Bab 2. Awake

1280 Words
"Run, Baby! Run! Don't look back!" Wanita cantik itu berlari dengan pipi basah, berderai air mata. Sesaat kemudian, wanita itu terpelanting dan terjatuh ke dalam lubang hitam. Kedua tangannya terulur, berharap seseorang akan menggapai. Namun, perlahan tubuhnya hilang ditelan kegelapan. "Camila!" Meski Joseph berteriak sekuat tenaga, namun tidak ada satu orang pun yang mendengarnya. Pria itu seperti ditarik ke dalam sebuah ruangan tanpa cahaya. Dalam sekejap, hanya gelap dan dingin yang dia rasakan. Dia terduduk memeluk lutut, meratapi kematian istrinya. Sayup-sayup suara monitor menelusup ke dalam indera pendengaran Joseph. Perlahan suara itu terdengar semakin jelas, namun kelopak matanya terasa sangat berat untuk dibuka. Pria itu berusaha menggerakkan apapun di bagian tubuhnya yang mampu dia gerakkan. Namun, lagi-lagi dia harus menyerah karena kondisi tubuh yang terasa sangat lemah. Perlu beberapa saat bagi Joseph untuk mengumpulkan tenaga hingga dia mampu membuka kelopak matanya. "Kau sudah bangun?" Suara asing itu terdengar begitu jelas di telinga Joseph. Dengan mata sayu, Joseph berusaha memutar kepala ke samping. Dia melihat seorang pria dengan setelan jas mahal dan rambut yang tersisir rapi ke belakang sedang berdiri di sisi kiri tempatnya berbaring. "Minum?" Pria asing tersebut mengangkat gelas berisi air putih yang telah diberi sedotan lalu mengarahkan ujung sedotan tersebut ke bibir Joseph. Joseph meminum sedikit air itu untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Secara bertahap kesadaran Joseph mulai terkumpul. Dia menilik ke sekeliling ruangan tersebut. Warna putih dan silver tampak mendominasi, dia merasa tidak asing dengan tempat seperti ini. Beberapa peralatan medis yang lazim berada di rumah sakit tampak mengelilinginya. Apa dia sedang berada di rumah sakit? Kedua mata Joseph terus menelusuri setiap sudut ruangan yang mampu dia jangkau. Hingga dia menyadari satu hal, tidak ada satu ruangan pun di rumah sakit yang seluas ini, lengkap dengan beberapa perangkat elektronik canggih dan beberapa pria kekar berjas hitam di sisi ruangan yang lain. "Camila!" Dengan suara lemah, Joseph memanggil nama sang istri saat mengingat hal terakhir yang dia alami. Pria itu hendak bangkit, namun tubuhnya terasa terlalu lemah dan terasa sakit hampir di semua bagian. Detak jantungnya langsung meningkat, seiring kewaspadaan yang juga meningkat. Siapa orang-orang ini? Pria asing itu terkekeh melihat Joseph yang gagal bangkit. "Kau terlalu lemah untuk bangun, Nak. Nikmati saja waktumu untuk beristirahat," ucapnya. Dengan satu lambaian tangan, seorang pria dengan pakaian mirip dokter datang mendekat. Pria asing itu membiarkan Joseph menjalani beberapa prosedur pemeriksaan hingga selesai. Joseph melihat beberapa kabel yang menempel di dadanya. Di beberapa bagian juga menempel kain kasa yang dia yakini untuk menutup bekas luka tembakan. Ya, dia masih ingat dengan beberapa timah panas yang menembus tubuhnya. "Kau baru saja kembali dari kematian." Pria asing itu tersenyum sambil menarik kursi untuk duduk di samping pembaringan Joseph. "Siapa kau?" desis Joseph, menatap tajam pada pria tersebut. Pria asing itu tertawa lebar lalu berkata, "Kau bisa memanggilku Dreyfus. Aku yang telah menyelamatkanmu." Tatapan mata Joseph masih setajam tadi, menatap curiga pada pria tersebut. Dia tidak akan percaya begitu saja dengan pria itu. Bisa saja pria yang mengaku bernama Dreyfus tersebut adalah salah satu anak buah Andrew, ayah Camila. "Sudah kuduga." Dreyfus mengambil sebuah tablet lalu membuka folder penyimpanan gambar. "See? Anak buahku menemukanmu di tepi pantai." Dreyfus menunjukkan beberapa foto ketika Joseph terkapar di atas pasir dengan wajah pucat dan bibir membiru. Joseph mengerutkan kening. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat Camila terjatuh ke laut dan dia dihajar habis-habisan oleh anak buah Andrew. Lantas, bagaimana dia bisa sampai di tepi pantai? Apa tubuhnya juga dilempar ke laut oleh mereka? "Sudah kubilang kalau kau baru saja kembali dari kematian." Dreyfus menyimpan tabletnya kembali. "Kau punya banyak nyawa, Nak. Dan aku menyukainya," lanjut pria itu. Otak Joseph kembali berputar. Jika mereka menemukan Joseph di pantai, apa mereka juga menemukan Camila di sana? "Apa ada orang lain lagi selain diriku di sana?" tanya Joseph. Dreyfus menarik sudut bibir ke bawah sambil mengangkat alis. Lantas, pria itu melihat pada Joseph dengan mata sedikit menyipit. "Apa ada orang lain lagi yang harus kutemukan di sana?" tanya Dreyfus seolah mengulang pertanyaan Joseph. Jawaban Dreyfus sama artinya jika tidak ada orang lain selain dirinya yang ada di pantai saat itu. Joseph mulai ditelan rasa kehilangan. Apa Camila bisa selamat dari kematian seperti dirinya? Apa wanita yang dia cintai itu saat ini tengah terbaring di sebuah rumah sakit? Tidak! Joseph menggeleng kepala dengan raut wajah pias saat memikirkan hal terburuk yang terjadi pada istrinya. Dia sangat mencintai Camila. Begitu pula dengan wanita itu, meski hubungan mereka tidak mendapat restu dari ayah Camila yang berakhir dengan pelarian berujung petaka bagi mereka. Tepat di malam pertamanya, Joseph harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai. Itu lebih menyakitkan daripada kematiannya sendiri. "Jadi ... apa aku sudah boleh mengajukan pertanyaan sekarang?" Dreyfus berbicara seolah dia membutuhkan izin untuk mengajukan pertanyaan. Padahal kenyataannya, dengan izin ataupun tidak, dia tetap akan bertanya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Joseph. Pria itu masih kalut memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Camila. "Siapa namamu, Nak?" tanya Dreyfus. Pertanyaan itu membuat Joseph memfokuskan pandangannya pada Dreyfus. Wajah pria itu tidak bisa berbohong jika dia sedang merasakan kekalutan yang besar. Apalagi dia juga tidak tahu siapa pria yang tengah duduk di samping pembaringannya itu. Apakah dia orang yang bisa dipercaya? "Aku bukan pengangguran yang bisa menghabiskan waktu seharian untuk menunggu jawabanmu, Anak Muda." Dreyfus menghela napas panjang, menunggu jawaban Joseph. Setelah diam beberapa saat, menimbang apakah dia bisa memercayai pria tersebut, akhirnya dia memutuskan untuk menjawab, "Joseph." Kedua alis Dreyfus terangkat. "Hanya ... Joseph?" Baiklah, rasanya tidak ada gunanya juga Joseph menutup mulut. Melihat fasilitas yang mengelilinginya saat ini, dia bisa menebak kalau Dreyfus bisa saja mendapatkan informasi tentang dirinya dengan mudah tanpa harus bertanya. "Hunter. Joseph Hunter," jawabnya. Pria dengan setelan jas mahal itu menyunggingkan senyum kecil. "Hm... nama yang bagus. Tapi aku akan lebih senang memanggilmu Hunter. Pemburu," ujarnya dengan maksud tersirat. "Apa kau akan memberitahuku, apa yang membuatmu berakhir mengenaskan dengan tubuh babak belur dan tiga peluru yang bersarang di dalam tubuhmu?" Dreyfus sama sekali tidak menutup-nutupi keingintahuannya. Namun, Joseph tidak sepemikiran. Dia enggan untuk menceritakan masalah yang dia hadapi meski dia tidak tahu apakah Dreyfus bersungguh-sungguh ingin dia menceritakannya. "Berandalan. Hal biasa," jawab Joseph. "Sungguh?" Wajah Dreyfus mengerut, tidak percaya dengan jawaban Joseph. "Berandalan di tengah hutan?" lanjutnya. Ayolah, Siapa saja juga bisa melihat kalau pertanyaan Dreyfus tidak lebih dari sekadar omong kosong. Jika Dreyfus menemukannya di pantai, bagaimana dia tahu kalau sebelumnya Joseph bertarung di hutan? Bukankah itu berarti Dreyfus telah mengetahui lebih banyak dari yang dia tanyakan? Hal konyol yang membuat Joseph enggan untuk menjawab pertanyaannya lagi. "Sepertinya pohon dan ngengat sudah lebih dulu menjawab pertanyaan itu," tutur Joseph skeptis. Ucapan Joseph mengundang tawa Dreyfus. Menjawab atau tidak, bukan perkara sulit bagi pria berjambang itu untuk mendapatkan informasi tentang Joseph. "Dan sepertinya aku semakin menyukaimu," balas Dreyfus. Firasat Joseph tentang Dreyfus tidaklah baik. Meski pria itu telah menyelamatkan nyawanya, namun Joseph merasa Dreyfus adalah orang yang licik. Jelas sekali bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Dia merasa memercayai Dreyfus bukanlah keputusan yang tepat. Dia yakin jika akan ada harga sangat mahal yang harus dia bayar untuk semua ini. Namun tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang, di saat kondisinya sangat lemah. "Beristirahatlah, Nak. Akan lebih mudah berpikir di saat kondisimu prima. Dua hari lagi aku akan mengunjungimu." Dreyfus menarik tipis satu sudut bibir ke atas lalu beanjak dari duduknya. "Nyamankan dirimu. Anggap seperti di rumah sendiri," ujar Dreyfus sebelum dia berbalik meninggalkan Joseph. Senyum tipis di bibir Dreyfus perlahan berubah menjadi seringai. Sekali melihat saja, pria berusia akhir empat puluhan itu bisa melihat potensi dalam diri Joseph yang akan memberikan keuntungan padanya. Dia hanya perlu memulihkan kondisi Joseph sehingga pria yang telah dia selamatkan itu akan berada di dalam genggamannya, dalam kendalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD