DEAR V | PART 1

2954 Words
“Mungkin, aku akan menyiram mu lagi dengan air dingin supaya dirimu terbangun dari bunga tidurmu?” Kasar? Itu belum seberapa. Ya. Itu adalah alarm ku setiap pagi ku. Terkadang tubuhku akan menerima sambutan dari air dingin yang Vee ambil dari kamar mandi, dengan langsung mengguyurkan itu ke tubuhku dan terkadang juga di wajahku. Aku sudah mencoba mengalarm ponsel ku untuk bangun lebih awal sebelum Vee bangun. Tapi, Vee melarang ku dengan alasan itu akan mengganggu tidur nyenyaknya. Aku tidak tahu scenario apa yang sedang disusun oleh Tuhan untukku, yang jelas, aku akan mendapatkan postur tubuh indah dari Vee di setiap pagi. Ya. Vee selalu membangunkan diriku, ketika dia sedang mengancingkan kemeja putihnya dari bawah, dengan penampilan rambut yang masih basah, sehingga membuat dirinya semakin terlihat menawan. Tidak menyangka juga, jika diriku sekarang adalah seorang istri dari CEO terkenal. Sayang, di matanya aku hanyalah orang asing yang siap membunuhnya kapan saja. Makanya, Vee sering menyebut ku calon pembunuh. Aku mengusap-usap kedua bola mataku, sembari menyikap selimut tebal yang sempat menenggelamkan diriku hingga menuju mimpi. “Hari ini kita akan pergi ke Jung-Guk untuk mengecek apa dirimu sudah positif hamil atau tidak. Kuharap kau tidak mengecewakan ku untuk kesekian kalinya...,” ucapnya datar dengan tangan yang mencoba merangkai dasi berwarna hitam yang dia kenakan itu. Jeon Jung Guk adalah dokter spesialis kandungan. Ia adalah teman semasa kecil ku hingga sekarang. Lebih tepatnya, aku lebih menganggap Jungguk seperti kakak laki-laki ku sendiri. Saat ini aku sedang menguncir rambut ku dan merajut langkah ke arah Vee. “Vee, apa kau perlu bantuanku untuk merangkai dasi mu?” tanyaku yang sedari tadi melihat Vee begitu sibuk dengan dasi yang dia rangkai menggunakan jari-jemarinya.             Dia tetap sama dengan hari-hari yang ku lewati bersamanya, dia tidak pernah membuka mulutnya untuk mengeluarkan suaranya untukku. Dia tidak merespons pertanyaanku. Bahkan, setelah dasi itu terangkai sempurna pada lehernya, Vee bersikap tak acuh kepadaku dan memilih untuk mengambil jas hitamnya yang tergelantung pada gagang lemari.             Bahkan setelah jas itu menempel pada badannya, dia melewati ku lagi dan memilih untuk menyisir rambut hitamnya dan di akhiri dengan menyemprotkan parfum favoritnya, pada area leher dan pergelangan tangannya.             Aku tahu, Vee hanya akan berbicara penting denganku, jika itu tidak penting baginya, dia akan menghindari diriku bagaimanapun caranya. Sembari menunggu Vee yang sedang disibukkan memakai jam analognya, lebih baik aku mengambil obat dan air mineral untuk ku sajikan pada suamiku tersebut. Kau bertanya mengapa aku memberi Vee obat?             Karena Vee sedang mengalami fase penyembuhan dari ketidaksuburan yang dia miliki. Itu sebabnya, aku dan Vee belum dikaruniai seorang anak di pernikahan ku yang sudah menginjak tiga tahun satu minggu ini. Apa Vee mengetahui semua ini?             Tentu saja tidak. Karena, aku tidak ingin Vee mengetahuinya. Maka dari itu, aku bekerja sama dengan Jungguk supaya tidak memberitahukan penyakit yang di derita Vee selama ini. Vee hanya tahu, obat yang dia konsumsi ini adalah Vitamin penambah daya tubuh.  Setelah aku menyodorkan satu tablet obat dan segelas air untuknya, Vee langsung meraih dan meneguknya, kemudian, dia meletakkan kembali gelasnya di atas meja rias ku dan beranjak keluar dari kamar. Dia bahkan melewati ku tanpa berkata apapun. Tak di acuhkan Vee itu, sudah biasa untukku selama aku satu atap dengannya. “Kau ingin sarapan apa, Vee? Biar aku siapkan untukmu.” kataku yang terus mencoba mengekori setiap langkah Vee.             Vee hanya diam tanpa memilih untuk membuka suara untuk pertanyaanku, dengan tangan yang kali ini disibukkan dengan ponsel nya. Lalu, melangkah turun dari anak tangga dengan tatapan serius pada layar ponsel nya tersebut. Hingga, menimbulkan kerutan di kedua ujung alis dan kerutan tipis pada bagian dahinya. Aku tidak tahu pasti, apa yang membuat suamiku itu terfokuskan oleh layar ponselnya. Kemudian, aku melihat Vee yang mendekatkan ponselnya pada daun telinga bagian kanannya. Vee sedang menelepon siapa? “Tolong, bilangkan kepada klien dari luar Negeri kita, bahwa meetingnya akan ditunda untuk beberapa jam. Sebab, aku harus pergi ke rumah sakit terlebih dahulu...,” ucap Vee dalam teleponnya yang kini dia matikan dan menaruh ponsel nya ke dalam saku Jas hitamnya. Astaga, hanya untuk mengetahui aku hamil atau tidak, Vee rela menunda pertemuan pentingnya. Aslinya, aku hamil bukan kemauan dari Vee sendiri, melainkan ibu mertua ku juga menginginkan hal tersebut dan ingin segera meminang cucu. Jika saja, kedua kakak kami hidup, semua ini tidak akan terjadi. Karena kedua kakak kamilah nanti yang akan memberikan cucu pewaris dari keluarga Han dan Min. Hidupku juga akan lebih bahagia dan penuh warna, sebab, aku bisa menikahi pria pilihan ku yang mencintai ku dengan tulus tanpa menyakiti ku. Tapi jika sudah takdir ku seperti ini, harus bagaimana lagi? Ah, jikalau kakak laki-laki ku itu masih hidup hingga saat ini, aku ingin sekali memeluk tubuhnya dengan erat dan tak akan aku lepaskan supaya tidak pergi jauh lagi dariku, aku juga ingin mengatakan bahwa aku merindukannya hingga saat ini. Aku punya penuh harapan kepada Tuhan, untuk menemukan jasad kakakku. Sudah bertahun-tahun, jasad kakakku belum ditemukan juga, hanya jasad milik saudari Vee yang ditemukan. Bukankah itu terdengar aneh? Seharusnya kakakku juga berada dalam mobil tersebut bersama saudari Vee. Tapi kenapa, saat pengevakuasian berlanjut, hanya jasad kakakku saja yang tidak ada? Ini tidak adil, bukan? Setiap ulang tahun kakakku, aku juga sering menyempatkan waktu untuk datang ke lokasi tersebut, untuk mengirim doa dan tabur bunga. Mengapa semua ini harus terjadi kepada keluargaku? Kenapa? Padahal, sepengetahuan ku, keluargaku adalah keluarga baik-baik dan tidak pernah sombong dan jahat kepada orang lain. Hanya satu harapan pada takdir ku yaitu, aku ingin kakakku ditemukan dalam keadaan masih hidup. Walaupun itu terdengar mustahil dan tidak akan pernah terjadi. “Berhentilah untuk melamun dan pakailah seatbelt-mu, apa kau ingin tiada seperti kakakmu juga?” Keluh Vee dengan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.             Pagi ini aku dan Vee akan berkunjung menemui Jungguk tanpa mandi, aku tadi hanya mencuci wajah dan membersihkan gigi ku saja. Dengan pakaian yang masih menggunakan piyama tidur. Hal itu terjadi, sebab, Vee tidak ada waktu lagi untuk menunggu ku bersiap-siap.             Menuju ke rumah sakit hanya butuh waktu beberapa menit saja dan kini tiba dengan mobil yang sudah terparkir rapi di sisi rumah sakit tersebut. Perasaan takut, gelisah, serta gugup berlebihan pada diriku mulai kambuh kembali jika sudah berada di rumah sakit. Karena aku tahu, Vee akan memarahi ku lagi dan lagi di hadapan Jungguk, jika aku belum juga positif hamil. Jungguk pernah mengingatkan ku untuk membongkar semuanya dan memberitahukan kebenarannya, namun aku mengabaikannya dan tetap aku menyembunyikan kebenarannya. Aku memang keras kepala, lebih memilih untuk menutupi ini semua dari Vee ataupun keluargaku.             Jungguk hanya pasrah dan tak sanggup dengan ke-egoanku. Bayangkan saja, jika Vee mengetahuinya? Lalu, keluarganya juga mengetahuinya, masa depan Vee akan hancur lebur dalam waktu yang singkat. Jikalau Vee memberitahukan ini semua kepada Jisoo, apa dia akan mencintai Vee dengan sepenuhnya? Apa Jisoo bisa menerima keadaan, Vee? Aku tidak ingin Vee hancur berlebur-lebur dalam hidupnya. Maka dari itu, selama aku menjadi istri Vee, aku akan mengobatinya dan menjaganya hingga Vee benar-benar sembuh dari penyakitnya. Aku tidak butuh imbalan dari semua yang aku lakukan untuknya. Karena, jika dia bahagia itu adalah imbalan yang indah bagiku.             Hal yang paling mengerikan lagi, aku akan bercerai dengan Vee jika aku belum memberikan dirinya keturunan. Vee akan menceraikan ku. Itu ada salah satu perjanjian kontrak di pernikahan kami. Walaupun aku tidak menginginkannya, sebab, aku sudah mencintai Vee melebihi cinta diriku kepada seorang yang pernah hadir dalam kehidupan ku sebelum, Vee. Apa orang tuaku mengetahui semua ini? Jawabannya tentu saja tidak. Karena, di proposal pernikahan, Vee mengucapkan bahwa dia akan mencintai ku dan menjaga ku dengan baik. Namun, proposal itu hanya sebuah latar belakang untuk menutupi semuanya dari keluargaku. Ketika lamaran sedang berlangsung di kediaman keluargaku, ayahku sempat tidak menyetujui pernikahan ini, karena ia tidak yakin apa Vee benar-benar mencintai ku? Tapi aku meyakinkan ayah, bahwa Vee akan mencintai ku, ayah akan marah jika aku anak gadisnya diperlakukan buruk oleh seorang pria. Entah mengapa, aku merasa bersalah sekali kepada ayah dan ibuku, aku telah membohongi mereka. Rasanya, aku seperti menjual diriku untuk mengganti sebuah barang yang telah kuhancurkan. Padahal, aku bukan pelaku dari semua ini. Air mata berjatuhan melalui mataku yang hanya segaris ini, dengan tangan yang mulai ikut mengeluarkan keringat dingin. Vee maafkan aku.             Kata-kata itu bahkan terus menggiung dalam otak ku. Kapan aku bisa mengatakan semua ini kepada, Vee?  Apa di saat kami akan berada di meja hijau?             Lamunanku mulai memudar, karena, aku mendengarkan suara ketukan keras dari kaca jendela mobil yang berada tepat di samping ku. Ternyata itu Vee, yang sudah dari tadi turun terlebih dahulu. Dia sempat melihatku menangis dan itu membuat kedua ujung alisnya sekarang mengerut. Sebelum aku turun dari mobil, alangkah baiknya aku menghapus butiran air mataku tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.             Dan sekarang aku mulai turun dari mobil, Vee memandang ku dengan tatapan dingin dan kesal. Aku tahu, dia akan melontarkan kata-kata yang membuatku terpojokkan jika sudah memberikan mimik wajah yang seperti itu. “Bisakah dirimu melakukan sesuatu hal dengan cepat? Mengapa kau begitu sangat lambat, ha? Tiru lah Jisoo. Ia adalah wanita yang tidak melakukan suatu hal yang begitu lambat seperti dirimu. Apa kau penyakitan? Sehingga kau selalu mengerjakan apapun dengan sangat lambat?” Hina Vee dengan ekspresi datar.             Aku adalah perempuan yang tidak suka di sama-samakan dengan orang lain. Apalagi, menjadi orang lain hanya untuk dicintai kaum pria. Lalu, aku mulai mengekori setiap rajutan langkah Vee sembari mendongak sedikit, ternyata Vee itu, orangnya tinggi juga, sebab, jika aku tidak mendongak sedikit, aku hanya bisa menatap bahunya.             Kami harus berjalan beberapa blok untuk bisa sampai di ruangan spesialis kandungan. Ketika hendak sampai pada tujuanku dan Vee, tiba-tiba. langkahku seketika terhenti dengan sendirinya. Aku menatap jendela yang terbuka setengah. Aku melihat sekilas seorang yang tak asing wajahnya di dalam kehidupan ku sedang ditangani oleh perawat. Pria itu seperti kakakku, tapi, tidak mungkin itu kakakku.             Untuk memastikan pemikiran ku salah, aku mencoba merajut langkah untuk mendekat ke arah jendela tersebut untuk melihatnya lebih jelas. Namun sayang, Vee tiba-tiba menggeret tanganku dengan paksa. Vee orangnya paling tidak suka jika aku membuang- buang waktunya, karena Vee juga memiliki pekerjaan yang jauh lebih penting daripada diriku.                                                                                                                 ~ ~             Suasana di dalam ruangan ini menjadi tegang dalam waktu singkat. Sekarang aku sedang berbaring di tempat tidur dengan balutan kain berwarna putih gading, untuk memeriksa diriku hamil atau tidak. Ya—walaupun sebenarnya, Jungguk mengetahui bahwa aku bulan ini belum hamil, itu semua dilakukannya supaya Vee tidak mencurigai kami. Akhirnya, Jungguk membuka setengah piyama ku hingga memperlihatkan setengah dari perutku. Kemudian, ia menempelkan tangan kekarnya itu ke area perutku. “Apa kau sudah memberikan Taehyung-hyung obat dengan tepat waktu?” Tanya Jungguk dengan tangannya yang masih menempel sempurna pada bagian perutku yang tidak terbalut kain.             Aku menganggukkan kepalaku dengan samar, sembari menatap wajah Jungguk yang terlihat begitu cemas dengan keadaanku yang semakin memprihatinkan. “Apa obat itu sudah habis?” Tanya Jungguk lagi dengan menarik piyama ku untuk menutupi setengah perutku yang terbuka. “Sudah Jung,” gumam ku pelan. Jungguk tersenyum kepadaku dan membantu ku untuk beranjak bangun dari tempat tersebut, “Apa dia tidak curiga dengan obat yang kau berikan kepadanya beberapa akhir bulan ini?” Aku menggelengkan kepalaku dengan samar, “Tidak. Dia malah mengiranya vitamin penambah daya tubuh. Karena, dia selalu meminta ku membeli vitamin itu.” Jawabku dengan merapikan piyama yang kukenakan. Jungguk tersenyum lega, “Syukurlah, jika itu tidak terjadi. Aku juga memprediksikan, mungkin, tahun ini kau bisa hamil. Karena dilihat dari perkembangan Hyung-nim juga melakukan pengobatan itu dengan baik, ya—walaupun dirinya tidak menyadarinya.”             Aku tersenyum lega saat mengetahui jawaban dari Jungguk. Sekarang, aku keluar dari tirai biru tua yang menjadi pembatas antara tempat dokter dan ruang pemeriksaan. Aku melihat Vee yang sudah menunggu jawaban dari Jungguk. “Bagaimana? Apa Min Hee Ji, hamil?” Vee langsung menyuguhkan pertanyaan kepada Jungguk yang baru saja ingin duduk. Ya. Min Hee Ji. Itu adalah namaku. Kata ayah dan ibuku, kakakku lah yang memberikan nama itu untukku. Vee tidak pernah memberikan ku marga keluarganya kepadaku. Marga itu hanya pantas didapatkan kepada gadis yang dicintai oleh Vee, mungkin seperti, Ji Soo. Aku ini siapa? Aku hanya orang asing yang beruntung menjadi istri CEO.             Jika sedang melakukan pemeriksaan di rumah sakit, aku tidak pernah yang namanya untuk duduk bersampingan dengan Vee. Lebih tepatnya, posisi ku sekarang, berdiri di samping, Vee.             Aku membaca raut wajah Jungguk yang terlihat ragu-ragu untuk memberikan jawaban dari pertanyaan Vee, terlihat jelas, ia begitu gugup untuk mengatakan bahwa aku belum hamil. “Hyung, ma—” belum sempat selesai mengatakan apa yang ingin Jungguk sampaikan kepada Vee, Vee tiba-tiba berdiri dan membalikkan tubuh ke hadapanku.             Pandangan Vee kali ini terlihat jelas sekali bahwa dirinya ditumbuhi rasa kekecewaan untuk kesekian kalinya. Aku menatap Vee yang hanya memberi ku smirk khasnya dan gelengan kepala yang mantap.         PLAKKKK!!!!!!!!!       Tangan kekar milik Vee yang melambung di udara kini mendarat dengan sempurna di pipi kiri ku hingga meninggalkan bekas telapak tangan milik Vee. Sakit? Tidak.             Untuk kesekian kalinya Vee keluar dari ruangan Jungguk dengan penuh kemarahan, dia bahkan meninggalkanku sendirian lagi. Aku memegang pipiku yang berdenyut nyeri. Lalu, aku tersenyum dengan balutan air mata yang menetes membasahi kedua pipiku dengan deras.             Jungguk yang melihat kekerasan ini segera menghampiri ku dan mendekapkan diriku ke dalam dekapannya. Jungguk sudah menganggap ku seperti adiknya sendiri. Jungguk begitu kecewa denganku, sehingga dirinya memarahi ku di tengah rasa nyeri pada pipi dan sekitaran rahang bawahku. Aku merasakan Jungguk sedang mendengus kesal, “Ji! Seharusnya kau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Taehyung-Hyung. Lihat, apa yang dirinya lakukan kepadamu kali ini? Ji, sudah cukup untuk menyiksa dirimu sendiri! “—Berhentilah untuk keras kepala! Aku tidak tahu jika Yoondee Hyung mengetahui ini dari atas, kau tidak tahu, bahwa Yoondee Hyung tidak suka melihat mu terluka seperti ini. Dan kau, tidak tahu betapa sedihnya ayah dan ibumu jika mengetahui semua drama konyol ini. “—Kumohon Ji, berhenti menyakiti dan menyiksa dirimu sendiri. Pikirkan juga orang bahwa ada orang yang masih menyayangi mu, pikirkan juga orang yang sedang mengkhawatirkan mu!” Tutur Jungguk dengan memberi ku begitu kenyamanan dalam pelukannya, walaupun dia sedang marah dan kesal kepadaku. Tapi, aku tidak ambil diam, aku melepaskan pelukan Jungguk, kemudian aku berkata “Dia suamiku, Jung. Dia berhak melakukan apapun kepadaku. Karena dia suamiku dan aku akan tetap mencintainya, walaupun dia sering memberikan ku luka. Suatu saat, semua perilaku ini akan dibayarnya dengan cara mencintai ku. Aku permisi dulu,” pamit ku dengan berjalan keluar meninggalkan Jungguk sendiri di ruangannya.                                                                                                                 . . . Pagi telah berganti menjadi malam.             Vee belum saja pulang, aku tidak tahu di mana dia sekarang, sudah pukul dua belas malam, tapi Vee belum juga pulang. Aku mencemaskannya. Aku harap dia tidak kenapa-napa saat perjalanan pulang. Lebih baik aku sekarang tidur saja, jika Vee melihatku masih terbangun karena menunggunya, dia akan marah kepadaku. Vee tidak ingin aku menunggunya hingga larut malam. Tak lama kemudian, aku mendengar mobil Vee yang baru saja masuk dari gerbang rumah. Hatiku sedikit lega sekarang.             Lebih baik aku segera beranjak ke kasur dan berpura-pura untuk tidur. Itulah rutinitas ku ketika Vee pulang tengah malam. Tak lama kemudian, aku mendengarkan pintu kamar yang mulai terbuka. Bodohnya, air mataku malah keluar dari mataku, di saat Vee mulai masuk ke dalam kamar. Aku mulai berpura-pura untuk menenggelamkan diriku dalam selimut tebal, supaya Vee tidak melihat setiap butiran air mataku yang berjatuhan dan bantalku lah yang harus menjadi korban malam ini. Aroma sabun terapi yang berada pada tubuhnya menyengat masuk kedalam rongga pernapasan ku. Apa dia mandi di kantor lagi?             Dengan cepat aku segera membalikkan tubuhku dan memunggungi Vee. Jika aku menangis di hadapannya, dia akan mengetahui diriku, kalau aku belum tidur.             Yang aku rasakan sekarang, Vee masih dalam posisi duduk dengan badan yang dia sandarkan pada kepala ranjang dan tak lama kemudian, aku merasakan Vee sedang menekan-nekan bantal yang ku tiduri.             Sekarang aku mulai sedikit terlelap, saat Vee sudah merebahkan tubuhnya pada badan kasur. Entah apa yang malam ini membuat Vee harus melingkarkan tangannya pada pinggang ku dan berakhir pada perutku.             Sungguh, itu membuat mata sipit ku harus membelak besar, seakan-akan ingin lepas dari tulang mataku. Vee diam-diam memasukkan tangan kekarnya ke dalam piyama ku, sehingga menyentuh salah satu bagian tubuhku yaitu, perut. Kuharap, kau sedang tidak mabuk, Vee.             Vee hanya akan melakukan hal seperti ini ketika dia tidak sadarkan diri, akibat minuman yang dia minum (alcohol). Tidak hanya tangan saja yang menyentuh tubuhku. Kini, hidung mancung yang terukir seperti prosotan anak tk, menyentuh tengkuk leher ku dengan sempurna, hingga aku merasakan hembusan udara hangat yang keluar dari lubang hidungnya. Kemudian, aku segera menoleh sekilas ke arah Vee, aku melihatnya yang sedang membenamkan ukiran wajah visualnya itu pada tengkuk leher ku.             Aku segera mencoba melepaskan rangkulan itu dari tubuhku, aku takut jika Vee sadar lagi dari pengaruh minuman jahat itu, dia akan memarahi ku dan akan mencaci-maki ku. Dia akan mengatakan, bahwa akulah yang sudah menggodanya seperti jalang dan menyuruhnya memeluk diriku, aku tidak ingin Vee bangun dalam keadaan emosi lagi.             Saat hendak menyingkirkan tangan Vee, Vee justru semakin mempererat otot-otot tangannya. Dia mengelus-elus lembut perutku dengan begitu gemulai. “Aku sedang tidak mabuk, Ji. Aku juga tahu, kau belum tidur, Ji. Kau menangis lagi, kan? Bantal mu selalu basah di setiap aku menyentuhnya.” Monolog pemilik suara berat itu, dengan mengendus-endus setiap area tengkuk leher ku. “Ji, maafkan diriku untuk yang sekian kalinya. Aku tidak bermaksud melakukan itu semua, jika bukan karena rasa dendam yang tumbuh dalam benakku. Sekali lagi, tolong maafkan aku untuk kesekian kalinya.” Gumam nya dengan mempererat rangkulannya. Air mataku kian terjatuh deras dengan sendirinya. Bahkan bibir ku gigit dengan begitu kuat hanya untuk menahan isak tangis. Walaupun kata yang Vee lontarkan barusan itu, sering ku dengarkan. Jika saja kau tahu, aku sudah memaafkan dirimu, Vee. Sebelum kau meminta maaf kepadaku. Ketahuilah, aku menyayangi mu dan tidak ingin kau merasa berdosa atas perilaku mu kepadamu.  

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD