Ini malam pertama mereka.
"Tari, apa kamu tahu caranya kita membuat anak?"
Bergemuruh d**a Tari saat lelaki berambut panjang yang tak ia kenal itu beringsut mendekat, lalu mendongakkan wajahnya. Mereka tak saling kenal. Namun sekarang mereka resmi pasangan menikah.
Dengan suara bergetar dan gugup, Tari menyahut lirih. "Tahu, Kak Dewa." Keringat dingin membanjir di wajah pucat Tari. "Kata mama saat aku kecil dulu, cara membuat anak itu sangat gampang. Tinggal buat adonan dari tepung terigu, bentuk menjadi bayi, lalu aku akan menelannya kemudian aku akan hamil. Lalu keluar anak," sahut Tari dengan d**a bergemuruh hebat. Bukan ia tak tahu, tapi terpaksa mengada-ada karena begitu gugup. Saat ini.
Sadewa tergelak mendengar sahutan istrinya. Lucu sekali. Ditatapnya lekat wajah rupawan dengan sepasang mata bulat jernih seperti kucing. Rambut sebahunya yang bergelombang tergerai di bahu, tampak begitu menawan dengan gaun malam mengikuti gestur tubuh. Bibir Tari aduhai menggoda seperti cherry ranum. Sebagai lelaki normal yang selalu berganti-ganti pelukan di kamar hotel tiap malamnya, Tari sungguh membuatnya ingin segera memulai.
Ya sudahlah, tak usah basa-basi lagi. Lebih baik, ia segera melakukannya. Buat apa menunda waktu? Sayang sekali jika tak dicicipi. Toh, gadis di depannya ini adalah miliknya sekarang. Bonekanya.
Tari menahan napas menyadari wajahnya yang begitu dekat dengan Sadewa. Begitu gugup dan tegang. Seumur-umur, baru kali ini ia satu ruangan dengan lelaki. Dan suaminya ini sangat mengerikan. Rambutnya panjang, dengan tindik di telinga yang sesekali berkilat karena cahaya lampu temaram. Sadewa berwajah rupawan sebenarnya, tapi Tari bergidik melihatnya. Seperti preman pasar. Mimpi apa aku harus menikah dengannya?
Tentu saja sepenuhnya Tari sadar, bukan karena saling mencintai yang membuatnya di ruangan ini.
Untuk meredam gugup, Tari menatap bunga-bunga segar di sudut kamar dengan lilin aromaterapi warna-warni melingkar di lantai membentuk simbol cinta, wanginya sungguh mendamaikan pikiran. Ia memejamkan mata saat Sadewa hendak menciumnya.
Ting!
Lelaki itu cepat menjauhkan tubuh, dengan jengkel meraih HP. "Ya?!" katanya dengan wajah kesal. Tapi tak lama. Sedetik kemudian, senyum lebar penuh kemenangan terukir di bibir tipisnya, membuatnya terlihat begitu menawan saat dua cekungan mungil di pipi kiri dan kanan tampak. Rupawan. Dengan rambut lurus tergerai sebahu itu, ia tampak seperti tokoh pangeran dalam televisi.
Tapi, tidak di mata Tari. Lelaki itu sudah membuatnya takut sejak pertemuan pertama. Berkata sedemikian menusuk tanpa memikirkan perkataan orang.
Tari menatap sang suami yang lagi-lagi tersenyum sendiri.
"Ya! Kamu awasi saja pacarku itu. Tentu. Tentu. Tapi aku akan ke Bali dulu. Jangan sampai nyonya tahu. Ingat, awasi pacarku jangan sampai lepas."
Tari menatap Dewa dengan tatapan tak percaya. Ia sudah tahu semuanya dari mama mertua. Tapi perkataan Dewa barusan, membuatnya syok. Lelakinya begitu transparan. Tak menutup-nutupi. Padahal ada dia, istri sahnya.
Teringat semuanya, Tari menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Entahlah apa Dewa sungguh-sungguh dengan perkataannya menjelang resepsi.
Mama, kenapa kamu begitu jahat? Membuatku kehilangan harga diri di depan suami sendiri. Ah, sudahlah. Ia tak mau mengingatnya, hanya akan membuatnya sedih dan sakit hati.
Biarlah pernikahan ini, mengalir seperti air. Kelak akan menemukan muaranya. Dewa serupa air, ia adalah pemberhentian terakhir. Begitu seharusnya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Baby?"
"Kak Dewa ... punya pacar?" tanya Tari dengan wajah ragu.
Senyum tipis terukir di bibir Dewa. "Tentu saja aku punya pacar. Pacarku begitu cantik. Nanti, akan kukenalkan kamu dengan pacarku, Baby."
Rasa sakit menusuk d**a Tari.
"Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?" Dewa mengerutkan kening. Ia tekan HP-nya, lalu mendongakkan wajah Tari.
Tari menggelengkan kepala.
"Ingat, Baby, ucapanku sebelum kita menikah. Mengerti?" Mata Dewa sedikit terpicing, menatap Tari begitu merendahkan.
"Ingat, Kak Dewa."
Dewa tersenyum mencemooh. "Panggil apa?"
"Kak Dewa." Lirih, Tari menyahut. Jari telunjuk Dewa langsung melayang-layang di udara, tepat di depan gadis yang ketakutan itu.
"Panggil aku, Tuan. Karena aku tuanmu. Tuan, Tari. dengar?"
Tari ingin menangis, tapi mengurungkan niatnya itu. "Iya, Kak Dewa. Eh, Tuan."
Dewa tersenyum sendiri. Diciumnya lembut bibir Tari, membuat gadis itu terdiam. Dadanya bergemuruh hebat, dengan detak jantung sangat cepat seakan hendak lompat dari rongganya. Ini yang pertama.
Ting!
Dewa lagi-lagi meraih HP-nya dengan jengkel. "Yaa?! Oooh, oke baiklaaah," kata dewa sambil menatapnya.
"Kita tunda malam pertama kita, Baby. Apa kamu sudah tak sabar?" Lelaki itu mengerling.
Lelaki gila. Kalau bisa, ia malah tak ingin ada kontak fisik di antara mereka. Mama, kenapa kamu begitu jahat?
Dewa menciumnya, lalu melangkah keluar. "Bagaimana dengan Pacarku? Kamu ikuti terus. Di hotel mana dia dan suaminya--"
Tari tak mendengarnya suara suaminya lagi. Lelaki itu keburu menghilang dibalik pintu. Tari memeluk lutut, rasa sedih yang sejak tadi menggumpal di d**a membuatnya kini terisak-isak. Sakit, Mama. Sakit. Lelaki pilihan Mama, ternyata memang punya pacar.