BAB 01 : Kembar Tak Identik

1638 Words
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.” Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27. Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana terdiri dari orang tua dan anak yang saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulang tahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku. Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja. Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini jadwalku cukup padat. Ada syuting di beberapa tempat. Dapat dipastikan malam baru pulang, sementara sarapan di mobil bukan solusi bagus karena bisa memicu mual. “Selamat ulang tahun juga, Kak,” ucap Artemis tulus, lalu meminta lilin yang ada di kue tadi agar kembali dinyalakan dan dibawanya ke hadapanku. “Nah, sekarang buat permohonan, setelah itu tiup lilinnya.” “Tidak perlu.” Langsung kutepis benda itu, setelahnya fokus mengambil dua lembar roti dan mengolesnya dengan selai kacang. “Apa sulit sekali menghargai usaha adikmu? Padahal dia sudah berbaik hati mau berbagi,” tegur Papa. “Ya, sulit sekali. Aku tidak suka barang milik orang lain. Daripada membaginya denganku, lebih baik abaikan saja aku seolah kalian lupa.” “Pa, udah.” Artemis menggeleng, senyum tipis langsung mengulas di bibirnya. “Aku nggak pa-pa. Benar yang dibilang Kak Thena, harusnya ada dua kue karena hari ini adalah hari kelahiran kami.” “Seingat Mama, Athena nggak pernah mau ulang tahunnya dirayakan. Itu sebabnya kami hanya memesan satu, khusus untuk Artemis saja,” timpal Mama. Nyaris aku mendengkuskan tawa, tetapi berusaha menahan diri demi menjaga sopan-santun di hadapan kedua orang tuaku. Tahu apa yang membuatku tak suka hari ulang tahun? Karena sedari kecil yang diprioritaskan selalu Artemis. Setiap kue yang dibeli pasti kesukaan Artemis, bahkan untuk dekorasi ruangan dan gaun yang dipakai pun mengikuti keinginan Artemis. Aku kakak beda beberapa menit, tetapi dituntut mengalah pada adikku. Seisi rumah dan seluruh perhatian orang tua kami milik Artemis, aku hanya menerima sisa. Itu pun kalau mereka masih ingat padaku. “Aku selesai.” Setelah menandaskan sisa s**u coklat, aku segera berdiri. “Sekadar memberitahu, aku tidak akan pulang sampai malam. Ada syuting.” “Apa tak bisa meluangkan waktu sebentar untuk makan di luar? Artemis ingin merayakan ula—” “Tidak bisa. Silakan kalian makan tanpaku. Bukankah bertiga lebih baik daripada berempat denganku?” “Tapi, Kak,” raut Artemis langsung berubah murung, “ini acara kita.” “Bukan kita, hanya kau saja,” tekanku di setiap kata. Setelah itu aku benar-benar meninggalkan ruang makan. Walau tak menoleh, tetapi aku sadar kalau kepergianku diiringi tatapan menegur dari papa dan mama. Mereka tak menyukai sikap penolakan, apalagi kalau itu menyangkut keinginan Artemis—si anak kesayangan. Kembar tak identik, ya? Itu benar-benar tak identik, sampai-sampai segalanya pun tak sama. Ah, sial! Aku benci sekali. Andai sebelum lahir bisa memilih, aku tak ingin ada di keluarga ini. *** Aku adalah seorang artis yang tak begitu terkenal. Pernah membintangi beberapa film, series, dan iklan, tetapi bukan sebagai pemeran utama. Tak berada dalam naungan manajemen, tetapi memiliki seorang manajer. Di umur yang ke-27 ini aku belum memiliki pencapaian yang menakjubkan. Keluargaku tahu aku seorang artis, tetapi tak menonton film yang kuperankan. Tak pernah memuji, apalagi mendukung. Menurut mereka itu bukan sebuah pekerjaan, makanya tak sepenuhnya bisa dibanggakan. Beda halnya dengan Artemis Ranjani, kembaranku yang nyaris sempurna itu. Dia termasuk salah satu dosen muda di sebuah universitas ternama. Cantik, cerdas, dan pandai bergaul, memiliki banyak teman serta disukai orang-orang. Kalau dibandingkan kami bagai siang dan malam. Dia cerah, aku yang suram. Aku pun tak mengerti kenapa kami se-berbeda ini. Seakan semua hal baik diambil oleh Artemis, dan hal buruknya dilimpahkan padaku. Ah, ya ... takdir hidupku memang agak lucu dan cukup menyedihkan. Bertolak belakang dengan Artemis, aku, Athena Ranjana, si biasa-biasa saja. Berparas rata-rata, dengan tinggi badan yang bisa dibilang semampai. Tak banyak memiliki teman, satu-satunya yang dekat denganku hanya manajerku. Sejauh ini dia yang paling tahan dengan sikap acuh tak acuhku. Dia juga tak pernah membanding-bandingkanku dengan kembaranku. Malah dia lebih terasa seperti saudara daripada Artemis sendiri. Seperti contohnya saat ini. “CUT! CUT!” “Hei, kau yang berbaju biru! Ini sudah kali ke berapa kau salah?” “Kau ini cuma figuran, tapi dari tadi kau melakukan semua kesalahan yang pemeran utama saja tidak lakukan!” “Maaf, Pak.” Aku langsung membungkuk ke arah sutradara dan semua orang yang ada di lokasi. Gara-gara kesalahanku durasi syuting satu adegan jadi panjang. Mungkin wajar dimarahi, meskipun rasanya memalukan sekali. “Kalau tak berbakat jangan ikut casting! Masih banyak yang mengantre untuk mengisi peranmu.” Setelah itu jeda sejenak karena sutradara ingin beristirahat. Beberapa dari mereka ada yang pergi, ada pula yang masih menetap. Aku pribadi berniat menenangkan diri, menuju tempat yang sepi dan merenung di sana. Mungkin karena awal hari yang buruk, makanya kegiatanku tak berjalan lancar. Itu juga yang jadi penyebab kenapa aku tak fokus pada adegan yang tengah kulakoni. “Thena, kau nggak pa-pa?” Mbak Hera—manajerku–datang menghampiri, membawa dua botol air mineral dingin dan menyerahkan salah satunya padaku. “Sutradara itu memang terkenal suka memarahi orang kalau mood-nya lagi nggak baik. Maaf, ya, kau yang jadi kena sasarannya.” “Kenapa Mbak yang minta maaf? Itu ‘kan bukan kesalahanmu.” “Tetap saja, kau nggak pantas diperlakukan seperti tadi.” “Tapi yang dikatakannya benar, kok.” “Nggak sepenuhnya benar, apalagi memanggil seseorang bukan dengan nama aslinya. Itu nggak sopan.” “Memangnya aku punya hak untuk protes? Aku ‘kan bukan pemeran utama.” Mbak Hera berpikir sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Iya, sih ... ah, menyebalkan sekali! Kusumpahi kau nanti jadi artis terkenal. Supaya kau bisa balas dendam pada mereka.” Aku tertawa, tawa geli tentunya. “Entah kapan sumpahmu terkabul, tapi tentu saja kuaminkan. Anyway, thank’s ya, Mbak. Aku jadi baikan sekarang.” “Sama-sama. Syukurlah kalau begitu, kuharap ke depannya aku bisa terus membantumu, Thena.” Kami tak memiliki hubungan darah, tetapi Mbak Hera begitu memikirkan perasaanku. Dia juga sangat perhatian, terlepas dari pekerjaannya sebagai manajerku. Harusnya seperti ini ‘kan percakapan normal antar saudara? Rukun, saling menghibur, dan saling membela. Namun, faktanya aku dan Artemis jarang bicara berdua. Setiap kali dia mengajak, aku selalu menolak. Inisiatifnya tak pernah kuterima, bukan karena aku terlalu angkuh, tetapi karena muak saja. Gara-gara dia aku jadi tak menerima hal yang seharusnya kuterima. Dia merebut segalanya, membuatku berada di opsi kedua. Membuatku pada akhirnya jadi malas terlibat dengannya. *** Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terlalu klise. Dulu saat kecil Artemis sering sakit-sakitan, makanya membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ pula awal mulanya. Mereka hanya terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny. Seiring berjalannya waktu kasih sayang yang mereka curahkan mulai berat sebelah, apalagi ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan yang cukup pesat dibanding aku. Untuk anak seumuran kami dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama bangga sebagai orang tuanya. Lantas bagaimana denganku? Ya, kalian sudah bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay sampai usia lima tahun dan membutuhkan terapi. Namun, apakah selama proses itu didampingi langsung kedua orang tuaku? Jawabannya tidak sama sekali. Selain sibuk bekerja, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara aku semakin tersisihkan. Orang bilang keluarga adalah tempatnya salah dan saling memaafkan, tetapi faktanya mereka tak bisa kumaafkan. Luka di hati terlanjur membusuk, sulit untuk disembuhkan. Kecuali kalau suatu saat aku menderita amnesia, baru aku bisa melupakan kesalahan mereka. Pukul setengah sepuluh malam aku baru tiba di rumah. Jangankan ada yang menunggu dengan khawatir, satu pesan pun tak datang dari orang tuaku. Entah karena mereka terlalu percaya atau karena saking tidak pedulinya, intinya aku selalu seperti ini. Merasa sendirian, padahal berada di tengah keluarga yang utuh. “Baru pulang?” Aku urung menaiki tangga saat mendengar pertanyaan mama. “Iya,” jawabku singkat setelah berbalik. “Usahakan jangan sering pulang malam. Nggak baik dilihat orang.” Pandangan orang yang beliau pikirkan, lantas bagaimana dengan pandangan beliau sendiri? Apakah tak terbesit sedikit pun rasa cemas? “Aku bisa jaga diri.” “Ini bukan tentang dirimu, tapi tentang menjaga nama baik keluarga. Coba contoh adikmu, dia nggak pernah membangkang apa kata orang tua. Setiap Mama bilang—” “Aku dan Artemis berbeda!” tekanku dengan nada dingin. “Jangan banding-bandingkan kami. Aku sudah muak mendengarnya.” “Thena!” Saat suasana di antara kami semakin memanas, Artemis muncul dengan raut bingungnya. “Ada apa?” Lembut sekali suaranya saat bertanya. “Tadi Mama bilang mau bikinin teh buat aku. Apa mau ajak Kak Thena juga supaya dia gabung sama kita?” “Bukan. Kakakmu ini baru pulang, tapi dia langsung marah-marah saat Mama nasihati.” “Marah-marah? Ya udah gini aja, kasih waktu buat kakak sendirian dulu. Dia mau bersihin diri dan istirahat, pasti capek sekali makanya kakak jadi terbawa emosi kayak gini.” Artemis perlahan mendekati mama, merangkul bahunya dan memberi usapan-usapan ringan yang menenangkan. Setelah berhasil meredakan emosi beliau, dia lalu menoleh ke arahku. “Kakak kalo butuh sesuatu panggil aku aja, ya. Aku begadang, kok sama mama. Kami mau curhat tipis-tipis malam ini. Jangan repotin bibi, beliau udah tidur kayaknya,” tutur Artemis. Tak kupedulikan kata-katanya, langsung kutinggalkan mereka. Sungguh hari yang berat. Kuharap besok sedikit lebih baik, meskipun realitanya kehidupanku terasa pahit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD