Dua

1345 Words
Kafka sendiri adalah seorang travel blogger awalnya, lalu ikut join dengan mas Prima dan Derri membangun CRAP. Meski saat diawal, Kafka justru sering banyak absen mengurusi CRAP karena profesinya yang saat itu baru menjadi host program travelling di sebuah stasiun tv swasta. Kafka hanya berbeda 2 tahun dariku, makanya aku malas memanggilnya dengan embel-embel, mas atau 'aa (karena dia orang Jawa Barat) yang kadang dipaksakannya padaku. Juga karena kelakuan tengilnya membuatku sebal untuk bersikap hormat. "Nay, tinggal berapa artikel?" Tiara berdiri di sampingku, tas LV-nya diletakkan di mejaku. Bersiap pulang. "Lima belas," aku melihat jam tanganku, menunjukkan pukul 06.35 sore "duluan aja sama Sissy. Gue minta jemput abang nanti." Sissy menatapku sedih, "gak jadi nonton?" Aku lupa, sudah janjian akan nonton dengan mereka. Aku menggeleng dramatis, dan menunjuk layar. "Deadline!" "Yaudah nanti gue review aja, spoiler dikit." Kata Tiara, Sissy cekikikan. "Gue rayu bang Tegar deh biar mau nonton ntar malem." Jawabku gak mau kalah. "Yaudah kita duluan ya Nay! Papayy." Tiara dan Sissy melenggang keluar. Tinggal aku sendiri di lantai 1. Farhan dan Teddy ada di lantai 2, mas Prima entah mungkin sedang istirahat atau mengobrol dengan Kafka di lantai 3. Ponselku bergetar. Superhero : Maghrib dulu dek, trus makan baru lanjut kerja lagi. Aku mengunci layar komputer dan mengambil mukena di bawah meja, bergegas menuju lantai dua. Dari ruangan kecil yang dijadikan mushola, aku melihat mas Prima sedang berdiri di pintu sembari merapikan gulungan lengan kemejanya. Sudah selesai shalat, yah ketinggalan di imam-in sama calon imam. Eh. Sisa-sisa air wudhu masih menggantung manja di rambut dan wajah mas Prima, membuatku bersyukur, terima kasih yaa Allah untuk pemandangan yang menyegarkan mata ini. "Sholat Nay?" Mas Prima melihatku, aku mengangguk. "Eh Neng Naya, sini abang imam-in. Kali besok jadi imam hidup Neng." Mulai deh gombal menjijikan dari seorang Kafka. Semua yang disitu tertawa, termasuk mas Prima. "Ogah! Suram hidup gue di imam-in sama lo." Jawabku ketus. "Hhmm judes deh, jadi pengen halalin." "Apaan sih Nyet!" Semburku sambil melemparkan mukena ke arahnya. Dia tertawa senang. "Masa iya minta mamas sholat dua kali, makanya sholat itu tepat waktu." Aku memberikannya pelototan Suzanna, yang malah membuat mulut lemes-nya semakin bocor, "tapi kali aja mas Prima mau ngulang, monggo Mas." Serunya lebih kencang, aku gak berani melihat wajah mas Prima. Dan berjalan terus mengambil wudhu tanpa menoleh. Dengan sangat terpaksa aku berjamaah dengan Kafka, yang untungnya lempeng saat sholat. Yaiyalah, masa dia mau pecicilan juga. "Makan dulu Nay, ini Mas udah pesan." Aku menghampiri mas Prima yang baru saja meletakkan beberapa box makanan di meja ruang rapat. Kafka berlari dari arah belakang menabrak bahuku secara sengaja membuat mas Prima secara refleks menangkap tubuhku di sisi kanan agar tidak membentur meja. "Sengaja Nay!" Setan keriting itu mengejek, aku tidak meresponnya dan beralih mengambil box makanan padang yang dipesan mas Prima. "Pulang dijemput Tegar gak? Dia lagi di Bogor kan?" Lihat, betapa perhatiannya mamas idolaku satu ini. "Belum bilang sih, gampang lah naik ojol aja." Jawabku malu-malu meong. "Kode keras. Kode frontal. Kode banget kakaaaaa." Celetukan j*****m Kafka membuat mataku memicing sadis, siap mengulitinya. Bersyukurlah dia ada mas Prima, yang entah disadari atau tidak, cukup sering membuatku menahan kelakuan bar-barku. "Nanti Mas antar." Mas Prima tidak mengindahkan ledekan Kafka. "Kode diterima, delapan enam. Roger!" Fak! Mulutnya Kafka ini minta dirobek jadi enam belas bagian. Sambil memeragakan dengan ayam bakarnya dia berbicara seolah sedang menggunakan handie talkie. "Makan yang benar Kaf, tersedak menyebabkan kematian mendadak." Eat that, Nyet! Mas Prima menyela kalem. Aku menyeringai penuh kemenangan. Si setan itu, emang dasar bebal gak tahu malu malah nyengir. Bukan kali pertama mas Prima mengantarku pulang, selama lima tahun sudah tak terhitung lagi kebaikannya yang seperti ini. Dan selalu, tak ada obrolan berarti kecuali tentang CRAP, atau seputar pekerjaan kami. Meski begitu, hatiku senang tak terhingga, walau cuma duduk berdua bersama mas Prima di dalam mobil. Diiringi suara penyiar radio, dari jaman The Dandees hingga Sunset Trip di jam sore pulang kantor hingga jam sembilan. Kami sama-sama menyukai Prambors dan pilihan musiknya. Oh na na just be careful, Na na love ain't simple na na Promise me no promises. Suara Trevor Dahl mengudara dalam mobil mas Prima. "Cinta itu rumit ya Nay." Tiba-tiba mas Prima memecah kesunyian di antara kami. Sejenak aku tertegun, ada angin apa mas Prima ngajak ngomong diluar konteks pekerjaan. Cinta pulak. "Ah? Hehe keliatannya gitu Mas." Aku menjawab dengan aman, faktanya memang rumit, buktinya sampai detik ini hatiku masih melihat mas Prima meski tahu dia tidak pernah melihatku. "Kok ragu gitu, belom pernah jatuh cinta?" Mas Prima menoleh saat mengatakannya, dan beralih lagi menatap jalanan. I falling in love mas, sama kamu! Sayang, nyaliku terlalu ciut untuk meneriakkannya secara teknis. "Memang rumit Nay, semoga suatu hari nanti kamu bisa mengatasinya saat kamu merasakan itu." Tunggu, tunggu. Ini kode atau apa yah? Kok perasaanku gak enak. Apa mas Prima tahu aku menyukai dia, dan berharap aku bisa mengatasinya sebab dia tidak bisa membalas perasaanku? Duh, apalah dayaku yang cuma bisa spekulasi sendiri. "Kalau gak bisa menepati lebih baik gak usah berjanji." Lanjutnya lagi, aku terdiam. Apakah mas Prima sedang curhat padaku? Ini kemajuan, atau sebaliknya. Apakah aku siap menjadi telinga saat ia butuh pendengar untuk semua cerita cintanya? *** Nasi goreng buatanku sudah tersedia di meja makan, tapi para penghuninya malah belum pada nongol. Mentang-mentang weekend. Sejak Bunda meninggal karena kecelakaan Pesawat saat aku masih duduk di bangku SMP, mau tidak mau akulah yang menggantikan tugas Bunda sebagai koki dan pengurus rumah. Karena aku satu-satunya perempuan di rumah. Ayah memilih untuk tidak menikah lagi, dan kedua kakakku semuanya laki-laki. Dalam setahun, aku pasti berziarah beberapa kali ke makam Bunda dengan ayah dan bang Tegar. Sedangkan Bang Ricky biasa bergabung saat moment-moment tertentu, misal menjelang puasa atau sehabis Lebaran. Bang Ricky sudah menikah dan tinggal terpisah dengan kami. "Dek, ini apaan sih?" Ayah keluar dari kamar membawa ponselnya. Kacamata kotaknya melorot dan bertengger manis di hidung mancungnya. "Apa itu?" Aku menuangkan nasi goreng ke piring ayah dan aku. "Ini di grup WA rame banget, ngomongin Bigo. Apaan sih dek?" "Ya Allah, jangan ikut-ikutan yah!" "Emang apaan? Kok Arul semangat banget ngomongnya dari kemarin." Ayah masih sibuk membaca chat di ponselnya. "Aplikasi gitu, ada video streaming-nya. Banyak yang aneh-aneh. Jangan download pokoknya." "Kamu ngomong gitu ayah malah makin penasaran sih." Aku segera merebut ponsel ayah, "heehh, gak boleh. Banyak yang joget-joget gak pake baju. Nanti ayah eneg." "Enak kali!" Bang Tegar menyambung, turun dari tangga masih dengan kaos u can see basket-nya dan celana pantai. Belum mandi. "Heh abang! Jangan yah pokoknya. Mending download catur aja, mau? Biar bisa main catur di hape." Aku menawarkan solusi. "Mainnya sama siapa?" Kini ayah duduk di kursi kebesarannya, meniup-niup kopi yang sudah aku hidangkan. "Sama mesin." Bang Tegar lagi nyamber. "Gak apa-apa, ada lawannya nanti otomatis." "Gak deh, mending konvensional. Lawannya manusia, kalau lawan mesin mana tahu dia curang." Deuh polosnya ayahku. Aku mengecup pipinya yang masih kencang. "Sudah sarapan dulu." Aku meletakkan ponsel ayah di meja. "Bilangin Kafka nanti futsal di lapangan Futsal punya Agung." Aku menatap bang Tegar. "Dih kok futsal sih? Dia ada janji sama aku ke Next!, ketemu Oryza." "Malem, abis Isya." "Ooh. Iya aku bilangin." Jawabku. "Prima lama gak main kesini, kemarin antar Naya doang terus langsung pulang. Udah jago belum main caturnya?" Ayah bertanya ke bang Tegar. Hatiku bergetar hanya mendengar namanya dari mulut ayah coba. Aneh. "Haha lagi sibuk, abis ekspansi car wash. Sekarang buka bengkel juga dia digabungin sama car wash-nya. Sukses banget dia." Bang Tegar menjawab, ada nada bangga dalam suaranya. Apalagi aku, ehem, idolaku. Aku belum bilang ya, mas Prima punya Car Wash selama dia kuliah. Dibantu modal oleh Bapaknya, dan usaha car wash-nya berhasil. Bahkan saat baru merintis CRAP, usaha mas Prima itu yang back up keuangan CRAP. Tapi dia jarang berbagi denganku soal usahanya itu, jelas lah ya siapa aku gitu kan. Senang mendengarnya ekspansi usaha begitu. Pokoknya aku senang segala tentang mas Prima yang berjalan lancar. Ganteng, rajin ibadah, mandiri, ulet dan sopan. Coba kasih tahu kenapa aku harus berhenti menyukai mas Prima. Rasanya dia memang pantas dicintai banyak perempuan, termasuk aku. ~tbc~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD