IKHLAS MENERIMA KENYATAAN
Fatah sampai di rumah malam hari. Sejak kemarin dia dan Sabrin memang masih menginap di rumah orang tua Fatah. Karena jarak rumahnya dengan rumah sakit tidak begitu jauh. Jadi memudahkan Fatah untuk bolak balik kerja.
"Baru pulang mas..." tanya sang Mama yang beranjak dari dapur. Mama Fatah adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak memutuskan menikah dengan papa Hadi dia sudah memilih mengabdikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anaknya.
"Iya Ma..."
"Sabrin sejak sore belum makan. Mama udah bujuk dia, tapi dia bilang masih kenyang," Mama mengusap punggung anak sulung kebanggannya. "Kamu kan udah dewasa mas, harusnya menurukan sedikit sifat egomu itu. Mengalah sedikit untuknya tidak apa-apa"
Fatah hanya mengangguk dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak punya senjata apapun jika Sabrin nanti akan marah padanya. Semua ini memang salahnya, dia yang sudah memiliki istri tetapi tidak bisa menjaga sikap. Jika kedua orang tuanya tahu masalah ini, Fatah tidak bisa membayangkan seberapa marah Papa dan Mamanya kelak. Ditambah malu yang didapat keluarganya, jika tahu dia yang sudah menikah tetapi bermain api bersama wanita lain.
Walau lampu kamar yang gelap, Fatah tahu Sabrin tidak tidur. Bayangan gadis itu diatas ranjang terlihat samar-samar. Dengan memberanikan diri, Fatah duduk diatas ranjang disamping sang istri yang membelakanginya.
"Kamu belum makan?"
Sabrin tetap diam membisu. Walau rasanya dia begitu ingin memaki suaminya ini. Tetapi rasa marah dan kesalnya dia tahan begitu saja.
"Mau aku ambilkan makanan?"
Sabrin berbalik melihat Fatah dengan pandangan tidak suka.
"Ayolah, makan dulu. Baru nanti lanjutkan marahnya"
"Kamu tahu aku marah? Tahu kenapa aku marah?" Bentak Sabrin didepan muka suaminya.
"Ya Allah Sabrin, kamu pernah diajarkan sopan santun tidak? Aku ini suamimu. Aku ini imammu. Bahkan aku lebih tua darimu. Jaga nada bicaramu. Saat ini semua dosa yang kamu lakukan adalah tanggung jawabku. Jadi tolong mengertilah. Apa kamu tidak kasihan kepadaku?"
"Oh.. iya, aku memang penuh dosa. Nggak kayak wanita itu kan. Kenapa tidak nikahi saja dia. Dan ceraikan aku"
Jika dia mau menerimaku, sudah sejak dulu dia aku nikahi..
"Aku anggap kau tidak pernah berkata seperti itu..." Cukup sudah Fatah membujuk istrinya. Lama dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa emosinya akan terpancing begitu saja.
"AKU MAU CERAIII...!!!" teriak Sabrin sebelum Fatah menghilang keluar dari kamar.
Sabrin menangis menahan rasa sakit hatinya. Entah untuk apa Sabrin menangis. Apa dia tidak rela melihat Fatah bersama wanita lain? Apa dia cemburu? Walau belum terucap kata cinta, tetapi wanita mana yang rela suaminya bersama wanita lain.
Fatah kembali dengan membawa nampan berisi makanan ditangannya. Diletakkannya nampan itu diatas nakas samping.
"Makanlah dulu" dia ingin menyuapi Sabrin, tapi lagi-lagi Sabrin menolak. Ditepisnya tangan Fatah.
"Ceraikan aku..." isaknya kembali.
Fatah mengepalkan tangannya kuat. Dia tak ingin emosinya terlepas kepada Sabrin. Fatah memejamkan matanya, hatinya tak henti mengucapkan istigfar.
"Apa itu yang kau inginkan?" Tanya Fatah pada Sabrin. Dia memperhatikan gerak gerik Sabrin yang terlihat sangat gelisah.
"Aku.. aku.." Sabrin tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Bahkan kau tidak yakin dengan kata-katamu tadi. Bicarakan lah baik-baik, apa salahku?" Fatah berusaha membujuk Sabrin, berharap gadis didepannya ini akan luluh.
"Mas jahat !!!!" Maki Sabrin sambil memukul-mukul d**a Fatah dengan kuat. "Aku emang bukan wanita baik mas, tapi... apa harus mas bersama wanita lain???"
Fatah menarik napas dalam, dia sudah mengerti apa yang dimaksud Sabrin. Memang dulu dia begitu mengharapkan sosok Rasha dalam hidupnya. Tapi itu dulu, sebelum dia menerima pernikahan ini. Dia sudah berjanji pada Tuhan dan tidak mungkin dia melanggar janjinya itu. Azab apa yang akan dia terima jika dia berani mempermainkan pernikahan yang suci ini.
"Maafkan mas..." Fatah memeluk tubuh Sabrin.
"Apa wanita sepertiku memang tidak pantas bersama pria baik-baik?" Isaknya kembali. Bagai disayat-sayat Fatah mendengar kata demi kata yang Sabrin ucapkan. Fatah bukan pria yang sempurna seperti yang Sabrin bayangkan. Dia juga sama, sering lalai akan agamanya.
"Mas tidak sebaik apa yang kamu pikirkan"
"Tapi..."
"Hus, sudahlah. Jangan diteruskan. Maaf jika tadi mas sudah membuatmu seperti ini. Jujur Rasha hanya seorang dokter muda yang sedang menjalani masa koasnya di rumah sakit mas. Dan..." Fatah menghentikan sebentar kata-katanya. "Jika mas boleh jujur, mas memang pernah memintanya untuk menjadi istri mas"
Sabrin yang mendengar penuturan dari Fatah terlihat sangat kaget. Dia tidak menyangka ternyata wanita berhijab syar'i itu seharusnya menjadi istri dari suaminya. Mungkin karena perjodohan inilah, Fatah tidak jadi menikahi wanita itu. Berarti dialah yang sudah mengganggu hubungan mereka.
"Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Bukan karena perjodohan kita, aku tidak jadi menikahinya. Tetapi.. dia lah yang menolakku," Fatah menjelaskan semuanya dia tidak ingin Sabrin salah paham kembali. Namun ternyata Fatah salah.
"Jadi mas masih berharap?"
"Tidak. Fokusku saat ini adalah dirimu"
"Kalau mas masih berharap sama dia, nanti aku yang akan bawa dia untuk mas.." Sabrin melepaskan pelukan Fatah. Dia tahu kalimat yang dia ucapkan salah, mana ada istri yang sanggup membawa wanita lain kedalam kehidupan rumah tangga mereka.
"Mas mohon jangan lakukan itu. Dia hanya masa lalu, masa lalu adalah sebuah kenangan. Masa depan adalah kenyataan. Dan masa depanku adalah dirimu"
Sabrin menatap mata Fatah, dia berusaha menilai apakah Fatah tulus mengatakan itu. Atau hanya sebuah gombalan belaka. Namun yang Sabrin dapatkan, adalah pancaran ketulusan dari mata hitam Fatah.
"Mas mau nunggu Sabrin jadi seperti dia?"
Fatah tersenyum. "Aku tidak mau membuatmu menjadi orang lain. Memang sejujurnya aku mengharapkan seorang istri yang sholeha. Tapi, aku tidak pernah memaksamu. Karena yang aku mau kamu berubah menjadi lebih baik bukan karena aku. Tetapi karena Allah, karena kamu mencintai Allah"
Hati Sabrin bergetar mendengar semua ucapan dari Fatah. Pria yang sudah menjadi suaminya ini begitu sabar dan mencoba mengerti dirinya. Dia juga tidak memaksa, namun dia memberikan pengarahan dengan cara yang Sabrin pahami. Haruskan Sabrin bahagia hidup bersama pria ini?
"Terima kasih mas..." ucap Sabrin dengan tulus. Dan Fatah membalasnya dengan senyuman yang begitu menyegarkan mata yang melihatnya.
"Makanlah. Kata Mama kamu belum makan," kembali Fatah menyuapkan makanan pada Sabrin dan diterima Sabrin dengan senang hati.
"Mas tahu, cuma mas yang bisa merasakan apa yang aku rasakan. Papi aja masih sering memaksaku" jelasnya.
"Aku hanya berusaha menjadi dirimu. Karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan menghasilkan hal baik. Tahu mengapa? Karena kita menjalankannya dengan setengah hati. Tanpa keikhlasan dalam hati kita"
"Mas benar. Salut deh sama pemikirannya. Pantas saja mas bisa jadi dokter" puji Sabrin pada suaminya.
"Tidak ada hubungannya sama pekerjaanku. Aku menjadi dokter karena memang panggilan dari hati kecilku sendiri"
"Mama nggak maksa mas jadi yang dia mau?" Tanya Sabrin.
"Tidak. Walau papa berusaha untuk membujukku menjalankan perusahaannya tapi dia tidak pernah memaksaku. Dia kembali menyerahkan semuanya padaku. Selama yang kupilih jalan yang benar, maka mereka tidak akan protes. Karena memang itu tugas sebagai orang tua, memantau tumbuh kembang anak-anaknya. Tidak membataskan ruang gerak si anak. Namun jika si anak sudah keluar dari jalur, maka disitulah peran sebagai orang tua untuk mengingatkannya kembali"
"Beda sekali sama Papi dan Mami. Dia yang memaksaku memilih jurusan sebagai programer. Padahal otakku tidak mampu"
"Dari mana kamu tahu kalau kamu tidak mampu? Kamu itu tidak mampu atau kamu hanya malas saja?" Tanya Fatah sambil terus menyuapkan makanan untuk Sabrin.
"Karena aku selalu tidak lulus dalam ujian lab"
"Apa kamu sudah menjalankan semuanya dengan ikhlas? Semua yang berawal dari keikhlasan, maka akan terasa mudah jika kamu telah ikhlas menjalankan semuanya"
"Belum sih" jawab Sabrin dengan mulut yang penuh makanan.
"Nah kan, belum ikhlas udah bilang tidak bisa"
"Terus aku harus ikhlas gitu disindir sama aslab setan hitam itu?" Ketus Sabrin.
"Ada setan hitam di lab mu?" Tanya Fatah tak percaya.
"Iya, dia galak banget kalau ngajar. Selalu aku yang kena sasarannya. Mana selalu pakai jaket hitam, bukannya jas lab. Kan sombong banget" tukas Sabrin.
"Kapan-kapan aku harus liat seberapa seram setan hitam menurut versimu"
Fatah menatap Sabrin senang karena akhirnya Sabrin bisa melupakan rasa sedihnya. Dia memang sengaja mengalihkan pembicaraan pada Sabrin. Agar gadis itu lupa akan kesedihannya.
"Sudah istirahat lah" Fatah mengakhiri acara menyuapi istrinya itu.
"Mas.. makasih ya"
"Iya. Berjanjilah padaku jangan menangis lagi. Karena setiap tetes air matamu akan dihitung, dan akan kupertanggung jawabkan nantinya di akhirat kelak" Fatah menatap mata Sabrin dengan tatapan seolah-olah memohon padanya. "Ketika seorang wanita telah menikah, maka Allah telah menjamin surga untuknya. Namun berbeda dengan kami kaum laki-laki, kami harus berusaha dulu untuk meraih surga dengan cara mendidik anak dan istri kami kejalan yang di ridhoi-Nya. Dan jika istri dan anak kami melakukan sebuah dosa, maka langkah kami akan terhenti untuk meraih surga itu dan mempertanggung jawabkan dosa-dosa itu. Karena kami telah lalai mendidiknya" jelas Fatah pada Sabrin. "Jadi aku mohon, bekerja sama lah denganku. Kita sama-sama saling menjaga satu sama lain. Jika aku tengah lalai menjalankan tugasku sebagai seorang suami untukmu, tolong ingatkan aku. Begitu pun sebaliknya. Kamu pahamkan" Fatah mencium kening Sabrin. Mendengar semua penjelasan Fatah membuat Sabrin menyesali semua perbuatannya. Dan lihatlah dia, masih jauh dari kata sempurna. Apa masih bisa Fatah meraih surganya jika dia masih seperti ini?
"Sekarang tidurlah, aku mau mandi dulu" jelas Fatah pada Sabrin.
Sabrin mulai menutup matanya. Karena perutnya telah terisi, saat ini rasa kantuk lah yang menyerangnya.
****
Sabrin menggeliat dalam tidurnya. Sayub-sayub dia mendengar lantunan ayat suci dalam kamarnya. Ia bisa mendengar Fatah membaca surat yasin dan diakhiri dengan sebuah doa yang Sabrin tak tahu doa apa itu.
Allahumma inni Zalamtu nafsi Zulma kasira, wa la yaghfiruzzunuba illa anta, faghfirli maghfiratan min indik, warhamni innaka antal Ghafurur Rahim.
"Ya Allah, sungguh aku telah banyak menzalimi diriku, dan tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka, ampunilah aku dengan ampunan/maghfirah dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
Sabrin melihat Fatah mengangkat kedua telapak tangannya dan memohon ampun kepada Allah. Sekali lagi hati Sabrin bergetar mendengarkan Fatah melantunkan ayah suci seperti ini. Fatah bangkit dari sujudnya. Dan berjalan kearah Sabrin. Karena melihat Fatah mendekat, Sabrin menutup kedua matanya. Berharap Fatah tidak tahu jika dia sudah bangun dari tidurnya.
Sabrin merasakan Fatah mengusap kepalanya. Dan membacakan satu ayat tepat diatas ubun-ubun Sabrin.
"Allahumma sakh-khirhaa lii, wabaariklii Fiihaabihaqqi muhammadin wa alihi" terdengar 3 kali Fatah membacakan ayat yang sama pada Sabrin. Lalu mengecup puncak kepala Sabrin.
Sabrin tak mengerti doa apa yang dibacakan Fatah padanya. Tetapi mendengar doa itu hatinya begitu tenang. Kemudian Fatah membaringkan tubuhnya disebelah Sabrin dan berharap doanya dijabah oleh Allah. Agar kehidupan rumah tangganya kelak diridhoi oleh Allah.
-----
Continue