Pecat Saja

1940 Words
Aku menatap Mika, sepertinya bosku agak aneh hari ini. Aku menatap laki-laki di sebelahku itu dengan penuh tanda tanya. Apakah dia benar-benar tak mengenaliku? Aku menatap tanganku yang dari tadi digenggamnya, bukankah biasanya dia akan menepis tanganku bila tak sengaja menyentuhnya? Kenapa sekarang justru dia yang tak mau melepasnya. Seperti biasanya pagi ini aku sudah berada di kantor, setelah memarkir sepeda motorku di tempat biasa aku segera berjalan untuk memasuki gedung  kantorku, Aku hamper sampai di lift saat teleponku tiba-tiba berdering, Aku meraba saku kemejaku tapi tak menemukan ponselku di sana jadi aku berhenti untuk  mengambilnya di dalam tas. Aku baru saja hendak meraihnya dan hendak melihat siapa yang menelponku sepagi ini saat sesuatu yang keras menubrukku membuatku terjatuh dan ponsel yang kupegang terlempar entah kemana. Untunglah suasana kantor masih sepi jadi aku tidak harus menahan malu menjadi tontonan banyak orang. “Aduh!” aku berteriak antara sakit, kaget dan kesal . Aku segera memutar kepalaku dan menemukan wajah bos ku di sana. Tak ada penyesalkan atau rasa bersalah  di sana dia karena telah membuatku terjatuh. Tangannya masih memegang ponsel miliknya  terangkat di depan mukanya. Kebiasaan bos kalau telepon sambil jalan kadang tidak memperhatikan jalan! “Kenapa kamu berhenti tiba-tiba?”  suara Mika terdengar jengkel. “Uh. Bos sendiri kenapa kalau jalan  gak lihat-lihat!” keluhku. “ Aku mana tahu kalau bos di belakang!” “Kalau salah, salah saja! Gak usah nyalahin orang lain!” gerutunya sambil menatapku jengkel. Aku meringis menahan sakit, dengan susah payah aku berdiri dan berjalan tertatih untuk mencari ponselku yang terjatuh. Mika hanya menatapku tak perduli, sama sekali tak merasa bersalah, Aku merasa dongkol saat dia mengabaikankanku dan bahkan  memasuki lift yang terbuka meninggalkanku yang masih kebingungan mencari ponselku. Akhirnya setelah beberapa waktu mencari aku menemukan ponselku berada di balik pot besar yang ada di sekitar lift. “Nyari apa, Nat?” tanya Boy salah satu staf marketing dengan ramah. “Ini, tadi jatuh,”Aku memperlihatkan ponselku yang terjatuh.  Aku menjadi kecewa saat melihat layar ponselku retak dan lebih kecewa lagi saat tak bisa kunyalakan.. “Rusak?” tanya Boy melihat raut wajahku. Aku mengangguk. “Tinggal beli  baru,” komentar Boy tersenyum sambil membantuku berjalan. Aku tersenyum kecut sambil menggeleng, aku tak mungkin bisa segera membelinya  karena uangku baru saja kutransfer kepada ibuku di kampung. Melihatku yang kesakitan saat berjalan, Boy segera berjongkok dan memeriksa kakiku dengan seksama. “Keseleo,” gumamnya, “Tahan sedikit ya, Nat, aku akan coba membenarkan kakimu yang keseleo.” Boy segera menarik kakiku, aku segera memegang kedua bahunya agar tidak terjatuh. aku merasakan nyeri yang sangat saat Boy menarik kakiku tapi sekejap kemudian, nyeriku berkurang. “Sudah, Nat. Gimana? Sudah enakan?” Boy tersenyum. “Iya, makasih,” Aku menggerakkan kaki kananku yang tak sesakit tadi. “Huh, pagi-pagi sudah mesra-mesraan!” gerutu seseorang  menatap kami dengan tatapan tak suka. Aku lalu menyadari bahwa sudah banyak karyawan yang berdatangngan. Boy menuntunku memasuki salah satu lift yang terbuka dan mengabaikan  tatapan  tak suka para karyawati yang ada di sekitar kami. Mereka tak suka aku dekat dengan Boy karena Boy adalah cowok idaman banget bagi karyawati di sini. Boy tampan, ramah, suka membantu orang dan pekerja yang handal sedang aku hanya seorang perempuan cupu yang sama sekali tak sepadan dengan Boy. Beberapa karyawati ikut masuk ke dalam lift, membuatku terdesak ke belakang. Boy berusaha melindungiku membuatku tersanjung meski aku harus menerima tatapan tajam dari para perempuan yang mengidolakan Boy. “Kamu bisa sendiri? Kalau tidak, aku bantu kamu sampai ke ruanganmu?” tanya  Boy saat hamper sampai di lantainya, membuat tatapan horror dari para penggemarnya tertuju padaku. “Aku sendiri saja, terimakasih,” balasku sambil menunduk. Aku sungguh merasa tak nyaman dengan situasi saat ini. Ting! Pintu Lift terbuka. kami sampai di lantai tempat ruangan Boy berada. “Baiklah, hati-hati. Kalau kamu butuh bantuan , telpon saja aku. Kamu bisa mengandalakanku,” katanya sambil melangkah keluar dari lift dengan santai tanpa memperhatikan  tanpa memperhatikan tatapan membunuh dari gadis-gadis yang ada di lift kepadaku. “Heran, padahal penampilan cupu gitu, kenapa Boy bisa perhatian sama dia?!” kata salah satu karyawati yang berpakaian sangat seksi yang merupakan incaran para cowok di sini, dia mengenakan baju dengan leher berpotongan rendah hingga belahan di dadanya kelihatan. Ting! Pintu lift Kembali terbuka, aku merasa lega saat para gadis itu meninggalkanku sendiri di dalam lift karena aku mejaku berada di lantai teratas bangunan ini. Akhirnya aku sampai di lantai teratas, aku keluar dari dalam lift dengan tertatih melewati meja sekretaris dan memasuki ruangan bos menyebalkan. Aku meletakkan tas kerjaku di dalam loker di belakang kursi yang kududuki. Aku melihat bosku yang menjengkelkan telah duduk dengan jumawa di kursi kebesarannya tanpa menatap kehadiranku. Benar-benar ajaib, aku betah menjadi asistennya selama sebulan lebih lima hari ini. Aku menggerak-gerakkan kakiku yang sakit tadi, masih ada sedikit nyeri tapi sudah tidak sesakit tadi. Untung saja ada Boy, kalau tidak mungkin aku masih akan kesulitan berjalan. Aku menatap jengkel pada orang yang duduk di kursi kebesarannya. seorang yang arogan dan egois. Huh, pantas saja masih jomblo, siapa yang tahan dengan sikapnya yang menyebalkan! Aku merutuk dalam hati. Tiba-tiba bayangan Mika yang lembut dan penuh cinta yang kulihat di pesta ulang tahun bosnya Rani  melintas begitu saja di benakku membuatku. Sosok yang sangat lain dengan yang ada di depanku saat ini. Mika yang itu begitu memujaku, seakan aku adalah seorang putri yang harus dijaga dengan seluruh nyawanya, sedang Mika yang ada di depanku sangat menyebalkan. Apakah mereka dua orang yang sama? “Nat, mana kopiku?” tanyanya dingin. “Sebentar, Pak. saya akan minta Dedi untuk membuatkan,” aku meraih aiphon di mejaku dan hendak menekan nomor bagian pantry.   “Tidak! Akum au kamu yang membuatkan!” “Tapi, bos..” “Apa?” Mika menghentikan  protesku  dengan tatapannya yang galak. “Kakiku sakit. ini gara-gara tadi Bos menubrukku,” keluhku. “Jadi kamu  menyalahkan aku?” Mika sudah berdiri di depan mejaku dan menatapku  dengan tajam. “Bukan begitu, bos… tapi kakiku….” “Jadi kamu menolak perintahku?” potongnya lagi, Mika mulai sewot. “Kali ini, iya!” Aku menantang tatapan matanya. “Kamu mau aku pecat?!” Suara Mika meninggi. “Kalau mau pecat, pecat saja! Gak usah ngancam-ngancam gitu!” Aku ikutan sewot terbawa emosi. Dalam hati aku terkejut, bagaimana kalau dia memecatku beneran? Bakal kerja apa aku? Ah, sudah terlanjur… Mika Kembali duduk di kursinya menatapku dengan jengkel. *** AlanyLove                      Love My Boss 3   Aku menatap Mika, sepertinya bosku agak aneh hari ini. Aku menatap laki-laki di sebelahku itu dengan penuh tanda tanya. Apakah dia benar-benar tak mengenaliku? Aku menatap tanganku yang dari tadi digenggamnya, bukankah biasanya dia akan menepis tanganku bila tak sengaja menyentuhnya? Kenapa sekarang justru dia yang tak mau melepasnya. Seperti biasanya pagi ini aku sudah berada di kantor, setelah memarkir sepeda motorku di tempat biasa aku segera berjalan untuk memasuki gedung  kantorku, Aku hamper sampai di lift saat teleponku tiba-tiba berdering, Aku meraba saku kemejaku tapi tak menemukan ponselku di sana jadi aku berhenti untuk  mengambilnya di dalam tas. Aku baru saja hendak meraihnya dan hendak melihat siapa yang menelponku sepagi ini saat sesuatu yang keras menubrukku membuatku terjatuh dan ponsel yang kupegang terlempar entah kemana. Untunglah suasana kantor masih sepi jadi aku tidak harus menahan malu menjadi tontonan banyak orang. “Aduh!” aku berteriak antara sakit, kaget dan kesal . Aku segera memutar kepalaku dan menemukan wajah bos ku di sana. Tak ada penyesalkan atau rasa bersalah  di sana dia karena telah membuatku terjatuh. Tangannya masih memegang ponsel miliknya  terangkat di depan mukanya. Kebiasaan bos kalau telepon sambil jalan kadang tidak memperhatikan jalan! “Kenapa kamu berhenti tiba-tiba?”  suara Mika terdengar jengkel. “Uh. Bos sendiri kenapa kalau jalan  gak lihat-lihat!” keluhku. “ Aku mana tahu kalau bos di belakang!” “Kalau salah, salah saja! Gak usah nyalahin orang lain!” gerutunya sambil menatapku jengkel. Aku meringis menahan sakit, dengan susah payah aku berdiri dan berjalan tertatih untuk mencari ponselku yang terjatuh. Mika hanya menatapku tak perduli, sama sekali tak merasa bersalah, Aku merasa dongkol saat dia mengabaikankanku dan bahkan  memasuki lift yang terbuka meninggalkanku yang masih kebingungan mencari ponselku. Akhirnya setelah beberapa waktu mencari aku menemukan ponselku berada di balik pot besar yang ada di sekitar lift. “Nyari apa, Nat?” tanya Boy salah satu staf marketing dengan ramah. “Ini, tadi jatuh,”Aku memperlihatkan ponselku yang terjatuh.  Aku menjadi kecewa saat melihat layar ponselku retak dan lebih kecewa lagi saat tak bisa kunyalakan.. “Rusak?” tanya Boy melihat raut wajahku. Aku mengangguk. “Tinggal beli  baru,” komentar Boy tersenyum sambil membantuku berjalan. Aku tersenyum kecut sambil menggeleng, aku tak mungkin bisa segera membelinya  karena uangku baru saja kutransfer kepada ibuku di kampung. Melihatku yang kesakitan saat berjalan, Boy segera berjongkok dan memeriksa kakiku dengan seksama. “Keseleo,” gumamnya, “Tahan sedikit ya, Nat, aku akan coba membenarkan kakimu yang keseleo.” Boy segera menarik kakiku, aku segera memegang kedua bahunya agar tidak terjatuh. aku merasakan nyeri yang sangat saat Boy menarik kakiku tapi sekejap kemudian, nyeriku berkurang. “Sudah, Nat. Gimana? Sudah enakan?” Boy tersenyum. “Iya, makasih,” Aku menggerakkan kaki kananku yang tak sesakit tadi. “Huh, pagi-pagi sudah mesra-mesraan!” gerutu seseorang  menatap kami dengan tatapan tak suka. Aku lalu menyadari bahwa sudah banyak karyawan yang berdatangngan. Boy menuntunku memasuki salah satu lift yang terbuka dan mengabaikan  tatapan  tak suka para karyawati yang ada di sekitar kami. Mereka tak suka aku dekat dengan Boy karena Boy adalah cowok idaman banget bagi karyawati di sini. Boy tampan, ramah, suka membantu orang dan pekerja yang handal sedang aku hanya seorang perempuan cupu yang sama sekali tak sepadan dengan Boy. Beberapa karyawati ikut masuk ke dalam lift, membuatku terdesak ke belakang. Boy berusaha melindungiku membuatku tersanjung meski aku harus menerima tatapan tajam dari para perempuan yang mengidolakan Boy. “Kamu bisa sendiri? Kalau tidak, aku bantu kamu sampai ke ruanganmu?” tanya  Boy saat hamper sampai di lantainya, membuat tatapan horror dari para penggemarnya tertuju padaku. “Aku sendiri saja, terimakasih,” balasku sambil menunduk. Aku sungguh merasa tak nyaman dengan situasi saat ini. Ting! Pintu Lift terbuka. kami sampai di lantai tempat ruangan Boy berada. “Baiklah, hati-hati. Kalau kamu butuh bantuan , telpon saja aku. Kamu bisa mengandalakanku,” katanya sambil melangkah keluar dari lift dengan santai tanpa memperhatikan  tanpa memperhatikan tatapan membunuh dari gadis-gadis yang ada di lift kepadaku. “Heran, padahal penampilan cupu gitu, kenapa Boy bisa perhatian sama dia?!” kata salah satu karyawati yang berpakaian sangat seksi yang merupakan incaran para cowok di sini, dia mengenakan baju dengan leher berpotongan rendah hingga belahan di dadanya kelihatan. Ting! Pintu lift Kembali terbuka, aku merasa lega saat para gadis itu meninggalkanku sendiri di dalam lift karena aku mejaku berada di lantai teratas bangunan ini. Akhirnya aku sampai di lantai teratas, aku keluar dari dalam lift dengan tertatih melewati meja sekretaris dan memasuki ruangan bos menyebalkan. Aku meletakkan tas kerjaku di dalam loker di belakang kursi yang kududuki. Aku melihat bosku yang menjengkelkan telah duduk dengan jumawa di kursi kebesarannya tanpa menatap kehadiranku. Benar-benar ajaib, aku betah menjadi asistennya selama sebulan lebih lima hari ini. Aku menggerak-gerakkan kakiku yang sakit tadi, masih ada sedikit nyeri tapi sudah tidak sesakit tadi. Untung saja ada Boy, kalau tidak mungkin aku masih akan kesulitan berjalan. Aku menatap jengkel pada orang yang duduk di kursi kebesarannya. seorang yang arogan dan egois. Huh, pantas saja masih jomblo, siapa yang tahan dengan sikapnya yang menyebalkan! Aku merutuk dalam hati. Tiba-tiba bayangan Mika yang lembut dan penuh cinta yang kulihat di pesta ulang tahun bosnya Rani  melintas begitu saja di benakku membuatku. Sosok yang sangat lain dengan yang ada di depanku saat ini. Mika yang itu begitu memujaku, seakan aku adalah seorang putri yang harus dijaga dengan seluruh nyawanya, sedang Mika yang ada di depanku sangat menyebalkan. Apakah mereka dua orang yang sama? “Nat, mana kopiku?” tanyanya dingin. “Sebentar, Pak. saya akan minta Dedi untuk membuatkan,” aku meraih aiphon di mejaku dan hendak menekan nomor bagian pantry.   “Tidak! Akum au kamu yang membuatkan!” “Tapi, bos..” “Apa?” Mika menghentikan  protesku  dengan tatapannya yang galak. “Kakiku sakit. ini gara-gara tadi Bos menubrukku,” keluhku. “Jadi kamu  menyalahkan aku?” Mika sudah berdiri di depan mejaku dan menatapku  dengan tajam. “Bukan begitu, bos… tapi kakiku….” “Jadi kamu menolak perintahku?” potongnya lagi, Mika mulai sewot. “Kali ini, iya!” Aku menantang tatapan matanya. “Kamu mau aku pecat?!” Suara Mika meninggi. “Kalau mau pecat, pecat saja! Gak usah ngancam-ngancam gitu!” Aku ikutan sewot terbawa emosi. Dalam hati aku terkejut, bagaimana kalau dia memecatku beneran? Bakal kerja apa aku? Ah, sudah terlanjur… Mika Kembali duduk di kursinya menatapku dengan jengkel. *** AlanyLove                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD