Fucker - 07

2190 Words
Kini, sepuluh pahlawan berada di gedung kecil yang terbangun di antara bangku penonton, yang juga merupakan ruang khusus para pahlawan menunggu gilirannya masing-masing untuk bertanding di tengah gelanggang, untuk melaksanakan ujian kedua yang diciptakan oleh Sang Penguasa yang juga menghibur ribuan penonton yang hadir di tepi lingkaran besar arena luas tersebut. Jika diperhatikan baik-baik, gelanggang itu berada tepat di jantung istana yang menggantung di dekat atap, sehingga langit biru bisa terlihat langsung karena tidak ada penopang sedikit pun di atas sana, membuat terik matahari dapat bersinar terang di area permukaan arena. Penonton yang diundang pun bukan orang-orang biasa atau pun warga sipil dari Pulau Gladiol, karena sejatinya pulau itu hanya dihuni oleh Sang Penguasa dan bawahan-bawahannya. Seluruh penonton yang datang adalah perwujudan dari semua pahlawan generasi lama dan generasi baru dari berbagai negara, yang sama-sama akan menyaksikan pertandingan seru dari para pahlawan generasi baru dari Negara Madelta. Ya, ini adalah acara khusus untuk sepuluh pahlawan bimbingannya Paul, sebab mereka akan melaksanakan ujian keduanya, yang artinya, mereka adalah bintang utamanya di sini. Sorakan ramai dari para penonton dalam menunggu kemunculan pahlawan-pahlawan Madelta begitu meriah dan spektakuler, banyak sekali yang tidak sabar ingin melihat bagaimana pertandingan yang akan diisi oleh mereka. Semuanya terlihat menggebu-gebu ingin acara ini segera dimulai. Bahkan di antara para penonton pun, tertampak Leo dan sepuluh pahlawannya yang duduk berjejer ditemani Vardigos, mereka semua sedang merokok santai sembari mengobrol ringan, sedangkan di sebelah utara bangku penonton, ada Gissel dan sepuluh pahlawannya—termasuk Gadon yang tubuhnya besar dan tinggi—yang juga duduk di sana bersama Lolita, turut menyaksikan acara yang akan diisi oleh Paul dan para pahlawannya. Selain Kelompok Leo dan Gissel, ada pula kelompok-kelompok pahlawan lain dari seluruh bangku penonton, dengan penampilannya yang berbeda-beda, ada manusia berkulit putih, hitam, biru, merah, hijau, dan semacamnya. Semuanya menyatu di sini, dalam acara kepahlawanan di Istana Pulau Gladiol, yang merupakan ciptaan Sang Penguasa. Sementara itu, kembali ke lokasi para pahlawan Madelta berada. “HAAAAAAAAAAAAAAAAAH!?” Satu-persatu dari pahlawan Madelta terkejut saat mendengar perkataan Roswel yang menjelaskan bahwa lawan yang akan mereka hadapi di tengah gelanggang adalah mentor mereka sendiri, yang artinya itu adalah sosok dari Paul Cozelario yang ada di dekat mereka, yang juga sama-sama kaget seperti mereka. “K-Kau pasti salah, kan!? KAU PASTI SALAH BICARA, KAN!?” Bukan Lizzie atau pun Paul yang kini berteriak pada Roswel, melainkan Colin. Lelaki berambut biru itu tampak panik saat sadar bahwa lawan yang akan ia hadapi adalah Paul dan itu membuat ia jadi jengkel dan menunjuk-nunjuk Roswel dengan ganasnya. “CEPAT BILANG KALAU KAU SALAH BICARA! KAU SALAH! KAU PASTI SALAH! AYO ROSWEL! CEPAT KATAKAN BAHWA KAU ITU SALAH!” “Maaf, Tuan,” kata Roswel yang kondisinya masih sama seperti sebelumnya—kerah bajunya tercengkram oleh remasan tangan kanan Lizzie. “Tapi saya sama sekali tidak salah bicara. Apa yang kalian dengar memanglah sebuah fakta, bahwa di babak pertama dalam ujian kedua, kalian diharuskan melawan, bertarung dan mengalahkan mentor kalian sendiri, yang artinya, berhadapan langsung dengan Tuan Paul.” “TAPI-TAPI-TAPI ITU TERLALU MUSTAHIL!” Colin jadi terlalu panik hingga dia jadi teriak-teriak sendirian. “DI ANTARA SEMUA ORANG, MENGAPA KAMI HARUS MELAWAN PAUL! AAAAAAAAAAARGH! SIALAAAAAAAAAN!” “Mengapa di babak pertama ini kami diharuskan melawan Paul?” Dengan intonasi yang tenang, Nico mencoba bertanya pada Roswel, meminta penjelasan lebih lanjut dari situasi membingungkan tersebut. “Mengapa kami tidak melawan kelompok-kelompok pahlawan lain dari berbagai negara? Kurasa itu lebih menarik dibandingkan bertarung melawan mentor kami sendiri. Sebab, itu terkesan aneh dan tidak menarik.” “Siapa bilang itu tidak menarik?” Tiba-tiba Isabella menimpali omongan Nico dengan terkikik-kikik pelan. “Justru dengan bertarung melawan mentor kita sendiri, acara jadi semakin menarik dan heboh. Bayangkan saja, para penonton pasti sangat terhibur jika lawan yang kita hadapi adalah orang yang sangat dekat dengan kita, dan di sana kita dipaksa untuk memenangkan pertandingan tanpa mempedulikan siapa yang kita lawan, karena kalau tidak, mungkin saja kita akan gagal dalam melaksanakan ujian kedua ini, dan gugur sebagai seorang pahlawan. Aku benar, kan, Roswel?” “Ya, itu benar sekali, Nona,” Roswel membenarkan apa yang diungkapkan oleh Isabella, karena ucapan gadis itu memang sesuai dengan prosedur dan sistem yang dibuat oleh Sang Penguasa dalam memeriahkan acara ini. “Tapi kalian tidak perlu khawatir, kalahnya kalian dalam sebuah pertandingan tidak membuat kalian secara otomatis gugur sebagai pahlawan, malah sebaliknya, Sang Penguasa akan memberikan kalian kesempatan kedua agar kalian tetap diperhitungkan sebagai pahlawan. Lain cerita jika kalian sendirilah yang menolak dan memilih menyerah menjadi seorang pahlawan. Maka, Sang Penguasa akan memakluminya dan mencabut roh kunang-kunang yang ada di dalam tubuh kalian, kemudian kalian bisa hidup menjadi manusia biasa seperti sebelumnya.” “Begitu, ya? Menarik sekali.” kata Isabella dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, tampak mencerna dan memahami semua yang dikatakan oleh Roswel. “Maaf, bolehkah aku ke toilet sebentar?” Tiba-tiba Koko mengacungkan satu tangannya, membuat semua mata langsung melirik ke arah si lelaki cantikk tersebut. “Kalau boleh, di mana letak toiletnya?” Mendengar itu, Lizzie melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Roswel dengan kasar, lalu berseru kembali pada si lelaki pucat, “DI MANA LETAK TOILETNYA! CEPAT KATAKAN! b******n!” “Oh, ya, Silahkan, Nona Krystal,” ucap Roswel dengan menyebut nama Koko dengan sebutan yang biasa diucapkan oleh Isabella, membuat semua orang yang ada di sana sedikit terkejut, terutama Isabella dan Si Lelaki Cantik. “Toiletnya ada di sebelah sana.” Tunjuk Roswel, dengan mengulurkan lengan kanannya ke arah pintu di belakangnya. “T-Terima kasih.” Koko pun cepat-cepat berlari kecil dari sana menuju toilet. Setelah itu, Roswel kembali memandangi muka dari para pahlawan dan juga Sang Mentor, yang sepertinya masih belum puas ingin mencecar si lelaki pucat itu dengan pertanyaan-pertanyaan lain sampai akhirnya, tersusunlah sebuah kesimpulan dari semua penjelasan yang ia katakan barusan pada mereka semua. “Jadi,” cetus Nico dengan menyimpulkan semua yang baru saja didengarnya dari Roswel. “Di babak pertama ini, masing-masing dari kami akan melawan Paul dengan berpasang-pasangan, yang artinya, Paul akan menghadapi dua orang di setiap pertandingan. Dan jika kami berhasil memenangkan pertandingan, maka kami akan lolos ke babak kedua, sedangkan jika kami kalah, maka kami akan diberikan kesempatan untuk bertanding ulang melawan Paul?” Sesudah menjelaskannya, Nico memicingkan matanya sambil bilang, “Jelas-jelas pertandingan ini tidak adil, sebab itu semua hanya menguntungkan kami, sementara Paul di sini seperti sekedar sukarelawan tangguh yang bertindak seolah-olah menjadi lawan kami. Sebenarnya itu tidak masalah jika pertandingannya hanya satu atau dua kali, tapi jika dihitung dari jumlah kami, sepuluh orang dibagi dua, berarti Paul akan bertanding sebanyak 5 kali melawan murid-muridnya, belum lagi jika ada yang gagal, Paul harus tetap melayani mereka agar bisa lolos ke babak berikutnya. Ini benar-benar gila, tidak mungkin dia punya stamina sebanyak itu untuk melayani kami semua.” “Kau bilang apa tadi?” Merasa tersinggung, Paul jadi berang saat mendengar perkataan Nico yang seakan-akan meremehkan kekuatannya. “Aku tidak punya stamina sebanyak itu untuk melayani kalian semua? Heh! Kau pikir kau sedang membicarakan siapa!? Aku, sebagai mentor kalian, bersedia bertarung melawan kalian, bahkan beratus-ratus sekali pun! Jangan mencemaskan hal yang percuma! Karena aku tidak selemah itu, b******k!” Paul mendadak menyeringai, membuat murid-muridnya jadi tertegun kaget. “Justru seharusnya khawatirkanlah diri kalian sendiri, karena nantinya, aku tidak akan segan-segan mematahkan tulang kalian di arena! Jadi, persiapkanlah diri kalian baik-baik! Jangan membuatku malu! Karena pertarungan kita akan disaksikan oleh seluruh pahlawan dari berbagai negeri, yang mana mereka juga pasti akan menilai kemampuan kita! Ingat itu baik-baik, k*****t!” Setelah mengatakan itu, Paul langsung keluar dari ruangan, meninggalkan murid-muridnya dalam keheningan, sementara Roswel hanya diam memandangi ekspresi mereka yang masih tampak kebingungan. Dalam kesunyian itu, muncullah Koko yang baru saja keluar dari ruang toilet. “Eh? Ada apa?” Koko berjalan anggun sembari terheran melihat teman-temannya yang tampak murung. “Di mana Paul? Apa sesuatu telah terjadi saat aku tidak ada?” “Hahahahaha!” Sontak, Jeddy tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, mengagetkan teman-temannya yang lain. “Ini bakal seru, Bro! Sudahlah, jangan murung begitu! Aku yakin kita pasti bisa mengalahkan Paul dan memenangkan tiap pertandingan!” “Ah, ya, soal pertandingan,” Victor, yang dari tadi diam, mulai bersuara dengan mengajukan sebuah pertanyaan pada Roswel, “Bagaimana pembagiannya? Maksudku, kami akan berpasang-pasangan, kan, melawan Paul? Lalu apakah pasangannya ditentukan oleh pihak penyelenggara atau bisa ditentukan sesuka kami sendiri?” “Ditentukan oleh pihak penyelenggara, Tuan,” jawab Roswel dengan tangan pucatnya mengambil sesuatu dari kantong jubah hitamnya yang besar. “Dan inilah pembagian pasangan, waktu, dan urutan kalian selama bertanding melawan Paul,” Roswel menyerahkan sebuah kertas yang merupakan keterangan dari struktur pertandingan. “Silahkan, baca saja bersama-sama.” Victor pun mendekat dan mengambil selembar kertas itu dari tangan pucat Roswel, lalu ia pun kembali berkumpul ke tengah teman-temannya untuk membaca keterangan dari kertas itu bersama-sama, dan setelah sekilas membacanya, mereka bersepuluh langsung tersentak. “Ya ampun, sepertinya pertandinganku akan sangat menarik karena aku berpasangan denganmu, Jeddy~” goda Isabella dengan suaranya yang didesah-desahkan sembari mencolek-colek pundak Jeddy dengan genit. “Apalagi kita bertandingnya pada urutan kedua, benar-benar pembukaan yang sangat megah, ya?” “Hahahahahah!” Jeddy menoleh dan tertawa memandangi Isabella. “Kau benar! Pertandingan kita akan dibuat sedahsyat mungkin! Agar para penonton dapat terhibur!” “Eh?” Colin melongo dengan dua matanya yang membulat kaget saat melihat namanya bersandingan dengan orang yang sangat tidak ia inginkan. “Kenapa ini harus terjadi padaku? Ditambah pertandinganku berada di urutan pertama, ini gawat. Aku harus bunuh diri sekarang juga!” “KAU MAU KE MANA, HAAAAAAH!?” Lizzie menarik pundak Colin yang hendak kabur dari ruangan. “Terima saja nasibmu! b******n! Kau pikir aku mau bertarung dengan lelaki bodoh dan pengecut sepertimu!? Pokoknya kau tidak boleh mempermalukanku di lapangan! Jika kau sedikit saja bertingkah konyol dan ditertawakan oleh semua penonton, maka aku akan langsung membunuhmu di tempat!” “HIIIIIIIIIII!” Colin memekik ketakutan mendengarnya. “Wah, kita berpasangan, Yankoko!” Victor tersenyum simpul setelah melihat namanya bersanding dengan nama Yankoko Ramiro. Bangsawan berambut emas itu terlihat memberikan kesan ramah nan akrab pada si lelaki cantik. “Jangan khawatir, kau tidak perlu memaksakan diri. Serahkan saja urusan bertarung padaku. Kau boleh membantuku dari belakang.” “Tidak,” Dengan cepat, Koko menggelengkan kepalanya, tidak setuju dan menentang ucapan Victor. “Aku juga akan bertarung di sampingmu, tolong jangan perlakukan aku seperti orang yang lemah. Aku ingin membuktikan pada semua orang, pada Paul, pada teman-teman, dan juga pada Victor, bahwa aku bisa menjadi pahlawan yang dapat diandalkan.” Senyuman Victor semakin lebar setelah mendengar perkataan tegas dari Koko. “Baiklah! Aku percaya padamu! Ayo kita sama-sama berjuang, Yankoko! Hehe!” Koko ikut tersenyum dan mengangguk. “WAAAAAAAAAAAAAAAAAH!” Cherry melengking saat tahu bahwa namanya berdampingan dengan orang yang menurutnya tangguh. “Abbas! Abbas! Abbas! Kita berpasangan! Hihihihi!” Cherry menggoyang-goyangkan badan kekar Abbas yang berdiri di sebelahnya, membuat si lelaki pendiam itu hanya melirik sedikit ke bawah, memandangi si gadis mungil dengan kelopak matanya yang sayu. “Cherry bahagia karena pasangan Cherry adalah Abbas! Hihihihi! Apakah Abbas juga senang berpasangan dengan Cherry!?” Menyunggingkan senyuman tipis, Abbas segera mendaratkan tangan kanannya di kepala Cherry, lalu mengusap-usap lembut rambut merah muda si gadis mungil itu. “Ya, aku juga sangat senang, Cherry,” kata Abbas dengan suara beratnya yang begitu halus. “Karena berpasangan dengan anak baik sepertimu.” “YEAAAAY!” Cherry langsung cengengesan mendengarnya. Sementara itu, di sudut yang berbeda. “Senang berpasangan denganmu, Nico.” Noami mengulurkan tangannya kepada Nico sebagai tanda kerja sama di antara mereka dalam memenangkan pertandingan melawan Paul. “Semoga kita bisa saling mengerti dengan baik, ya. Agar kita dapat mengalahkan Paul dan memenangkan pertarungan.” “Entahlah,” Seketika Nico membuang mukanya dari Naomi, tampak kecewa karena yang menjadi pasangannya adalah si gadis berkerudung, bukan orang yang diinginkannya, yaitu Colin. Bahkan Nico mengabaikan uluran tangan dari Naomi yang ingin berjabat tangan dengannya, membuat si gadis berkerudung itu jadi sedikit sakit hati. “Aku tidak yakin bisa bekerja sama denganmu, mengingat kita berdua punya pemikiran yang sangat berlawanan. Yang aku maksud adalah idealisme yang tertanam di pikiran kita. Kau dengan agama, sedangkan aku dengan sains. Kita benar-benar bertolak belakang. Itulah kenapa, aku tidak yakin kita bisa saling bekerja sama, Naomi. Jadi lupakan saja soal ini, aku akan bertarung dengan caraku, dan kau bertarung saja dengan caramu. Kita tidak perlu bekerja sama.” Naomi sangat tercengang mendengarnya, tidak menyangka Nico akan mengatakan hal sekejam itu pada teman sesama pahlawannya, padahal selama ini hubungannya dengan si lelaki berkaca mata baik-baik saja, tapi mengapa orang itu mendadak seperti sangat membencinya. Naomi menduga, mungkinkah itu disebabkan karena kekecewaan Nico tidak bisa berpasangan dengan Colin? Tapi jika memang benar begitu, Naomi bisa memakluminya. Tapi jika bukan itu masalahnya, maka Naomi harus berusaha mencari cara agar Nico bisa mengungkapkan alasannya mengapa dia tidak mau bekerja sama dengannya hanya karena berbeda pemahaman dan idealisme. Ketika Naomi masih memikirkan hal itu dengan rumit, sebuah terompet berbunyi sangat kencang, menandakan acara secara resmi telah dimulai. “Baik, untuk pasangan pertama, silahkan bersiap-siap ke lapangan,” tegas Roswel setelah suara terompetnya berhenti. “Untuk pasangan-pasangan lain, silahkan cari tempat duduk di bangku penonton untuk ikut menyaksikan pertandingan, sambil menunggu giliran kalian tiba."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD