Part 5
"Kan di Singapura memang terkenal dengan patung Merlion ya," jawab Airin sambil tersenyum mengejek.
"I-iya, Mas kan kerja di Distrik Bisnis Center yang ada di dekat sini, Dek," jawab Irfan lagi, masih terdengar gugup.
"Owh, sendirian, Mas?"
"Iya, sendirian. Mas kan gak kenal siapa-siapa selain rekan bisnis Mas di sini."
"Mas kapan pulang?"
"Maaf ya, Dek. Kayaknya Mas harus lebih lama lagi di sini. Pekerjaan Mas belum selesai."
Airin diam tak menjawab. Ke Singapura untuk liburan sekaligus melakukan foto pre wedding dengan gundiknya dia bilang pekerjaan? Bagus sekali.
"Ya sudah, cepet makan, Dek. Mas nggak mau kamu sakit. Mas kan masih lama di sini."
"Iya, Mas," ucap Airin singkat seraya menutup telepon.
Irfan menutup telponnya dengan bimbang.
"Ada apa, Mas?" tanya Amel melihat wajah Irfan tampak kebingungan.
"Apa Airin curiga padaku, ya?" tanyanya.
"Memangnya apa yang istrimu katakan, Mas?"
"Dia langsung bisa menebak kalau Mas ada di taman Merlion."
Amel tertawa mendengar ucapan Irfan.
"Gak mungkin lah, Mas. Namanya juga kita di Singapura, pasti yang terpikirkan semua orang itu patung singa," ucapnya.
"Benar juga, ya?" Irfan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ayo kita lanjutkan fotonya," ajak Amel sambil menarik tangan Irfan kembali ke samping patung singa.
.
.
.
Airin membuang napas lagi. Sudah hampir sebulan, kebohongan demi kebohongan selalu Irfan ucapkan. Kali ini Airin sudah benar-benar muak.
Airin sedikit tersentak ketika pintu terbuka. Bella dan Dokter Ae Shin Ri masuk ke dalam ruangan itu.
"Sudah saatnya perbannya dilepas," ucap Dokter Ae Shin Ri seraya tersenyum.
Airin mengangguk, lalu menggeser duduknya. Dokter Ae Shin Ri mengambil gunting dan perlahan membuka perban di wajah Airin. Sehelai demi sehelai perban telah dilepas.
Setelah semuanya selesai, Airin membuka matanya. Dokter Ae Shin Ri tampak tersenyum, begitupun Bella. Airin mengambil cermin yang sudah Dokter itu persiapkan, lalu melihat wajahnya.
Mata Airin membulat ketika melihat wajah barunya, tepatnya wajahnya yang dulu telah kembali dengan sedikit perubahan. Luka bakar yang buruk itu kini sudah tidak ada lagi.
"Masih belum sempurna, tapi Anda sudah bisa menggunakan make up untuk menutupinya," ucap Dokter Ae Shin Ri. "Akan saya rekomendasikan make up yang aman untuk Anda."
"Terima kasih, Dokter," ucap Airin seraya tersenyum.
Dokter Ae Shin Ri mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu. Bella duduk di samping Airin.
"Kau sudah melihat foto yang kukirim?" tanyanya.
Airin mengangguk pelan.
"Mereka memesan tiket perjalanan pulang untuk besok," ucap Bella lagi.
Airin diam. Sudah dia duga, suaminya berbohong tentang kapan dia pulang. Tentu saja, acara pernikahan mereka akan berlangsung Minggu depan.
"Katakan, apa yang harus kulakukan di acara itu?" tanya Bella pada Airin. "Kue rasa garam? Minuman rasa pedas?"
Airin menahan tawa. Dia tidak boleh banyak menggerakkan wajahnya untuk saat ini.
"Kau mau menghancurkan pernikahan mereka atau hotel kita?" tanyanya kemudian.
Bella tertawa.
"Kalau boleh biar kulempar kue pernikahan itu ke wajah mereka satu persatu," ucapnya.
Airin lagi-lagi membuang napas.
"Ada cara yang jauh lebih terhormat dari hal itu," ucapnya kemudian.
"Baguslah," ucap Bella lega. "Aku senang kau baik-baik saja."
Airin diam sebentar, lalu menatap Bella.
"Kau sudah mendapatkan data yang kuminta?" tanyanya.
"Baru aku mau memberitahumu," jawab Bella.
"Ada catatan hutang sebesar dua milyar atas nama Nyonya Mia."
Airin membulatkan mata. Jadi benar Mama mertuanya memiliki hutang pada mendiang orang tuanya? Mungkinkah memang benar Nyonya Mia yang menyabotase kebakaran itu? Ah, Airin tak bisa berpikiran lebih jauh.
"Kamu tenang saja, aku akan terus melakukan penyelidikan tentang kebakaran itu," ucap Bella, seperti bisa mengetahui apa yang Airin pikirkan.
"Ada satu lagi pesaing bisnis Papamu yang punya motif untuk itu," ucap Bella lagi sambil menunjukkan sebuah foto di gawainya pada Airin.
Airin mengerutkan kening. Tampak laki-laki berwajah oriental berdiri di depan mobil mewahnya.
"Namanya Handoko, dulu dia adalah sahabat sekaligus rekan bisnis Papamu."
Airin mengepalkan tangannya. Siapapun mereka, kalau berhubungan dengan kematian orang tuanya, dia tidak akan melepaskannya.
"Sudahlah, hari ini kau sudah boleh pulang, kan? Besok aku akan mengantarmu berbelanja make up," ucap Bella mencairkan suasana yang menegang.
.
.
.
"Kita shopping dulu ya, Mas? Peralatan make up milikku sudah mau habis," ucap Amel saat dia dan Irfan keluar dari gedung bandara.
"Kenapa tidak belanja waktu di Singapura saja sih, Sayang?" protes Irfan.
"Mana sempat? Kita kan sibuk keliling Singapura dan mengurus foto pre wedding di sana?"
"Ya sudah, Mas antar kamu sebentar."
Mereka menaiki mobil mereka dan meluncur ke arah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Mobil berhenti di area parkir dan mereka langsung turun.
Amel berjalan di samping Irfan sambil bergelayut manja padanya. Sesampainya di pusat kosmetik, tiba-tiba Irfan menghentikan langkah.
Matanya langsung tertuju pada sosok wanita cantik yang sedang memilih kosmetik, sedangkan seorang wanita berambut cepak menemaninya.
"Ada apa, Mas?" tanya Amel heran melihat Irfan diam mematung.
Irfan tak menjawab. Dia masih memperhatikan wanita itu. Sepertinya dia pernah melihatnya. Tapi di mana?
Sementara itu, Airin yang sibuk memilih peralatan make up, tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk. Matanya membulat seketika melihat Irfan berdiri di samping pintu kaca itu bersama Amel. Kapan mereka pulang? Kenapa mereka bisa bertemu di sini?
"Ayo, Mas, kita masuk," Amel menarik tangan Irfan masuk ke dalam toko.
Pandangan Irfan masih belum bisa lepas dari Airin.
"Mas kenapa menatap ke arah wanita itu terus sih?" tanya Amel kesal. "Mas kenal dia?"
Irfan tersentak kaget, lalu menatap Amel.
"Bukan begitu, Dek. Mas sepertinya pernah melihat wanita itu," jawab Irfan gugup.
"Bilang saja Mas terpesona karena dia cantik," ucap Amel lagi, mulai cemberut.
"Tidak, Dek, bener. Muka dia tembem begitu, jauh dari kamu lah," ucap Irfan sambil merangkul Amel, meskipun dalam hati dia mengakui kalau wanita itu memang cantik.
Mereka berjalan dan berdiri di samping Airin, sehingga membuat jantung Airin berdegup kencang. Bella menyenggol lengan Airin dengan sikunya, sehingga membuatnya tersentak kaget.
"Bersikap biasa saja. Ingat, wajahmu sudah berubah," bisik Bella padanya.
Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan dirinya yang dari tadi merasa. Benar juga, Irfan tidak mungkin mengenalinya. Tak ada alasan baginya untuk merasa gugup.
"Nyari kosmetik juga, Mbak?" tanyanya berbasa basi saat Amel memilih lipstick di sampingnya.
"Iya, Mbak. Biasa, aktris seperti saya harus punya banyak stock make up," jawab Amel sambil tetap memilih.
Airin tersenyum miring mendengar ucapan Amel.
"Yang itu suaminya?" tanya Airin lagi sambil melirik ke arah Irfan, yang entah kenapa terlihat salah tingkah dibuatnya.