53. Around

1132 Words
Harapan baru kian terbit dari hari ke hari. Harapan yang menjadi alasan banyak orang untuk terus mensyukuri kehidupan di dunia yang begitu singkat ini. Apa yang dikatakan oleh Roger memang benar. Anna menganggap apa yang sedari dulu menjadi kekurangannya sekarang menjadi kelebihannya. Dia memang orang pilihan Tuhan yang diberikan keistimewaan tersebut, yang harus berjuang lebih dari yang lain untuk bisa memiliki keturunan. Demi dirinya sendiri, demi sang suami, juga demi keluarganya. Meskipun banyak orang du luar sana yang bernasib sama seperti Anna, namun tetap saja berbeda karena setiap orang emmiliki porsinya masing-masing. Anna tahu kalau dia tidak dipaksa, tidak juga diwajibkan punya anak. Karena memiliki anak bukanlah perkara gampang. Bahkan Roger mengatakan kalau punya Anna itu pilihan. Anna bisa tidak memilikinya karena keputusan bersama perihal kasus disfungsi hipotamalus yang memang diderita oleh dirinya. Itu bukan suatu perkara yang main-main karena Anna tidak sedang mengada-ngada tentang kesehatannya. Bahkan kalau bisa memilih, Anna hanya berharap itu hanya sekedar mimpi buruk dan Anna bisa bangun dengan lega tanpa takut setiap waktu jika yang menjadi ketakutannya, yang juga menjadi ketakutan banyak orang mejadi kenyataan. Setelah mendengar perkataan Roger di dalam mobil saat itu, Anna justru menyesal kenapa baru berpikir seperti itu. Sekarang dia lebih rajin berpikir positif, yang penting sudah usaha bersama Roger semaksimal mungkin. Mau dikasih atau tidak, itu urusan Tuhan. Yang penting kedua orang itu sudah ikthiar dan berpasrah diri. Semuanya kembali pada Tuhan Pemilik Alam Semesta. Karena sesunggunya hanya Dia yang mengetahu apa yang baik dan buruk untuk hamba-Nya. Enam bulan ini Anna dan Roger masih tinggal bersama dengan kedua orang tua Anna. Tapi sekarang Anna sudah kembali ingin menempati rumah yang dibagun oleh Roger untuk keluarga kecilnya. Sebagai bentuk penghargaan untuk suaminya yang sudah berjuang keras untuk memenuhi semua kebutuhannya. Entah itu sandang, pangan dan papan. Karena itu, waktu yang ditunggu-tunggu segera tiba. Anna sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan rumah barunya yang kalau diukur-ukur jaraknya hanya 1,5 kilometer dari kediaman orang tuanya sendiri. Setengah tahun dia bersabar menunggu untuk bisa hidup bersama Roger di sana karena memang itu yang Anna tunggu-tunggu sedari dulu. “Kak, ayo…” Anna memanggil Roger lembut yang masih keenakan duduk di balkon memandang iMac seraya menyeruput kopi. “Ayo kemana?” tanya Roger balik, terlihat santai, kalem sekali balasannya. “Ke rumah. Kan Kakak sudah janji kemarin, masak lupa?” Bibir mengerucut yang Anna tampilkan membuat Roger tersenyum tipis. “Kemari dulu.” Pintanya. Meski berjalan ogah-ogahan, Anna tetap berjalan mendekat ke arah Roger. “Apa?” “Cium dulu.” Kata Roger menggoda. Anna menurut saja daripada tambah lama dia bisa bermain ke rumah baru. Langsung saja di kecup pipi suaminya. “Sudah.” Katanya seperti anak kecil yang berhasil dikerjai oleh kakak atau temannya sendiri. “Eits, mau kemana? Kemari lagi. Di sini kan belum.” Dengan senyum cengengesan, Roger menunjuk bibirnya, sengaja membuat Anna kesal. Lagi-lagi Anna pasrah saja seperti anak kecil, dia duduk di pangkuan Roger dan mengalunkan kedua tangannya di leher lelaki itu, mencium bibir suaminya tidak sabaran lebih dulu. “Astaga pelan-pelan, Na. Kau terburu-buru sekali memangnya mau kemana?” Roger memandang istrinya ini dengan gelengan pelan. Tidak menyangka kalau ada perlu bisa ganas juga istrinya. Biasanya Roger yang gerak lebih dulu dan Anna hanya membalas alakadarnya. “Kakak lama sekali, kan aku ingin kesana dari dulu tapi tidak diboleh-bolehkan. Apa aku kabur saja dari rumah?” tanyaya. “Eh, kau mengancam, ya? Tidak boleh, Sayang.” Roger tertawa karena ulah istrinya ini menurutnya sangat menggemaskan. Bisa-bisanya berbicara seperti itu. Belum keluar gerbang, sudah dihadang ajudannya yang bertubuh besar-besar. Memangnya Anna bisa lari kemana lagi kecuali putar balik dan kembali masuk ke rumah? “Makanya. Siapa juga yang meminta Kakak mengerjaiku? Ayo…” rajuknya. “Iya-iya, sini dipeluk dulu.” Lelaki ini kembali mendekap Anna erat, menciumi puncak kepalanya sebelum akhirnya berdiri dan memasukkan barang-barangnya di balkon tadi, menuruti keinginan istrinya. * “Lhoh, rapi sekali mau kemana?” Irish yang kebetulan sedang menimang Niel di sofa ruang keluarga menegur begitu melihat Anna dan Roger terlihat mau pergi. Sementara Anna hanya menunjuk Roger, dan dia sendiri berjalan menghampiri Irish, ingin menggendong Niel yang sudah lincah sekali sekarang, tidak nangisan seperti waktu awal-awal kelahirannya dulu, rewel sekali. “Mau kemana, Ger?” Irish kembali duduk dan bertanya pada Roger yang masih berdiri. “Anna minta diantar ke rumah baru, Ma. Mau lihat-lihat—“ “Mau tinggal di sana.” Anna langsung mengoreksi, tapi fokusnya sibuk mengajak Niel bermain. Irish hanya geleng-geleng melihat tingkah putri bungsunya yang menjadi kesayangan semua orang ini. “Ya sudah, hati-hati perginya.” “Neil boleh ikut denganku, Ma?” tanya Anna tiba-tiba mengide seperti itu. “Apa tidak merepotkan, takutnya rewel.” “Niel tidak pernah merepotkan, Oma. Iya kan, Sayang?” Anna tersenyum melihat Niel, bayi kecil yang seakan bisa mengerti perkataannya karena Niel tersenyum saat Anna mengajaknya berbicara. “Ya sudah kalau begitu, Mama mintakan Mbak untuk menyiapkan tas Niel dulu.” “Siap Oma.” Anna yang tadi berdiri menimang-nimang, kini duduk di sofa dan Roger ikut menyusul, menjawil tangan gembul keponakannya ini. “Halo Sayang?” “Hai, Om.” Roger lantas meringis, geli sendiri mendengar Anna memanggilnya Om. “Aku suamimu, Na. Bukan Om-mu.” Perempuan berwajah jelita itu hanya tertawa. “Kan memang sudah om-om.” Lanjutnya mengajak bercanda. “Kau juga sudah tente-tante. Niel akan memanggilmu tante, dan aku akan dipanggil uncle.” “Tidak bisa, kalau Kakak uncle, berarti aku aunty ya Sayang.” Menunggu Irish datang membawa keperluan Niel, Anna dan Roger bekerja sama untuk mengajak bayi laki-laki itu berbicara. Wajahnya yang mirip Jordan menggemaskan sekali. Pipinya besar, matanya bulat dengan bibir yang mungil. “Nanti kita punya sendiri.” Kata Roger seraya menumpukan kepalanya di bahu Anna. Anna jelas mengaminkan dalam lisan maupun batinnya. Memangnya siapa yang tidak ingin memiliki seorang anak? Jelas setiap pasangan suami istri pasti menginginkan seorang anak dalam pernikahannya. Begitu Irish kembali membawa tas yang berisi keperluan Niel, Anna dan Roger lantas pamit. “Nanti kalau rewel bawa pulang saja, ya?” “Niel tidak rewel, Oma.” Anna menirukan suara anak kecil lagi yang berpenghujung kalau mereka pergi dari sana saat itu juga. Mereka tetap meminta supir untuk mengantar karena Roger dan Anna malah keasyikan bermain dengan bayi menggemaskan itu. Rasanya senang sekali bisa mengajak Niel keluar, seperti punya anak sendiri. Anna juga sudah menganggap kalau Niel adalah putranya sendiri. Sementara sebentar lagi keluarga Abraham akan menyambut kedatangan anggota baru. Hari-hari ke depan sudah dijawadkan sebagai hari kelahiran anak pertama dari Khris dan Shilla, Anna turut senang sekali. Doanya masih sama semoga jika Tuhan memang menakdirkan dirinya bersama Roger memiliki keturunan, Anna ingin sekali bisa merasakan kehadirannya dalam rahimnya kelak. Anna sangat mendambakannya. Dia bersama Rogger juga berusaha semaksimal mungkin, dan sekali lagi untuk hasilnya mereka pasrahkan pada Tuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD