BAGIAN 2

1068 Words
Terjebak dalam ruang lingkup ketidaknyamanan tengah dirasakan oleh Elena. Bagaimana bisa ia harus duduk di antara sang tunangan dan juga kekasih gelapnya di satu ruangan? Kondisi tersebut memberikan ketidaknyamanan kian merundung. Di sana tidak hanya ada mereka bertiga saja, melainkan ada juga Queensha, wanita yang menjadi pasangan dari Arkana, serta ada tuan dan nyonya besar Kara. Aileen dan Eric memandangi keempat muda-mudi di hadapannya dengan penuh suka cita. Senang, kedua putranya sudah memiliki pendamping satu sama lain dan salah satu dari mereka hendak melangsungkan pernikahan. Mereka yang baru kembali dari luar negeri segera menghubungi kedua putranya untuk makan malam bersama sembari membawa pasangan masing-masing. "Syukurlah, Mamah senang sekali kita bisa makan malam bersama seperti ini. Sudah lama kita tidak punya kesempatan emas untuk berkumpul secara lengkap," ujar Aileen membuka suara. Eric menoleh sekilas pada sang istri lalu mengangguk singkat, setuju. "Benar, kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sampai tidak punya waktu berkumpul," timpalnya kemudian. "Bagaimana? Apa kalian sudah mempersiapkan pernikahannya?" Pertanyaan yang kali ini diajukan oleh Aileen mengejutkan Elena. Ia bahkan sampai tersedak air minum membuatnya terbatuk beberapa kali. "Apa yang Mamah tanyakan? Mamah membuat Kak Elena tersedak," racau Arkana sembari menjulurkan selembar tisu. Elena yang tidak mau terlihat gugup langsung menyambar tisu pemberian Arkana cepat lalu menggunakannya mengelap sudut bibir. Lagi, perasaan tidak nyaman terus memukul-mukul dinding hati. Ia benar-benar tidak enak telah membohongi keluarga Kara dengan bermain api dengan tuan muda mereka. Elena terus saja menundukkan kepala, tidak sanggup menyaksikan kilaunya keteduhan wajah Aileen dan Eric. Selama ini kedua orang itu sudah berlaku baik padanya, tetapi balasan yang ia berikan malah memberikan luka tak mudah dimaafkan. Elang yang sedari tadi menjadi pengamat pun menyadari akan perubahan sang kekasih. Ia kemudian memandang kedua orang tuanya dengan tersenyum gamang. "Ah, Ayah, Mamah, kami memang sepakat untuk melangsungkan pernikahan, tetapi... bukan berarti kami akan melakukannya dalam waktu dekat," jelas Elang membuat Elena tersentak. Ia sedikit mengangkat kepala menyaksikan pria yang menyukainya sejak dulu memberikan perkataan di luar dugaan. Perasaan tidak enak semakin menghantui membuat Elena ingin pergi saja dari sana. Ia sadar Elang begitu setia dengan hubungan mereka. Keduanya sudah menjadi kekasih selama dua tahun, dan bahkan telah banyak menghabiskan waktu bersama. Sebelum menjadi sepasang kekasih, mereka juga sempat menjadi sahabat akrab saat masa sekolah dulu. Namun, sebanyak apa pun waktu yang dihabiskan tidak membuat Elena merasakan hal sama. Ia hanya memberikan perasaan layaknya balas budi semata. Karena dulu ia tidak bisa menolak ketulusan serta keberanian Elang untuk mengungkapkan perasaan. Elena sadar jika apa yang dilakukannya sangatlah salah, tetapi mau bagaimana lagi ia terlanjur menerima pernyataan cinta itu dan bertahan sampai sekarang. Satu waktu ia bertemu dengan Arkana, Elena sadar jika ada yang salah dengan dirinya. Berhari-hari ia memikirkan perasaan apa yang tengah mengendap di d**a. Seiring berjalannya waktu, diberbagai macam kesempatan yang ada Elena serta Arkana lebih sering bertemu. Entah itu bersama Elang atau hanya pribadi saja, dan sejak saat itulah tumbuh benih-benih cinta di antara mereka. Arkana mengungkapkan perasaan tulusnya yang mana hal itu disambut baik oleh Elena. Ia sadar, seratus persen sadar jika hubungan yang tengah mereka jalani bukanlah kebenaran. Lagi, kesalahan demi kesalahan terus dilakukan keduanya. Elena seolah tutup mata dan telinga jika telah bersama Arkana di belakang Elang. Pria yang lebih muda tiga tahun darinya itu mampu memberikan perhatian lebih dibanding Elang. Elena yang sudah lama menjadi yatim piatu merasakan kasih sayang dari Arkana membungkus kesepian. Ia jatuh cinta dan benar-benar telah terjerembab di dalamnya. "Iya kan, Sayang? Kita tidak buru-buru menikah, meskipun... kita sepakat untuk melakukannya?" Tanpa sadar Elang menggenggam tangan kanan Elena membuat sang empunya tersentak. Ia sepenuhnya mendongak, menyaksikan senyum manis dari kekasihnya. "I-itu benar, kami... kami tidak terburu-buru," sambung Elena masuk ke pembicaraan mereka, berusaha sebaik mungkin agar tidak terlihat gugup. "Bagaimana kalian ini? Bukankah kalian sudah berusia dua puluh delapan tahun? Usia yang tidak untuk main-main lagi. Ayah harap kalian segera melangsungkan pernikahan!" Final Eric mengambil keputusan. Elena hanya tersenyum pahit mendapatkannya. Karena bagaimanapun juga saat ini ia tidak ingin cepat menikah, ada hati lain yang tengah dijaganya. Mendengar kata-kata sang ayah, Arkana pun menoleh padanya. Sorot matanya serius, seolah tengah membaca isi pikiran Eric. "Apa yang sedang kamu lakukan, Arkana? Bagaimana menurutmu? Apa Mas mu ini harus segera menikah atau tidak?" Pertanyaan dari sang ibu begitu mengejutkan, Arkana menggulirkan bola mata ke samping di mana Aileen tengah memperhatikannya sedari tadi. "Aku tidak tahu, itu urusan mereka berdua," sambar Arkana, jutek. Aileen menghela napas kasar lalu meletakkan sendok dan garpu di kedua sisi piring. "Lalu, bagaimana denganmu? Apa kalian sudah memutuskan untuk menikah juga?" tanyanya lagi. Arkana terdiam beberapa detik, dan kembali mengangkat pandangan menoleh pada Elena sekilas, lalu pada kakaknya dan terakhir Queensha, sedari tadi hanya menyaksikan percakapan mereka. "Kami masih berusia dua puluh lima tahun... juga, hubungan kami hanya diatur oleh kalian. Bukankah dalam masalah pernikahan aku yang berhak menentukan? Dengan siapa aku menikah dan berhubungan... kalian tidak bisa ikut campur!" Setelah mengatakan itu Arkana beranjak dari duduk, tanpa mengindahkan tatapan dari yang lain ia pergi begitu saja. Elena yang terkejut akan jawaban yang diberikan Arkana mematung di tempat. Sekarang ia sadar jika selama ini telah salah paham. "Ternyata mereka dijodohkan? Kenapa? Juga... bagiamana bisa Queensha dan Arkana bisa dijodohkan?" benaknya, gamang. "Dasar anak itu! Dia tidak ada sopan-sopannya." "Queensha, maaf yah Arkana memang selalu seperti itu," kata Aileen mencoba menenangkannya. "Iya Tante, tidak apa-apa," balas Quuensha disertai senyum manis. Elena yang sedari tadi memperhatikan menyadari satu hal. Jika wanita lebih muda darinya itu memiliki pesona luar biasa. "Aku rasa... mereka cocok satu sama lain. Queensha, wanita ini bukan dari keluarga biasa. Jika dibandingkan denganku? Kualifikasi apa yang aku miliki untuk masuk ke keluarga Kara? Bahkan berhubungan dengan dua tuan muda keluarga ini sudah sangat memberatkan untukku." "Tetapi... aku tidak bisa menahan gejolak saat bersama Arkana. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan? Aku tahu... hubungan kami sangatlah salah. Bahkan... aku melakukan perbuatan yang tercela. Perbuatan yang tidak disukai oleh-Mu," monolog Elena dalam diam. Ia terus menjatuhkan pandangan ke bawah mengabaikan suara-suara di sekitar. Ia menyadari jika selama ini telah melakukan sesuatu yang sangat dilarang oleh kepercayaannya sendiri. Perlahan kedua tangan di atas pangkuan mengepal kuat. Elena mencoba menahan segala bentuk gejolak emosi yang terus saja merundung diri. "Lagi? Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Apa aku harus terus berada di hubungan yang salah ini? Aku sudah jauh... terlalu jauh dalam berbuat salah." Elena terus saja me-racau dalam diam, menyadari kesalahan demi kesalahan yang telah diperbuatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD