Siti balas menatap mata Satria.
Kepalanya menggeleng pelan.
"Baguslah ... artinya aku tidak punya saingan," Satria terkekeh pelan.
'Hhhh … mulai lagi songongnya nih bule,' gerutu Siti di dalam hatinya.
"Aku lihat Kamu tidak ada sedih-sedihnya ditinggalkan Mila."
"Kesedihan bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk direnungi. Aku mencoba instropeksi diri, dan aku rasa semua ini terjadi karena salahku juga."
"Maksudmu?"
"Aku sering meninggalkan wanita, dan mematahkan hati mereka, ya jadi mungkin ini adalah balasannya."
"Jadi benar dugaanku, kamu seorang playboy!"
"Mbak mengamatiku ya,? Senang mendengarnya, tapi aku sudah insyaf, Mbak, dan aku ingin meminta Mbak membantuku biar insyafku sungguh-sungguh."
"Maksudmu?"
"Maksudku, tetaplah bersamaku, aku tidak menyesal kehilangan Mila, karena Allah memberiku ganti wanita seperti Mbak."
"Pantas saja kamu bisa jadi playboy, kamu jago merayu sepertinya." Siti mencibirkan bibirnya.
"Hooaamm ... sudah ah debatnya, aku mengantuk, kita tidur yuk, Mbak.".Satria merebahkan tubuh, kakinya sengaja disenggolkan ke pinggul Siti yang masih duduk di tepi tempat tidur.
Siti bangkit dari duduknya, ingin menjauh dari Satria, tapi Satria menarik kuat tangannya, hingga Siti jatuh ke dalam pelukannya.
"Ya Allah ... Abang bule lepasiin!" Siti memukul d**a Satria.
Satria nenurunkan Siti dari atas tubuhnya, sehingga Siti rebah di sisinya.
"Pejamkan mata, tulikan telinga, tidurlah, karena malam ini kita perlu banyak tenaga, biar bisa bikin adik buat bocah-bocah kepo tadi," goda Satria.
"Kamu gila! Aku tidak akan mau tidur denganmu!" sahut Siti sengit.
"Tidak mau melayani suami itu dosa loh, Mbak." Satria memejamkan matanya, tangannya bersedekap di d**a.
Siti menggeser tubuhnya menjauhi Satria.
'Apa yang diucapkan Satria tadi semuanya benar.
Pernikahan bukan permainan, bukan untuk dicoba-coba, kenapa aku tidak berpikir panjang saat menyetujui keinginan Papi, kenapa tak terpikirkan olehku sebelumnya, apa karena aku terlalu maras melihat keadaan Papi yang terlihat sangat sedih ... hhhhh ... entahlah ... nasi sudah menjadi bubur, mungkin aku hanya perlu mengikuti kemana arus membawaku, hingga aku sampai di muara dengan sendiri nantinya.
Tapi seorang playboy bule seperti dia, bisakah jadi imam dalam rumah tanggaku.
Bisakah membimbing aku, dan anak-anakku?
Bisakah membawaku, dan anak-anakku ke surga nantinya?
Dia playboy.
Dia bule.
Dia songong.
Diaaaa ... jujur dia ganteng, dan jujur juga, belum pernah aku bertemu pria seganteng, segagah dan sesongong dia.
Tapi ....'
"Kenapa Mbak mandangin aku terus? Mau cari kekuranganku ya? Enggak bakal dapet, Mbak." tiba-tiba Satria memiringkan badannya, sehingga berhadapan dengan Siti, yang sedari tadi memiringkan tubuhnya, untuk bisa menatap wajah Satria dengan seksama.
Wajah Siti merona.
Dibalikannya badan, jadi memunggungi Satria.
Satria menggeser tubuh.
Dipeluknya Siti dari belakang.
"Paling enak kalau tidur sambil pelukan, Mbak. Apa lagi sudah halal. Enggak perlu takut sama SATPOL PP," bisik Satria di telinga Siti, membuat Siti menggedikan tubuhnya karena geli.
"Lepasin!" desisnya pelan, seraya ingin melepaskan tangan Satria dari tubuhnya.
"Siapa yang mau melepaskan kenikmatan, yang sudah ada dalam genggaman, Mbak? Enggak ada kan?" bisik Satria lagi, bibirnya mengecup pelan telinga Siti.
Siti merentakkan tubuh, ia berbalik jadi telentang, hal ini justru membuat wajah mereka jadi tak berjarak.
Mata mereka saling pandang.
Hidung mereka bersentuhan.
Bibir mereka saling menempel.
Dengan wajah merah Siti memalingkan wajahnya, tapi tangan Satria menahan dagunya.
Bibir Satria melumat bibir Siti lembut.
"Bibirmu manis, kenyal seperti marshmellow, Mbak. Membuat aku ketagihan," rayu Satria sesaat ia melepaskan ciumannya.
Siti ingin protes, tapi Satria kembali memagut bibirnya.
Tangannya sudah mulai berani menyentuh d**a Siti.
Siti berusaha menghindar, tapi tangan Satria justru menjamah d**a Siti yang masih tertutup pakaian Siti.
"Le ... pa ... siinn!” desis Siti pelan.
Tok ... tok ... tok ....
"Satria ... Siti ..." suara papi di luar pintu kamar.
Satria melepaskan tangannya dan pagutan bibirnya.
"Ya, Pi." dibukanya pintu sedikit.
"Makan siang dulu, baru kita sholat dzuhur sama-sama, Nak".
"Ya, Pi."
"Siti mana?"
"Tidur, Pi. Nanti aku bangunkan."
"Oh ya sudah, Papi tunggu di ruang makan ya".
"Ya, Pi."
Satria menutup lagi pintu kamar. Siti sedang berdiri di depan cermin tengah memasang kerudungnya dengan rapi.
"Papi menunggu kita di ruang makan," kata Satria.
"Iya, aku sudah dengar," jawab Siti.
Satria masuk ke kamar mandi, mencuci muka, dan membasahi rambutnya, ia berusaha menetralkan gejolak perasaan, yang sempat muncul tadi.
'Kalau papi tidak mengetuk pintu tadi, mungkin malam pertama akan terjadi sebelum resepsi, dan namanya bukan malam pertama tapi siang pertama ... hahahaha ... hhhh ... kenapa rasa sakit yang sempat ada di hatiku karena ditinggalkan Mila, bisa hilang secepat ini. Mungkin bukan luka, tapi hanya tergores kecil saja, dan cepat kering karena Allah memberiku jodoh yang langsung membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.'
***
Suasana makan siang bersama terasa tenang, tak ada yang bersuara, sangat berbeda dengan susana di meja makan rumah keluarga Adams yang selalu heboh dengan candaan.
Hanya Camelia yang tidak ada, karena sebagai pimpinan WO dia yang bertanggung jawab sepenuhnya pada acara resepsi nanti.
Usai makan mereka sholat dzuhur bersama.
Satria diminta papi jadi imamnya.
Jujur Siti merasa kaget awalnya saat papi meminta Satria jadi imam sholat mereka.
Bule songong seperti dia memang bisa jadi imam sholat, tapi akhirnya kekaguman tumbuh di hati Siti, saat Satria usai mengimami sholat mereka.
Ditatap wajah Satria yang duduk menyamping di atas sajadahnya di depan sana.
Peci, baju koko, dan sarung yang dikenakan sungguh membuatnya jadi sosok yang berbeda dari yang dilihatnya di kamar tadi.
"Kalian bisa istirahat lagi, usai Ashar nanti kita baru berangkat," kata papi.
Keduanya mengangguk.
"Ya, Pi."
Di dalam kamar.
"Istirahat, Mbak. Aku janji enggak akan menyentuh, Mbak. Setidaknya sampai resepsi usai hehehehe …" Satria nyengir memperlihatkan giginya yang rapi, dan putih pada Siti.
Siti diam saja, tapi direbahkannya juga tubuhnya yang terasa lelah di atas tempat tidur.
'Yang akan terjadi ... terjadilah ... aku sudah pasrah pada kehendak MU ya Allah ....' batin Siti seraya berusaha untuk menutup matanya dan menulikan pendengarannya alias tidur.
**** Bersambung****