9. With Kak Ilyas

2349 Words
Anna sangat bersyukur dengan jalan-jalannya kali ini. Dia memang hanya di dalam mobil dan berbicara seadanya dengan Ilyas. Namun, ini bisa dibilang pertama kalinya seorang Anna diizinkan pergi dari rumah dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya sendiri setelah mengalaminya musibah. Catat ya, setelah mengalami musibah. Biasanya, Anna hanya akan dikurung dalam rumah sampai benar-benar sembuh dan baru diizinkan untuk beraktivitas normal seperti biasa. Bayangkan saja Anna sekarang patah tulang dan tangannya di pasang pen. Jelas penyembuhannya tidaklah singkat. Pasti membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan, tergantung dengan keparahan patah tulang yang dialami oleh Anna. Belum lagi pemulihan sampai tangannya bisa bekerja seperti sedia kala. Pastilah memakan waktu tidak sehari dua hari. Dan yang tidak boleh dilupakan, belum tentu tangan Anna bisa bekerja seperti semula. Dan karena hal ini juga Anna sadar. Papanya bisa jadi ingin menjadikan Ilyas sebagai menantunya. Hanya saja, Anna tidak mau berpikir sampai sejauh itu. Dia tidak mau kalau sampai terlalu berpikir kejauhan perihal sikap terbuka papanya terhadap Ilyas. Kalau boleh menilai, Anna akan menilai Ilyas dengan predikat sempurna. Hanya saja, itu tidak berarti karena sekali lagi, hatinya sudah ditempati oleh orang lain. Jadi, setinggi apapun nilai Ilyas di matanya, pria itu tidak lebih dari pria yang sekarang ada di hati Anna. Bingung memang menjadi Anna. Dia cantik, dari keluarga terpandang, kaya raya, tapi yang disukai seakan diharamkan untuknya. Maksudnya, bukan karena Roger tidak kaya, tapi, Pak Barack bukanlah orang yang gila harta sampai harus menikahkan Anna dengan pria yang kaya raya juga. Tidak apa jika Pak Barack yang mencukupi kehidupan Anna kelak jika putrinya ini menikah. Lagi pula, Anna juga punya usaha yang berdiri sendiri tanpa campur tangannya sedikitpun. Putrinya ini pintar, mandiri dan sangat cerdas. Kebanyakan orang-orang memercayai jika perempuan cantik, otaknya tidak seberapa. Mereka tidak tahu saja kalau setiap perempuan memiliki kemampuan masing-masing. Jadi berhentilah menilai perempuan berdasarkan wajahnya yang ayu atau menilai dari luarnya saja. Kalau mau, perempuan bisa menjadi jauh terdepan daripada para lelaki. Dan sudah terlihat nyata sekarang. Banyak perempuan mandiri yang berhasil dan mengalahkan para jajaran lelaki di bawahnya. "Na? Hai?" Anna tarsentak dan tersenyum tipis ke arah Ilyas kemudian menunduk menatap telfonnya. Mungkin, Anna memang pintar tapi dia akan terlihat bodoh jika sudah membahas apa yang ada di hatinya bukan di kepalanya. Kalau begini, kepintaran Anna akan seperti menguap seketika. Dia akan menjadi orang paling bodoh dan tidak rasional karena memilih jalan yang ada di dalam hatinya. "Kau merindukan Roger? Dia sudah pergi cukup lama. Seharusnya, dia sudah kembali." Ilyas berkomentar. Jujur saja, Anna tidak mengerti maksud pertanyaan Ilyas barusan. Namun, dia menebak kalau ini semacam sindiran karena Anna masih menunggu. Di sisi Anna, Roger memang mengatakan kalau dia akan datang ke rumah kan. Anna hanya tidak ingin kalau dia terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu. Bagaimana kalau dia menerima Ilyas dan di saat bersamaan, Roger kembali? Bukankah Anna sama saja tidak bisa dipegang perkataannya? Lagipula, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Anna belum mau melepaskan status lajangnya. Dia masih ingin bebas dengan caranya sendiri, tidak terkekang jika sudah menikah nanti karena Anna tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti setelah menikah dengan pria lain. "Apa ekspresiku tertebak, Kak?" Anna tersenyum tipis setelah tadi diam saja. "Hm?" Ilyas kembali menoleh saat di depannya lampu merah tanda berhenti. "Tidak tertebak, aku hanya menebak-nebak. Menebak isi pikiranmu itu tidak jelas, Na. Aku jadi pusing." Anna tertawa renyah mendengar Ilyas menyindirnya secara halus. Tapi ya Anna akui, Ilyas memang seperti itu sejak pertemuan awal mereka. Jadi, dia tidak terkejut sama sekali. Ilyas memang seperti itu. Karena hal ini kan, mereka cocok berbicara satu sama lain meski terkadang terkesan garing dan tidak jelas sama sekali. "Kak lampu hijau." Anna memperingatkan saat rambu lalu lintas sudah berganti dari merah menjadi hijau. Ilyas kembali menjalankan mobilnya dan membelah jalanan sesuai keinginan ini karena ini memang edisi membahagiakan Anna setelah perempuan itu nyungsep di jalanan dan berakhir patah tulang. Entah sampai di kilometer berapa mereka sudah berjalan, Anna tiba-tiba menoleh ke arah taman yang ada di pinggir jalan dan menoleh ke arah Ilyas dengan tatapan memohon. "Kak Ilyas, aku mau ke taman sebentar. Boleh, ya? Sebentar. Aku ingin bersama mereka?" Anna menunjuk anak-anak jalanan yang sedang dikumpulkan di taman oleh seseorang. Mendengar itu, jelas Ilyas tidak setuju. Tadi saat meminta izin membawa Anna pergi, mengeluarkan Anna dari mobil adalah pantangan besar. Perempuan itu tidak boleh sampai turun dari mobil. "Tidak, Anna. Paman sudah memperingatkanku kalau seingin apapun kau ingin keluar dari mobil ini, aku tidak boleh mengizinkannya." "Ya Tuhan..." Anna menghela nafas berat. "Hanya sebentar, Kak. Kakak Ilyas juga bisa pergi bersamaku ke sana. Ya? Bolej, ya? Aku hanya ingin melihat mereka dari dekat." Ini, kalau Ilyas sudah diberi tatapan memohon yang syarat akan keputusasaan yang mendalam dari sorot mata Anna, dia pasti tidak tega untuk menolak. Dan pada akhirnya, Ilyas kalah. Dia menyalakan lampu sent ke kiri dan berhenti di parkiran yang tidak terlalu jauh dari jalan raya, kemudian menghentikan mobilnya di sana. "Jangan macam-macam!" peringat Ilyas saat Anna tersenyum riang, tak sabar ingin segera keluar dari sana. "Tidak akan. Ayo Kak, temani aku." Anna bersemangat dan membuka mobil dengan tangan kirinya yang buru-buru membuat Ilyas keluar dan membantu membukakan pintu mobil itu lebih luas untuk Anna. "Thank you." Kata Anna tersenyum tulus yang membuat Ilyas ingin sekali membawakan Anna pulang dan mengajaknya menikah saat ini juga. Setelah mengunci pintu mobilnya, Ilyas berjalan di belakang Anna, memastikan sekitar kalau Anna akan aman berada di sana. Sayangnya, belum melangkah sampai dua puluh langkah, ada bola yang terbang yang melayang ke arah Anna, buru-buru Ilyas maju dan menghalau bola itu. Kalau Anna sampai kenapa-kenapa saat bersamanya, Ilyas bisa dicoret dari daftar calon suami Anna versi Pak Barack. "Hati-hati!" Ilyas memperingatkan lagi yang membuat Anna meringis tidak enak. Padahal, sedari tadi dia sudah diperingatkan untuk hati-hati. Tapi belum apa-apa, dia sudah hampir celaka seperti ini. "Sorry, Kak. Tadi tidak fokus." "Alasan saja. Aku bisa dihajar Paman kalau kau sampai kenapa-kenapa, Na. Hati-hati." Pesan Ilyas tak pernah lelah. Anna memang pintar hanya saja, dalam suatu waktu, dia akan terlihat ceroboh seperti ini. Dan Ilyas khawatir betulan, bukan yang dibuat-buat. Dan Anna tahu itu. Ilyas tulus kepadanya. Seandainya saja Ilyas yang Anna inginkan, semuanya akan lebih mudah. Sayangnya, hatinya meneriakkan nama yang lain, yang orangnya saja, Anna tidak tahu keberadaannya di mana. Terkadang, Anna tidak paham dengan dirinya sendiri. Kenapa dia bisa begitu setia jadi orang. Padahal, kalau mau, dia bisa menjadi kuat bersama yang lainnya. Hanya saja, Anna terlalu enggan hatinya dimasuki ruang baru. Dia tidak terlalu suka dengan sistem pembaruan dalam hatinya. Dia selalu suka hatinya tetap terjaga seperti dulu. Namun sekarang, Anna semakin yakin kalau keputusannya tetap pada satu nama adalah benar meski hasilnya nanti, Anna tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang pasti, dia ingin semua orang bahagia, tidak menderita karenanya lagi. Ya, semua orang harus bahagia. Itulah tujuan hidup Anna. Meluruskan semua kesalahan yang terlanjur terjadi. "Ayo!" ajaj Ilyas kembali bersemangat dan membuat Anna juga kembali senang. Mereka berakhir berjalan bersama-sama menuju tempat yang ingin Anna jangkau tadi. Apalagi kalau bukan menghampirinya kumpulan anak jalanan yang sedang mengerubungi entah apa di senter taman. "Mereka sedang apa ya di sini? Bukankah anak-anak jalanan punya boss sendiri?" Ilyas tersenyum simpul. "Tidak semuanya seperti itu, Na." "Lalu, bagaimana?" tanya Anna dengan sorot ingin tahu. "Nanti waktu mengantarmu pulang, akan kuberi tahu. Tunggu saja." Katanya sok misterius yang membuat Anna hanya tersenyum dan geleng-geleng setelahnya. Ilyas memang seperti itu sejak awal. Tidak jelas. Makanya itu juga kan Anna tidak mau dengannya meksi Roger belum pulang sekalipun. Karena sudah hampir siang juga, mereka menyudahi pembicaraan itu dan bergegas menghampirinya anak-anak tadi. Dan yang paling mencengangkan, mata Anna terpaku pada sosok Lili yang tengah mengajar mereka membaca dan menulis. Dan baiknya lagi, Anna langsung menegur perempuan itu pelan. Ada rasa percaya dan tak percaya dalam dirinya melihat Lili melakukan hal mulia seperti ini. Anna pikir, Lili perempuan karier yang sibuk setiap harinya. Ternyata dia salah besar. Perempuan itu bahkan mampu meluangkan waktunya untuk mengajarkan anak-anak jalanan untuk membaca dan menulis. Sungguh mulia sekali hatinya. "Lili?" Perempuan muda yang dipanggil namanya itu mendongak dan tersenyum lebar sekali melihat Anna juga berada di sana. "Anna? Hai? Kau di sini?" Anak-anak yang berada di sana jadi diam semua karena gurunya tiba-tiba berdiri dan mengampuni Anna, bercipika-cipiki ria sejenak. Dan setelahnya, Lili memekik ketika menyadari Anna menggunakan arm sling atau penyangga tangan. "Anna, apa yang terjadi? Tanganmu patah?" tangannya terkejut. Anna balas tersenyum kalem. "Kecelakaan kecil." Katanya. "Ya?! Mana ada patah tulang itu kecelakaan kecil." Anna hanya tersenyum seadanya dan meminta Lili untuk kembali mengajari anak-anak jalanan di sana. Sedangkan Anna dan Ilyas sendiri duduk di bagian paling belakang. Tentu Ilyas tetap melihat ke kanan dan ke kiri, waspada. Dia tidak mau kalau kejadian tadi sampai terulang dan berakibat buruk pada Anna. Andai saja Anna mau membuka hati, dia akan melihat ketulusan pada diri Ilyas untuk dirinya. Hanya saja, Anna memang sedang tidak ingin memikirkan lelaki. Dia masih ingin mengembangkan usahanya agar lebih besar lagi. Setelah usahanya itu benar-benar berdiri sendiri, Anna baru akan istirahat dan memperkerjakan banyak pegawai dalam butiknya. Untuk sekarang, Anna masih akan fokus di sana. Kalau boleh jujur, Anna lelah saat keluarganya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Iya, Anna tahu kalau mereka sangat sayang kepadanya. Hanya saja, Anna jadi tidak punya teman karena terlalu ribet untuk berteman dengannya. Sedari kecil, saat ingin bermain, Anna tidak diperbolehkan keluar rumah dan teman-temannya yang harus datang ke rumah. Setelah mereka di rumah, Pak Barack mengizinkan mereka melakukan apapun itu asal tidak berbahaya. Sampai suatu ketika saat Anna kecil jatuh atau terluka, semua teman-temannya langsung dipulangkan. Bahkan tak jarang setelah itu teman-teman Anna tidak mau bermain dengan Anna lagi karena takut dimarahi. Padahal, Anna sudah menjelaskan kepada semua orang kalau yang salah adalah dirinya karena kurang hati-hati. Namun tetap saja teman-temannya yang disalahkan. Anna tidak paham dengan apa yang dilakukan papanya dulu. Dan sekarang, saat Anna sudah dewasa, dia sudah sangat paham betapa mereka sangat menyayanginya. Mereka hanya ingin yang terbaik untuk Anna. Mereka tidak ingin kalau Anna sampai terluka seujung kuku pun. Hanya saja, Anna sedih karena hal itu, dia jadi tidak punya teman. Jadi, dia hidup selama ini hanya berteman dengan kakak-kakaknya dan tentu dengan Roger juga karena keluarga mereka sudah sangat erat sekali. Orang tua mereka bahkan menjodoh-jodohkan mereka saat kecil meksi hanya untuk bercandaan belaka. Namun tidak ada yang tahu. Semuanya bisa jadi kenyataan kalau Anna dan Roger mau hidup bersama. "Kau baik-baik saja Anna?" Ilyas bertanya saat Anna memejamkan matanya dalam-dalam. Anna yang dasarnya tidak apa-apa tentu langsung tersenyum menenangkan ke arah Ilyas. Anna memang sedang ingin memejamkan matanya. Dia ingin melihat apa saja yang sudah dia lupakan di alam bawah sadarnya. Dia ingin mengingatnya karena masa kecilnya lebih indah daripada apa yang ia rasakan sekarang. "Aku tidak paham kenapa perempuan itu berbeda. Terkadang ramah tersenyum, terkadang ketusnya minta ampun. Kau senyum kepadaku tadi, aku juga tidak paham artinya apa." Kata Ilyas jujur. Oh ayolah. Ilyas bukan pria peka seperti pria-pria lainnya yang seringnya disalah-salahkan karena ketidakpekaannya. "Memangnya tersenyum harus punya alasan, Kak? Kan senyum itu ibadah. Kalau dengan tersenyum bisa membuat orang lain bisa tersenyum juga, kenapa tidak?" Anna tersenyum lagi ke arah Ilyas. "Bahagia itu mahal tahu, Kak. Dan orang kaya pun tidak menjamin kebahagiaannya." Dan sekarang, Ilyas tahu kenapa dia harus tersenyum. Anna memang perempuan lain daripada yang lain. Dia begitu menarik dengan karakternya yang begitu baik. Dia sudah mengenal perempuan ini lama. Namun, semakin lama mengenal, semakin banyak juga yang tidak Ilyas ketahui. Dia tidak menyangka kalau Anna akan berpikiran seperti itu. Ilyas juga orang kaya. Selama ini, dia mana pernah repot-repot memikirkan orang lain bahagia atau tidak. Apalagi orang yang tidak ia kenal sama sekali. Namun Anna, meski dengan orang yang benar-benar asing sekalipun, dia tetap tersenyum ramah sekali seperti sudah dengan temannya sendiri. Mata pria itu kembali berlari ke arah Anna. Menatap wajahnya yang tersenyum dari samping karena melihat anak-anak jalanan terlihat semangat sekali belajar bersama Lili. "Kau mau ikut mengajar juga, Na? Aku bisa duduk di sebelahmu kalau kau khawatir akan tersenggol." Kata Ilyas seolah bisa membaca pikiran Anna lewat pendar mata Anna yang begitu terang. "Tidak, Kak. Kalau aku tersenggol betulan, nanti Kakak yang susah karena dimarahi Papa dan kedua kakakku." "Kalau itu sudah jelas." Kata Ilyas tertawa lebar. Dia bahkan sampai lupa sudah berapa ratus atau ribu kali dimarahi oleh mereka karena terjadi sesuatu pada Anna. Entah karena kelelahan atau apapun itu. "Karena itu di sini saja." Ilyas mengangguk membenarkan. Memang lebih baiknya seperti ini saja. Setelah itu, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Anna tentu saja tetap fokus pada anak-anak jalanan di depannya. Seandainya saja hidupnya sebebas itu, Anna pasti akan bahagia sekali. Jika dia punya suami nanti, Anna sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk ikut bersama dengan suaminya apapun yang terjadi. Ya, apapun yang terjadi, Anna akan ikut dengan suaminya. Dia akan mengusahakan itu nanti. Yang penting sekarang sudah ada niatan di hatinya. Dia sungguh ingin bebas. Anna juga membayangkan, kasihan suaminya kelak kalau sampai harus menghadapi papa dan kakaknya yang terlalu protektif. Bisa-bisa, belum apa-apa, suaminya meninggalkan dirinya lebih dulu karena tidak betah dengan peraturan yang mungkin saja menurutnya terlalu berlebihan. Padahal, semua itu tidak perlu. Memangnya tujuan pernikahan untuk menyakiti, Anna? Jelas tidak, kan? Sampai akhirnya sesi belajar itu selesai, Anna berbincang sejenak dengan Lili yang membuatnya Ilyas langsung menjaga jarak karena tidak ingin mengganggu. "Bagaimana kabar Roger, Na?" "Hm, Kak Roger?" Anna malah menatap Lili bingung. "Iya, dia. Siapa lagi?" Lili malah balik bertanya. "Aku tidak mendengar kabarnya beberapa minggu ini. Terakhir kali, kudengar dia kembali ke Singapura untuk mengurus pekerjaannya. Tapi tadi pagi, aku juga mendapat kabar kalau hari ini Roger akan tiba kembali ke Indonesia." Lihat saja, belum apa-apa, Anna sudah kalau start dengan tidak tahu apa-apa kabar dari Roger. Memangnya dia harus bagaimana lagi. Roger bahkan yang pergi tanpa pamit. Mungkin, dia sudah lelah menjaga Anna seperti halnya dulu. Namun, apapun yang terjadi, Anna tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting sekarang, dia senang bisa mengetahui kalau Roger baik-baik saja dan hidup dengan sangat baik. Dan yang lebih membuat Anna bahagia, dia senang sekali hari ini. Dia jadi punya teman setelah sekian lama kehilangan teman-temannya satu per satu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD