Harus Ikhlas

1349 Words
Mungkin lagu Antara nyaman dan cinta dari pelantun Nazia Marwiana cocok untuk seseorang yang tidak bisa memilih antara dua hati yang berbeda. Dan sesuai lagunya, rasa antara hati yang dilema memang tidak pernah bisa dibohongi. Sekeras apapun hati, se-ego apapun sifatnya, kalau yang namanya sudah jatuh cinta, pasti manusia tidak bisa mengendalikannya. Semuanya bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Oleh sebab itu, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada jatuh cinta, meski itu dengan sepupu sendiri. Hal ini sudah dirasakan oleh seorang gadis yang bernama Liliyana dengan kedua sepupunya yang bernama Adit dan Arga. Liliyana yang kerap disapa Liyan itu, tidak menyangka akan terjebak dalam situasi yang membingungkan dengan menyukai dua orang pria di waktu yang bersamaan. Dan parahnya lagi, kedua pria tersebut adalah sepupunya sendiri. Memang benar jika urusan hati tidak bisa diatur begitu saja, belum lagi kalau sudah dipengaruhi oleh ego. Oleh karena itu, sebisa mungkin Liliyana harus menahan hati agar tidak sampai diketahui oleh pihak keluarga. *** Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Di mana seorang gadis cantik yang bernama Liyan akan segera bersiap-siap untuk berangkat ke luar kota demi memulai bekerja di suatu perusahaan milik ayahnya. Sebenarnya, Liyan tidak begitu tertarik untuk mengurus sebuah perusahaan. Tetapi karena sudah berjanji kepada ayahnya, ia terpaksa harus memenuhi segala permintaannya. Saat sedang bersiap-siap, tiba-tiba saja Bu Dina datang menghampirinya. Ia merasa kurang setuju jika Liyan harus pergi ke luar kota, apalagi hanya untuk sekedar bekerja. Karena, bagi Bu Dina, Liyan adalah anak perempuan satu-satunya yang harus dijaga dan disayangi oleh seluruh keluarga Satya. Jadi tidak perlu bekerja, karena ada anak laki-laki yang akan mengurusnya. "Ih, tunggu-tunggu! kamu mau kemana, Sayang?" tanya bu Dina membelalakkan matanya. "Jangan bilang kalau kamu mau berangkat ke luar kota!" "Ya, begitulah, Ma. Aku kan sudah janji sama Papa Hanif, kalau sudah lulus kuliah, aku akan bekerja membantu perusahaan Papa," kata Liyan dengan santainya. "Ya ampun! Papa kamu tuh benar-benar ya, masa anak perempuan disuruh bekerja! Benar-benar keterlaluan dia! Nanti Mama mau protes sama dia!" kata bu Dina kesal. "Ya mau bagaimana lagi, Ma. Perusahaan kita banyak, tapi yang ngurusnya sedikit. Yang penting kan kita masih bisa saling berkomunikasi kan Ma?" kata Liyan. "Bukan begitu Sayang, kamu ini anak gadis, dan bagaimana bisa seorang anak gadis jauh dari keluarganya? Kalau ada Arga sih, ya tidak apa-apa, hati Mama pasti tenang, tapi kalau sendirian mama jadi khawatir," tutur bu Dina lagi. "Arga kan masih kuliah di luar negeri, Ma," kata Liyan. "Iya, dia anak laki-laki kurang ajar! Inginnya jauh-jauh dari keluarga. Mama juga kesal sama dia! Apalagi Adit, dia benar-benar lupa sama Mama. Padahal selama kalian kecil, kalian tidak pernah mau jauh-jauh sama Mama. Tapi sekarang—" Bu Dina mendadak berhenti berkata, ia menatap Liyan dengan mata yang berkaca-kaca. Rasanya sakit, bila anak-anak yang pernah diasuhnya, akan segera pergi meninggalkan dirinya, walaupun itu hanya untuk pergi bekerja. "Tidak kok, Ma. Mereka berdua tidak pernah sedikitpun ingin jauh-jauh dari Mama. Bahkan rindunya Adit ke mama, melebihi rindunya kepada orang tuanya. Apalagi Arga, sudah pasti dia sangat merindukan mama. Katanya sih ingin segera pulang dan bisa kumpul bersama kita lagi," kata Liyan meyakinkan Bu Dina agar tidak terlalu bersedih. "Benarkah begitu?" "Iya, kemarin kan aku sama Arga saling berkomunikasi lewat aplikasi hijau," celetuk Liyan. "Apa? Kok bisa? Kenapa dia tidak pernah bisa membalas pesan dari mama? Sedangkan sama kamu bisa?" tanya Bu Dina sembari membelalakkan matanya. "Ah, jangankan kirim pesan, mau mendengar suaranya saja cukup sulit!" "Ya ampun, bisa-bisanya aku keceplosan seperti ini!" kata Liyan dalam hatinya. "Hehehe, mungkin karena pas kebetulan ada sinyal, Ma," kata Liyan cengengesan. "Ya sudah lah, biarkan saja yang penting bukan kamu. Pokoknya, kalau kamu sulit dihubungi macam Arga, mama tidak segan-segan kirimin tower ke tempat di mana kamu berada!" kata Bu Dina sembari merapikan rambut pendeknya. "Ya sudah, Ma. Liyan harus segera berangkat, nanti keburu siang!" kata Liyan sembari merapikan pakaiannya. "Memangnya tidak ada cara lain yang bisa mengurus perusahaan papa kamu itu tanpa melibatkan kamu, Sayang! Kalau kamu mau bekerja, ya sudah bareng mama aja. Toh, mama juga butuh rekan kerja. Kita bisa kelola bareng-bareng kan semua perusahaan itu milik papa kamu juga. Atau jangan-jangan kamu juga sudah tidak mau bersama mama lagi ya? Makanya setuju dengan saran papa kamu itu!" kata Bu Dina dengan mata yang memerah seperti ingin kembali menangis. "Ma, maafkan Liyan, bukannya Liyan tega ninggalin mama. Liyan sudah besar, sudah bukan seperti dulu lagi. Ada saatnya kita berubah untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa. Liyan, Adit dan juga Arga pasti suatu saat akan bekerja, kan biar papa dan mama tidak begitu berat mengurusi perusahaan Papa Hanif," kata Liyan sembari menghampiri Bu Dina lagi dan menggenggam tangannya dengan penuh kasih sayang. Dan seketika itu pula, tangisan Bu Dina pun pecah kembali. Ia tidak dapat membendung air matanya, karena benar-benar tidak mau kehilangan Liyan. Ia sudah menganggap Liyan sebagai puteri kandungnya sendiri. Bahkan, rasa sayangnya lebih besar kepada Liyan, daripada anak semata wayangnya, Arga. Namun, meskipun begitu, ia tidak pernah pilih kasih terhadap anak kandungnya ataupun anak asuhnya itu. "Ma, jangan nangis dong! Liyan jadi gak bisa berangkat kalau mama nangis terus," kata Liyan. Ia pun memeluk Bu Dina dengan begitu erat seolah tidak ingin terpisahkan. "Maafkan aku, Ma. Kadang aku kasihan, gara-gara perusahaan papa yang banyak ini, kalian ber-empat malah ikutan repot. Harusnya kalian ber-empat dan juga papa, tidak usah repot-repot bekerja. Biar aku, Adit dan Arga saja yang mengurusnya. Aku janji, aku dan mereka berdua akan mengurus secepatnya. Biar kalian bisa santai menikmati hidup di masa tua kalian," kata Liyan dalam hatinya. Berhubung waktu sudah tidak memungkinkan lagi, Liyan pun terpaksa harus segera berangkat. Dan Bu Dina semakin menangis sesenggukan karena tidak mau melepaskan Liyan untuk pergi jauh-jauh dari dirinya. Namun apalah daya, mau tidak mau, ingin tidak ingin, dia harus melepaskan anak yang sudah diasuhnya pergi demi mengurus sebuah perusahaan. Walaupun berat, tapi ia harus rela harus ikhlas demi masa depannya. Setelah Liyan pergi, Pak Haris pun menghampiri istri tercintanya sembari membawakan sekantong makanan coklat, agar ia tidak semakin bersedih. Karena Pak Haris tahu, jika sang istri pasti bakalan bersedih dan sangat kehilangan oleh orang-orang yang sangat dicintainya itu. Apalagi, sekarang sudah tidak ada yang bisa menghiburnya. Maka dengan sebisa mungkin, Pak Haris lah yang harus berusaha menghibur Bu Dina walau harus memakai baju badut sekalipun. "Sayang, sudah dong jangan bersedih terus. Nih, aku bawakan coklat kesukaan kamu, pasti kamu suka!" kata Pak Haris dengan senangnya. "Aku sudah bukan gadis lagi, Pa. Sudah tua! Yang aku mau adalah Liyan! Bukan coklat seperti ini!" ucap Bu Dina datar. "Aku sangat merindukan Liyan, dia pasti kesepian tidak ada yang menemaninya ketika pulang bekerja!" "Ya elah, Mama! Baru juga pergi lima menit yang lalu, udah kangen aja. Kamu jangan terus-terusan mengkhawatirkan Liyan, Ma. Dia pasti akan dijagain oleh Adit, kamu tenang saja, dia tidak akan kesepian kok!" kata Pak Haris dengan santainya. "Apa! Adit? Kenapa harus Adit yang jagain Liyan?" ucap bu Dina membelalakkan matanya. "Loh, memangnya kenapa kalau sama Adit? Kan mereka ditugaskan mengurus perusahaan secara bersama-sama. Lagi pula, Adit sudah lebih dulu di perusahaan itu, jadi dia pasti tahu semuanya. Dia juga pasti mengajari Liyan sampai pintar!" kata pak Haris meyakinkan Bu Dina. "Mama tidak setuju! Karena kalau mereka sering bersama, mama khawatir mereka akan saling tumbuh rasa suka. Mereka ini sudah dewasa, sudah bukan anak kecil lagi, pa!" kata Bu Dina seakan tidak ingin Liyan berdekatan dengan Adit. "Ngerti kan maksud mama?" "Iya ngerti. Tapi Liyan dan Adit tidak mungkin melakukan hal itu, karena mereka sepupu-an. Mereka masih satu keluarga, gak mungkin bisa saling suka!" kata pak Haris. "Iya satu keluarga, tapi bukan sedarah!" kata Bu Dina kesal. "Kalau sampai mereka punya hubungan spesial, bagaimana dengan anak kita, Arga?" "Apa hubungannya dengan Arga?" tanya pak Haris mengernyitkan alisnya. "Ada!" jawab Bu Dina dengan tegas. "Hubungan antara Arga dan Liyan sangat dekat. Begitu juga hubungan antara Liyan sama Adit. Mereka seolah bersaing ingin mendapatkan hati nya Liyan. Dan apa kamu tahu? Anakku lebih besar perhatian nya kepada Liyan daripada Adit!" kata Bu Dina dengan tegas. "Jadi ... kau ingin menjodohkan Liyan sama anak kita?" kata pak Haris mengernyitkan dahi nya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD