Apa?" kataku melengking. Astaga, semuanya disita. "Buat apa?" "Handphone lo mana?" "Buat apa?" Aku tidak bisa untuk tidak emosi. "Mana?" katanya memaksa. Aku mendengus sebal, tapi tetap mengeluarkan ponselku juga. Ya ampun, ini bukannya sedang percobaan hipnotis yang sedang marak di beritakan, kan. Lalu dia mengotak-atik ponselku di sana. "Ini nomor gue," katanya. Kemudian dia mengelurkan ponselnya yang ada di kantung celana. Kemudian menempepkannya di daun telinga. "Lo nggak punya pulsa?" kedua matanya terbelalak lebar ke arahku. Seolah orang yang tidak punya pulsa adalah pelaku kejahatan. "Nggak ada." Ucapku kesal, sambil merampas ponselku. Sekilas, aku melihat sebuah nama di kontak terbaru. "Masukin nomor lo nih," perintahnya. Nomor? aku kan sedang tidak mengaktifkan momorku. Semua aplikasi chatting juga aku uninstal. Aku tidak punya nyali untuk terus di serang oleh rentetan panggilan dari Anna dan Fay. Aku sedang jadi buronan. Tapi pria jangkung ini terus mendesakku, menyodorkan ponselku ke depan wajahku. Terpaksa, aku memasukkan nomorku di ponselnya. Kemudian mengembalikan padanya. Belum selesai sampai di sini, dia kembali menepelkan ponselnya di daun telinga. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengerutkan dahi. "Nomor lo sibuk." Katanya jengkel. Jelas saja, aku mematikan semua panggilan, baik dari nomor tak dikenal atau yang dari kontak. "Gue matiin panggilan masuknya." Dumelku. Aku mengotak-atik ponselku. Mengembalikan pengaturan ke aturan normal sehingga ponselku bisa kembali menerima panggilan. "Coba telepon lagi." Tidak lama, panggilan masuk ke ponselku. "Dev Ethan." Aku membawa nama yang menari-nari di layarku. "Gue Dev." Katanya, seraya mematikan panggilan. "Besok, kita perlu ketemu. Gue bakal kasih tahu tempat dan jam nya nanti. Lo jangan Coca-Coba kabur, Vivian Demara." Dev, begitu yang dia katakan. Menyunggingkan ujung bibirnya tepat di depan wajahku. Kemudian mendorong pundaku oleh tangannya agar aku bisa menyingkir dari motornya. Setelah itu, Dev menunggangi ducati yang katanya tergores itu, meninggalkanku di jalanan yang lengang dan gelap, dan membawa serta kartu Identitas. Hah! Paling tidak, dia memberiku ongkos. *** Hari ini, bangun terpagiku di sepanjang sejarah kehidupanku. Bahkan bapak dan ibuku juga tidak bisa menandingi dalam membangunkanku pagi-pagi. Toa masjid ini, tak ada tandingannya. Suara itu seolah sengaja di taruh di gendang telingaku, sehingga tidak ada kata 'nanti dulu'. Ini belum adzan, baru puji-pujian menjelang adzan shubuh. Aku menguap, menggosok mata. Berniat untuk kembali tidur, tapi tidak bisa. Karena suaranya memekakan telinga. Aku bukannya anti toa masjid, atau anti sholawatan. Sering sekali aku mendengarnya, tapi tidak sedekat ini. Karena sekarang, aku ada di pelataran masjid. Tidur di atas ubin dingin beralaskan tas punggungku. Sebelum para jamaah datang untuk sholat, lebih baik aku bangun dan numpang mandi. Walau dingin, aku harus menahannya karena ini satu-satunya cara untuk membersihkan diri. Seharusnya aku kembali ke kamar kosanku. Untuk bermalam saja. Tapi aku kita tidak ada ongkos untuk pulang ke sana. Kalau harus jalak kaki, bisa-bisa engkelku lepas. Aku ikut sholat subuh berjamaah bersama yang lain. Hanya ada aku yang ada di barisan shaf wanita. Langit masih gelap saat para jamaah satu per satu keluar masjid. Kalau tidur sebentar tidak apa-apa kali, ya. Jadi, aku memutuskan untuk terlelap sebentar masih dengan mengenakan mukena. *** Kali ini, bukan lagi suara toa masjid. Tapi suara dering ponsel yang terus berbunyi nyaring. Aku segera bangkit, dan jantungku seolah loncat dari rongganya. Aku masih trauma kalau mendengar suara panggilan masuk. Dev. Aku segera menekan tombol hijau. "Astaga, selain buta, lo juga tuli, ya." Apa dia tidak tahu bagaimana caranya menyapa seseorang di panggilan telepon. "Kita harus bertemu di Candava Cafe jam 10." "Di mana?" "Aku sharelock tempatnya." Kemudian telepon di tutup. Ah sial. Bagaimana bisa aku kembali menginstall aplikasi chatting itu. Sambil berdecak, aku melihat jam di atas layar ponsel. Dan membelalakan kedua bola mataku saat melihat angka 9 di sana. Aku bergegas melucuti mukena, dan memasukan ponsel. Aku harus segera menemui Dev untuk mengambil kartu Identitas, meminta uang ganti rugi agar aku bisa pulang ke Palembang. Tapi sebelum itu, aku pergi ke sebuah counter pulsa untuk membeli nomor baru, dan memasukannya sebagai nomor untuk aplikasi chatting. Aku belum siap membukanya dengan nomor lama. Aku belum siap untuk menghadapi Anna atau pun Fay. *** Tanganku melambai-lambai ke udara sekuat tenaga. Diikuti lompatan-lompatan kecil berharap keberadaanku terlihat oleh pria jangkung yang sedang berdiri di depan sebuah cafe. Itu Dev. Dengan setelan jas yang terlihat mahal,dan rambut hitamnya yang rapi karena gel rambut. Wajahnya jelas terlihat jengkel, sambil menyapu keramaian kota ini. Aku tidak bisa menghampirinya ke sana. Seorang petugas keamanan mengusirku saat aku akan memasuki tempat makan tersebut. Sampai detik ini pun, aku tidak habis pikir, apa korelasinya perut lapar dengan pakaian yang tidak layak (menurut penilaian subjektif). Kalau seseorang sudah merasa perutnya harus di isi, hanya dengan mengenakan kaus dalam dan celana boxer saja, seharusnya bisa menyelamatkan perutnya yang keroncongan. Kecuali, yang dia makan itu batu. Bukan makanan. Tapi, petugas keamanan itu menendangku ke jalanan layaknya seorang peminta dengan baju compang-camping mengemis makanan. Cih, tahu dari mana mereka kalau aku tidak punya uang. Awas saja, kalau aku sudah kaya raya. Dev memanjangkan lehernya, tapi dia sama sekali tidak melihatku. Aku sudah ingin berteriak memanggil namanya sejak tadi. Tapi sepertinya itu ide buruk. Dan aku nyaris lupa dengan yang namanya ponsel. Sebelum aku menelpon Dev, pria itu sudah lebih dulu menghubungiku. Rupanya, dia lebih pintar. "Elo di mana?" Aku berdecak. Dev tidak pernah mengucapkan salam ketika dalam sambungan telepon. "Aku sedang melambai." Kataku, sembari mengacungkan tangan ke atas. "Lihat ke kiri." Lanjutku. Otomatis Dev mengalihkan pandangannya ke arah kiri. Tapi, kiri dirinya. "Maksud gue, kiri dari gue. Berarti ke kanan kalo, lo." Ku dengar Dev berdecak. Saat dia memalingkan kembali kepalanya, mata kami langsung bertemu. Dan aku nyaris menjerit senang, persis seperti anak sekolah dasar yang akan dijemput oleh orang tuanya. Dev mematikan ponselnya, kemudian berjalan ke arahku. Matanya berkerut, menatap nyalang ke arahku. "Gue nggak bisa masuk ke sana. Tuh satpam, ngusir gue." "Pantes aja lo di usir." Semburnya. Ku pikir dia akan membelaku. "Nggak ada baju yang lebih pantas lagi, selain yang lo pake sekarang?" Otomatis, aku melihat pada diriku. Memangnya ada apa dengan ootd ku saat ini? "Emangnya kenapa?" "Mereka nggak nerima orang dengan pakaian kaya begini." "Terus? Gue harus pake baju apa? Bikini?" Dev menyisir rambutnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepala. Terlihat begitu sangat frustrasi. "Lo serius, nggak punya tempat tinggal?" Tanyanya terdengar putus asa. Aku menggeleng lemah. Dev memicingkan mata, mengedarkan pandangan. Entah sedang mencari apa. "Kita ngobrol di sana aja." Dia menunjuk pada sebuah taman. "Nggak usah di restoran." Seketika, aku menggembungkan pipi. Padahal, aku sudah membayangkan makanan enak tersaji di depan mata. Melahapnya, dengan rakus. Cacing di perutku pasti sudah loncat-loncat dari tadi. Tapi, dasar tenggorokanku bengkok. Itu istilah untuk orang yang sial dalam mendapat makanan gratisan. Tapi aku tidak mungkin mengatakan secara gamblang pada Dev kalau aku sedang ingin makan sekali. Jadi, ketika Dev mulai berjalan, aku mengekor di belakangnya. Kakiku harus aku seret, karena sepertinya ada yang menggantungkan batu besar di pergelangan kakiku. Hah, mungkin efek karena lapar. Setelah kami duduk di bangku besi panjang dengan pemandangan danau buatan di belakang kami, Dev memandangku aneh sambil memicingkan mata. "Elo beneran nggak punya tempat tinggal?" Tanyanya. "Iya," jawabku sama sekali terlihat tidak percaya diri. Dev menjatuhkan tatapannya pada kakiku yang beralaskan sandal jepit. Dan otomatis aku ingin mengubur kakiku sesegera mungkin. "Udah berapa lama lo di Jakarta?" "Sekitar sepuluh tahun." "Sepuluh tahun?" Dev tercengang. Dia sampai memundurkan tubuhnya. "Selama sepuluh tahun, lo nggak punya tempat tinggal?" Aku berdecak. Bergerak gusar, karena tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. "Tadinya punya, sekarang udah nggak." "Kerja?" "Tadinya iya, sekarang udah nggak lagi." "Kerja di mana?" "Di restoran," jawabku. "Punya temanku sendiri." Dev diam. Aku juga diam. Memandang jauh ke depan. Melihat orang-orang berjalan terburu-buru. "Sebenernya banyak banget yang mau gue tanya sama lo." Katanya. "Tapi gue masih banyak kerjaan. Jadi, gue langsung pada intinya aja." "Balikin KTP gue?" "Soal KTP, nanti gue bakal kembaliin setelah lo mau ngelakuin apa yang gue minta." Aku menoleh pada Dev cepat-cepat. Mengawasi dirinya dengan tajam. "Gue nggak minta aneh-aneh." Dev langsung memberi klarifikasi. "Apaan?" Tanyaku, mulai tidak tertarik. Tapi juga penasaran. Sebelum Dev menjawab, dia melihatku seolah sedang menimbang-nimbang. Dilihat dari raut wajahnya, dia terlihat nyaris putus asa dan tak punya pilihan. Dia tampak gusar di tempat duduknya. Sedangkan aku, sudah kepanasan akibat sinar matahari menerpa wajahku. "Gue mau, lo jadi pacar gue." Entah karena sengatan sinar matahari atau apa, wajahku seperti kebakaran. Aku harus sampai nyengir kuda demi menghilangkan rasa panas. Kemudian, ada kilatan cahaya yang menusuk langsung bola mataku, sehingga aku seperti orang nyaris buta. Aku menatap Dev, suaranya berdengung di telingaku. "Apa? Jadi apa?" Tanyaku. "Pacar gue." Ulangnya. Dan sukses membuat pendengaran ku gatal. Untuk beberapa detik, aku hanya terdiam memandangi Dev yang duduk persis di depanku. Sinar matahari mulai naik ke atas kepala Dev. Membuat wajahnya diterpa kilatan cahayanya. Dia memang terlihat sangat menawan dengan wajah seperti pemain film Korea yang selalu Anna tonton. Tapi aku tidak percaya bahwa di dunia ini, orang tampan seperti Dev punya otak yang tidak berada di tempatnya. Bibirku mulai bergetar, bergerak-gerak dan segera aku tahan, tapi tidak bisa. Alhasil semburan tawa yang aku tahan sekuat tenaga meledak keluar mulutku. Ledakan taw aku yang membahana membuat orang-orang di sekitar kami, melihat ke arah kami. Ada yang menatap curiga, dan ada juga yang melihat penuh kesinisan. Sedangkan Dev, mulai panik di tempat. Memalingkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengawasi orang-orang di sini. "Bisa diem, gak lo?" Katanya gusar. Dan aku berusaha meredam tawaku. Dev tampak kesal, lalu dia membekap mulutku. Dan aku meronta-ronta sambil berusaha untuk tidak tertawa lagi. "Oke, oke." Ucapku terbata. "Lo udah nggak waras?" Tanyaku masih nyengir lebar di depannya. "Lo mau, apa, nggak?" "Ya, nggaklah." Tandasku. Dan aku mulai berdiri, lalu menjejalan kaki ke tanah. "Lo nggak usah macem-macem deh, mana KTP gue. Balikin, cepetan." "Gue serius." Nada bicara Dev naik satu oktaf. Aku menatapnya seksama. Kemudian kembali duduk. "Lo suka sama gue?" Tanyaku pelan. Dev mengusap wajahnya kasar. Lalu mencondongkan wajahnya, mendekat padaku. Menyoroti mataku dengan intens. "Menurut lo, apa itu masuk akal?" Menurutku, ini lebih ke pernyataan, bukan pertanyaan. "Nggak." Jawabku sambil menggeleng lemah, seperti aku sedang terkena hipnotis. "Ini, bisnis, Vivian." Lanjutnya. "Gue, mau berbisnis sama lo. Gue rasa, harapan lo satu-satunya untuk bisa memiliki tempat tinggal, adalah gue." "Keuntungan apa yang gue dapat dari bisnis yang lo tawarkan?" Dev menyeringai, kemudian kembali menegakkan duduknya. "Sebelumnya, gue harus bikin lo layak dulu untuk jadi pasangan gue." Ucapnya. Terdengar penuh misterius. "Maksudnya?" Tanyaku tidak mengerti. Tapi Dev tidak menanggapi. Kemudian dia mengotak-atik ponselnya dan menghubungi seseorang. "Jer, jangan banyak bicara. Dengarkan saja." Ucapnya pada seseorang lewat sambungan telepon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD