Shiver

1095 Words
"Ulurkan tanganmu, Nugget." Gadis berambut keriting itu menggembungkan pipinya. Ia paling benci dipanggil dengan sebutan yang aneh-aneh. Sudah berulang kali ia sampaikan keberatan tersebut pada sahabatnya. Sayang, permintaannya tidak pernah dihiraukan. Beragam jenis panggilan aneh selalu terdengar tiap hari. Ari Yusuf, sahabat sekaligus tetangga paling rese dan menyebalkan. Dialah pencipta panggilan aneh tersebut. Baginya, melihat Sedayu Bening mengerucutkan bibir adalah tontonan terlucu. "Karbol, cepetan ulurin tanganmu!" Sedayu, gadis 23 tahun itu masih bergeming. Dua tangannya sengaja dilipat di d**a. Ia mengalihkan pandangan ke arah bunga-bunga di halaman rumah Ari. Ya, rumah mereka bersebelahan. Hanya berjarak sekian meter. Keduanya sudah berteman sejak bayi. Sang mama meninggal saat melahirkan Sedayu ke dunia. Papanya seorang dokter yang setiap hari sibuk di rumah sakit dan klinik. Sedayu kecil diasuh mamanya Ari. Saat itu Ari sudah dua tahun. Kehadiran Sedayu tidak membuatnya cemburu. Justru ia sangat senang hingga tidak mengizinkan orang lain menyentuh adik kecilnya. Kata orang bijak, persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu tidak akan selamanya murni. Benih-benih asmara akan ikut andil memainkan hati. Sering kali persahabatan yang terjalin sekian tahun bisa kandas. Penyebabnya karena virus merah jambu itu menggerogoti lingkaran pertemanan. Sedayu Bening, gadis bermata almond itu tidak mengingkari pernyataan tersebut. Pasalnya, benih asmara itu sudah ia pupuk sejak masih memakai seragam putih abu-abu. Perasaan itu kini kian subur. Harapan terbesarnya saat ini adalah dilamar Ari. Mata indahnya terpejam. Angannya melambung, membayangkan sedang memakai gaun hijau tosca berenda. Sedang berdiri menyambut tamu undangan. Sementara Ari di sampingnya melotot tajam. Gadis berambut panjang sepinggang itu tersentak oleh lamunannya. Saat ia membuka mata, Ari berada tepat di hadapannya. Keduanya hampir tak berjarak. Mata laki-laki itu melotot tajam seperti dalam lamunan Sedayu. "Mau apa kamu?" tanya Sedayu sembari memundurkan badan. Berada sedekat ini menciptakan getaran bertegangan tinggi di dadanya. "Mau aku gigit hidung pesekmu." Ia hendak membantah, tetapi tertahan saat Ari menarik tangannya. Kemudian dipasangkan cincin putih di jari manis. Mata Sedayu tak berkedip. Ia terus memandang tangan yang masih digenggam Ari. "Cantik enggak?" Binar bahagia terlukis jelas di mata Sedayu. Ia mengangguk cepat sembari menyunggingkan senyuman lebar. Keindahan cincin yang melingkar di jarinya bukanlah sebab. Namun, harapan bahwa cintanya yang terpendam bertahun-tahun akan menemui titik kebahagiaan. Sebentar lagi ia akan menyatu dengan Ari. "Sekarang ikut aku." Tidak lagi ia tanyakan ke mana atau mau apa sore-sore mengajak jalan. Gadis bermata bening itu hanya mengangguk dan naik ke motor tanpa kata. Senyuman masih menghias bibir seksinya. Hatinya berbunga-bunga. Angan-angan telah mengembara jauh. Ia akan membina keluarga kecilnya dengan cinta. Tiap sore ia akan menunggu Ari pulang kerja. Atau, menemani anaknya bermain. Tiap akhir pekan mereka akan berlibur bersama. "Buruan turun, Kuping Gajah!" Sedayu tetap bergeming. Pikirannya masih berada di dunia khayal. Matanya terpejam. Senyumnya semakin lebar. Sekian detik kemudian ia terkejut oleh suara klakson. "Bikin kaget saja, nih." "Buruan turun!" Ia mengedarkan pandangan. Motor Ari berhenti di area Pantai Alam Indah. Pantai yang menjadi pilihan wisata menyenangkan di Kota Tegal. Tempat yang cocok menikmati matahari terbenam. Seperti saat ini, beberapa pasangan duduk di tepi pantai. Tidak banyak pengunjung karena bukan hari libur. Sedayu terseok-seok karena ditarik Ari. Mereka tidak menuju ke pantai. Gadis itu tidak protes. Hati kecilnya berbisik, ke mana saja asalkan bersama Ari. Di bawah pohon-pohon yang rindang, teman-teman Ari duduk melingkar. Dayu mengenal mereka karena sering diajak kumpul bersama. Iyan, salah satu teman Ari yang sering menggombal, menghampiri mereka. "Kenapa lama, Bro?" "Sorry. Gara-gara Kucing Betina ini, nih." Sedayu tidak terima jika ia dijadikan alasan Ari terlambat menemui temannya. Gadis itu melebarkan mata dan hendak membantah, tetapi sahabatnya sudah berderap menjauh. Ingin menggerutu, tetapi percuma. Akhirnya ia hanya bisa menarik napas panjang sembari melangkah ke perkumpulan Ari dan kawan-kawan. "Salah satu sifat istri idaman itu melukis bibirnya dengan senyuman. Senyum dong, Cantik!" Iyan yang sedari tadi memandang Sedayu, akhirnya berbicara. Sebenarnya ia tahu perasaan gadis itu terhadap Ari. Sayangnya ia tidak mau mengalah. Baginya, mengalah berarti tidak punya nyali. Kalau Ari juga menyukai gadis itu, ia siap bersaing. Bukankah jodoh di tangan Tuhan. Maka, tiap kali bertemu Sedayu, rayuan gombal yang didapatkan di internet menjadi jurus andalan. "Oh, iya aku lupa. Istri idaman itu hanya tersenyum manis di depan suaminya." Iyan melanjutkan rayuan ketika tidak ada tanggapan dari gadis yang digombal. "Jadi, maukah kamu menjadi istriku." Sedayu mempercepat langkah. Percuma menanggapi si Iyan. Mau ditanggapi dalam bentuk apa pun, laki-laki itu akan membalas dengan gombalan-gombalan lain yang bervariatif. Pusing kepalanya jika terus melayani laki-laki tukang gombal tersebut. Cara paling aman yang sering ia lakukan ialah seperti saat ini; mengabaikan. "Makasih sudah mau berkumpul di sini," ujar Ari ketika Sedayu duduk di sampingnya. "Aku ... aku mau melamar seseorang." Ari menggenggam tangan Sedayu. Napas gadis itu naik turun tak beraturan. Ia melukiskan senyuman bahagia. Meski agak kecewa karena Ari memilih melakukan lamaran seperti ini. Bukankah datang ke rumah dan menyampaikan keinginan itu pada papanya jauh lebih baik? Namun, gadis berwajah oval itu tetap berpikir positif. Mungkin Ari ingin teman-temannya juga tahu. Terkhusus Iyan agar berhenti melancarkan jurusan rayuan mautnya. Namun, kebahagiaan gadis itu perlahan memudar ketika Ari melepaskan cincin yang melingkar di jarinya. Kini, kecemasan menyelimuti hati. "Tadi takut jatuh, jadi kupasangkan di jari si kelinci ini. Jariku enggak muat. Sekalian minta pendapatnya." Ari mengatakan itu tanpa rasa berdosa. Seolah hal tersebut bukan kesalahan. Ia tidak peduli perih menusuk di sanubari Sedayu. Laki-laki berambut ikal itu menarik napas panjang. Setelah beberapa kali dilakukan, ia pun berdiri. "China, maukah kamu menikah denganku?" China, gadis Jakarta yang baru beberapa bulan tinggal di kota ini, terperanjat. Ia sungguh tak mengira Ari melamarnya. Beberapa bulan mengenal laki-laki itu, ia meyakini Ari dan Sedayu berpacaran. Teman-teman Ari bersorak-sorak, meminta China menerima lamaran tersebut. Gadis berkulit putih itu melirik Sedayu sejenak. Melihat mendung bergelayut di wajah sang gadis, ia menyimpulkan adanya cinta bertepuk sebelah tangan. Bukan salahnya kalau menerima lamaran Ari. Toh, mereka hanya bersahabat. Ia pun mengangguk malu-malu. Ari memasangkan cincin ke jari China. Kemudian mereka berpelukan. Teman-temannya bersorak-sorak, meminta upah jadian. Perlahan Sedayu berdiri dan melangkah mundur. Hancur hatinya tidak dapat dilukiskan oleh aksara. Air mata menetes bersamaan dengan keperihan yang semakin mencekam d**a. Kenapa Ari begitu tega melakukan ini padanya. Mungkinkah ia sengaja agar cinta di hati Sedayu segera dicabut. Ketika jaraknya agak jauh, ia berlari kencang. Tanpa melihat jalan, ia menabrak seseorang. Gadis itu mendongak. Seorang laki-laki berotot dan berkepala botak berdiri di hadapannya. Sedayu ngeri. Ia tidak suka melihat orang botak. Ia bukanlah pengidap peladophobia seperti teman SMA-nya dulu. Namun, tetap saja ia tidak suka bertemu dengan siapa pun yang kepalanya botak. "Manis," lirih laki-laki berkepala botak tersebut. Entahlah, melihat Sedayu menatap seperti itu membuatnya merasa tertantang. "Aku akan menaklukkanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD