Part 3

2129 Words
Beberapa hari setelah itu, keadaan tidak membaik. Mereka kembali seolah-olah berada dalam keadaan lost contact. Ini bukan kemauan Salma, dia sudah berusaha tetap menjaga komunikasi mereka dan tampaknya Raga menjadi acuh tak acuh. Banyak spekulasi yang bisa ditangkap dari ini; bahwa Raga tak menyukainya setelah mereka bertemu, dia berpikir antusiasme Raga pada awal pesan mereka merupakan langkah pertama yang bagus ke depan. Salma memang tidak terlalu cantik dan menarik, ucapannya kadang membuat orang lain merasa sakit hati. Akan tetapi, Salma selalu berusaha untuk menjaga agar tak menyakiti orang lain. Mungkin yang salah bukan pada sikapnya, tapi karena Raga tak menaruh harapan apa pun padanya. Walau jika dipikir-pikir perubahan ini terlalu signifikan; sebelum mereka akhirnya bertemu dia bisa merasakan antusiasme Raga, saat mereka bertemu, Raga nampaknya sebisa mungkin menjaga jarang mereka dan membangun tembok tinggi. Beberapa hari yang lalu, Salma mengabari Raga bahwa ponsel milik Reksi masih terbawa di tasnya, dan dia bertanya bagaimana cara mengembalikannya. Tapi Raga tak menjawab. Bahkan setelah beberapa hari. Salma mengirim pesan lain dengan topik berbeda, jawaban Raga sangatlah singkat, sama sekali tidak membahas ponsel itu. Sekarang Salma semakin yakin; Raga tak menyukainya. Ponsel milik Reksi dalam keadaan terkunci sehingga dia tidak bisa membukanya. Beberapa kali dia punya keinginan untuk mengembalikan benda itu ke rumahnya secara langsung, namun belum memiliki waktu yang tepat. Meskipun sekarang Salma sudah pasrah dan melupakan keinginannya untuk menjadi jodoh Raga, dia masih memiliki keinginan untuk berteman lagi dengan cowok itu. Kenapa Raga sekarang menjadi orang yang sulit? Setelah lama menunda, akhirnya Salma punya keberanian untuk mengembalikan ponsel milik Reksi, sebelumnya dia harus menyiapkan kado untuk gadis kecil itu, juga beberapa bawaan untuk ibunya Raga. Tidak sopan berkunjung dengan tangan kosong. Salma melihat temannya baru saja datang dari ruangan presensi, menyelinap di sebelahnya dan mengeluh panasnya terik di luar. Temannya adalah seorang wanita yang lebih tua lima tahun darinya, sudah bersuami dan memiliki anak perempuan. Salma menyenggol bahunya. "Rin, boleh minta saran?" "Saran apa?" Karina adalah teman satu divisi Salma. Wanita itu memiliki wajah yang halus dan keibuan dan sering sekali menggoda Salma dengan laki-laki di kantor mereka, berharap Salma memilih satu. "Kado apa yang cocok untuk anak perempuan?" Salma berkata polos. "Tunggu, Sal, ulang tahun Bianca masih lama. Jangan buru-buru." Salma mengernyit. Bianca adalah nama anak Karina yang paling tua. Usianya mungkin juga lebih tua dari Reksi. Memang tidak secara langsung, tapi Salma menganggap ini adalah sebuah kode. Kadang-kadang, Salma suka membelikan kado untuk Bianca kalau dia sempat. "Bukan buat Bianca, Rin," ralat Salma. "Gue mau kasih kado untuk anak sembilan tahun." "Anak lo?" "Bukan." Karina melepas senyum cemooh. "Kali aja lo tiba-tiba punya anak umur sembilan tahun karena nikah sama duda." Kalimat itu menusuk tepat di d**a Salma. "Apa itu salah?" Wanita di sebelahnya menoleh secepat kilat, sambil dia sedikit bangkit. "Sal, sekarang serius? Ketemu duda beneran?" "Aish!" Karina nyerocos, "Nggak apa-apa duda, Sal, asal kaya raya. Tapi tetep aja jangan gegabah, dia harus baik dan nerima lo. Kalau ganteng itu bonus. Jangan cari ganteng dulu. Yang pasti dia harus mapan. Mana? Mana, liat fotonya biar gue nilai." Salma dengan cepat menyingkirkan tangan Karina yang berniat mengambil ponselnya. "Bukan, Rin. Bukan! Ini cuma kado, bukan yang lain." Karina mengendur di kursi. "Apalagi yang lo tunda sih? Pasti capek 'kan denger pertanyaan yang sama terus?" Memang benar. Pertanyaan yang Salma dengar tidak pernah berubah belakangan ini. Seolah-olah menikah adalah hal yang sangat wajib, padahal jodoh tidak datang jika belum waktunya untuk tiba. Salma memang tidak terlalu memikirkan, tapi bukan berarti dia tidak peduli. Tapi apa yang harus dia lakukan? Salma menghela napas. "Jadi, ada saran kado?" Dia mengabaikan lagi pembahasan itu, seperti yang sudah-sudah. Karina akhirnya pasrah menghadapi juniornya ini, lalu memberi saran yang bagus sebisa mungkin. Ini sepenuhnya memang bukan urusan Karina, tentang masalah jodoh untuk Salma, tapi dia sebenarnya peduli akan apa yang orang lain keluhkan karena Salma masih betah menjomblo. Salma memang tidak harus memedulikannya. Karina juga tidak akan menuntut. Salma menuju toko yang menjual berbagai macam kado setelah pulang kerja, pilihannya segera jatuh pada sebuah tas ransel mini blink blink yang terdapat gambar unicorn. Dia menambahkan dua boneka lucu sebesar telapak tangan. Ini benar-benar terlihat imut dan cocok untuk anak kecil, apalagi Reksi adalah perempuan, tak mungkin dia tak menyukainya. Setengah jam kemudian Salma sudah memasuki gerbang yang terbuka separuh dari rumah Raga. Pekarangan rumah itu sangat bersih, beberapa daun mungkin nampak baru jatuh dari pohon mangga besar di sana. Buahnya masih menggantung hijau. Dulu, Salma sering sekali mampir untuk meminta mangga matang pada Raga. Pohon mangga ini sudah besar sejak dulu, sekarang pasti sudah berusia lebih dari 20 tahun. Salma mengetuk pintu ganda kediaman Raga. Dadanya berdebar. Sudah lama dia tidak main ke rumah ini. Dia mungkin hanya akan mengembalikan ponsel ini, lalu pulang. Pintu tiba-tiba terbuka. "Siapa ya?" Yang muncul adalah wanita muda yang mungkin seumuran dengan Salma. Perawakannya begitu anggun; rambutnya hitam panjang sebahu, poninya dikunci oleh jepitan pita, dan sisa helai rambut yang lain nampak disisir dengan sangat rapi. Wanita itu berwajah sangat ramah, Salma mengingat di mana dia pernah melihat wajah itu, begitu familier. Pintu dibuka semakin lebar. "Kamu cari siapa?" tanya wanita itu. Salma terdiam, berpikir bahwa dia mungkin salah alamat. Atau mungkin orang tua Raga sudah pindah, tapi kemudian di belakangnya dia melihat Reksi muncul. "Hai, Reksi," sapanya tanpa sadar. Reksi tersenyum malu di belakangnya, menggandeng pakaian wanita itu. "Kamu?" "Oh, aku Salma." Wajahnya langsung berubah agak mengernyit, dia menerima uluran tangan Salma, menyebutkan bahwa namanya adalah Nindi. Lalu bertanya pada Salma keperluannya untuk datang. Salma langsung memberikan ponsel milik Reksi. "Lho, ini HP kamu, Sayang." "Iya, Bun, waktu itu dipegang Tante Salma." Salma membeku. Reksi memanggil Nindi dengan sebutan itu, berarti wanita ini adalah ibunya Reksi? Apakah mereka sebenarnya tidak bercerai? Pantas saja wajah itu agak familier. Mereka berdua punya bentuk wajah yang sama. Tapi tidak mungkin kalau Raga berbohong padanya. Atau mungkin Raga memang telah berbohong. Salma tidak berani bertanya langsung walaupun Nindi ada di depan wajahnya. Saat itu yang ada di pikirannya hanya pergi, tapi ibu Raga muncul dan mengenalinya, dan dia dipersilakan masuk. Keadaan bahkan lebih canggung. "Salma apa kabar?" Saat ini Salma berdua saja dengan wanita paruh baya itu, terakhir kali mereka bertemu mungkin sudah sepuluh tahun yang lalu, sejak kelulusan SMA. Wanita paruh baya itu telah berubah, wajahnya masih terlihat agak kaku, walaupun sebenarnya beliau sangat ramah. Wanita bernama Nindi, yang Salma duga sebagai ibu Reksi, sudah kembali ke dalam. "Baik, Tante Yuli." Salma teringat kresek putih di bawah kakinya. "Tadi aku beli jeruk bali untuk tante." Yuli memasang ekspresi tak percaya, awalnya, tapi kemudian menerimanya dari tangan Salma. "Makasih ya, Sal, ngerepotin." Salma menggeleng canggung. Sebenarnya dia juga ingin bertanya pada Yuli perihal Nindi dan Raga, tapi dia menahannya. "Kamu udah nikah?" Salma mengerutkan dahi. Apa pertanyaan ini tidak bisa dihilangkan dari muka bumi sebentar saja? "Ah, maaf. Bukan maksud Tante untuk nggak sopan karena nanya soal itu," lanjut Yuli agak menyesal. "Nggak apa-apa kok, Tante. Aku belum menikah," Salma menjawab, agak canggung. "Oh ya, udah mau gelap, sebenernya tadi aku cuma mau ngembaliin HP Reksi aja." "Kamu kenal Reksi?" Tiba-tiba Yuli bertanya serius. Salma bingung dengan pertanyaan itu. "Di mana kamu ketemu Reksi?" "..." Yang dilakukan Salma hanya mengernyit, kehilangan kosa kata. Kalau dia bercerita bahwa dia bertemu dengan Raga, apa itu tidak masalah? Raga mungkin berbohong padanya bahwa dia sudah bercerai, namun Salma lihat sendiri bahwa ibunya Reksi ada di sini. Jika ibunya Raga tahu bahwa anaknya jalan dengan wanita lain, rasanya ini agak menyimpang. "Kamu tahu Reksi itu siapa?" Dia bertanya lagi. "Bukannya Reksi anaknya Raga, ya?" Salma bertanya hati-hati. Wanita paruh baya itu malah tersenyum. Salma lalu teringat bahwa tadi dia berniat pamit untuk pulang. "Ya udah, kalau gitu, Salma pamit pulang, Tante." Salma berdiri, Yuli melakukan hal yang sama, dan Salma segera mencium tangannya. "Kamu nggak nunggu Raga dulu?" Kalimat itu membuat Salma tertegun. "Raga bukannya di luar kota?" "Nggak kok, dia di sini. Kerjaannya udah pindah." *** Ini benar-benar tidak masuk akal. Jadi Raga memang berbohong padanya; soal cerainya, juga saat dia bilang akan kembali ke luar kota. Tapi untuk apa? Salma memegang ponselnya, melihat baris pesan yang dia lakukan dengan Raga. Sudah sekitar sepuluh jam lalu, tapi Raga tidak membalas. Kalau Raga memang tidak mau berteman dengannya, itu tidak masalah, dia hanya butuh alasan. Semua kebohongan ini dimaksudkan untuk apa? Salma mengetik sebuah kalimat; 'Ga, lo kenapa bohong?' Delete. Diketik lagi: 'Lo udah di luar kota?' Delete juga. Dengan secepat kilat, Salma mengetik lagi, sebelum berubah pikiran, dia menekan tombol send. 'Gue udah balikin HP Reksi.' Pukul 19.48 Lalu Salma melesakkan ponselnya di bawah bantal dan menggeram, tertidur meskipun dia merasakan ada getaran pada benda itu. Pagi harinya barulah dia membuka ponsel, Raga membalas sebaris kata 'terima kasih', hatinya cukup senang untuk itu. Karena takut Raga akan memutus komunikasi sepihak lagi, Salma memutuskan untuk membalas dengan sebuah pertanyaan. Dia bertanya apa pun yang bisa dipikirkan olehnya. 'Ga, di mana lo?' Pukul 06.10 Kirim. Dengan sengaja Salma tidak melirik ponsel sampai jam makan siang. Tiba-tiba dia menjadi berapi-api saat memegang ponselnya seolah-olah itu benda keramat. Salma hanya akan mengikuti aturan main Raga, cowok itu kalau balas pesan sangat lama, dan singkat, Salma akan menirunya, tapi dia tak akan membuat komunikasi terputus sampai dia bisa meyakinkan hati. ... Bahwa dia benar-benar duda. Apa salahnya menyukai duda? Sudah terlalu terlambatkah untuk menyukai Raga? Apa ini karma masa lalu? "Semangat banget liat HP, Sal?" Karina membuka kotak makan yang disediakan kantor, menunya berupa ikan goreng garing dan sayur hijau yang segar. Dia menerima sumbangan sayur saat Salma melakukannya. "Pacar baru lagi?" Salma cemberut. "Masih yang kemarin." Karina menatapnya seolah-olah Salma adalah badut. "Duda anak satu itu?" "Rin, dia ini sahabat gue dulu pas kecil," Salma menjelaskan. "Kami dulu pernah pacaran." "Oh, kenapa nggak dari dulu aja niat nikah sebelum dia jadi duda? Kalau sekarang 'kan udah bekas orang lain?" Salma tak bisa berkata apa-apa. "Gue emang bilang nggak masalah sama duda, tapi lebih baik lo pikir-pikir lagi." Karina mengunyah sebelum melanjutkan, "Jadi ibu tiri nggak semudah bayangan lo, Sal." "Gue belum berpikir sejauh itu." Salma terdistraksi sesaat ketika membaca pesan Raga, lagi-lagi Raga memberinya jawaban yang bohong. Raga bilang dia sudah di luar kota. Kenapa? Tidak mungkin Tante Yuli yang berbohong. "Lo udah dewasa, Sal, pacaran di umur segini yang dipikirin udah jauh." Salma mendesah, mengubah topik. "Menurut lo kalau cowok balas pesan singkat, apa artinya mereka nggak minat?" "Betul sekali." Karina menjawab asal. "Tapi coba tanya sama cowok langsung. Galih?" Cowok yang bernama Galih adalah seorang marketing di kantornya, kebetulan lewat di tempat Salma dan Karina duduk. Dia berhenti waktu Karina memanggilnya. "Kalau lo bales singkat terus ke cewek artinya apa?" Karina langsung pada inti. Salma memutar bola mata. Sedangkan Galih sepertinya tak keberatan menjawab. Ngomong-ngomong Galih juga masih jomblo, Salma menduga-duga apa dia sedang cari istri? Ah, tapi Galih 'kan lebih muda dua tahun darinya. "Bosen." Galih menjawab, lalu pergi. Plus menambah alasan lain kalau Galih akan dicoret dari kandidat. Terlalu cuek. Cari suami kok susah banget! "Bosen, Sal," lapor Karina. "Tinggalin." "Galih itu cuek. Bosen apa nggak dia bakal bales singkat." "Tapi alasan semacam itu nggak bisa diabaikan juga, 'kan? Balas singkat; artinya bosen." Salma mendesah. "Bisa jadi dia sibuk?" Meja di depan mereka digebrak Karina dengan jengkel. "Buka mata, Sal, cinta memang bikin orang t***l. Tapi jangan bikin hati lo jadi tumpul juga. Masa mau sih nunggu harapan palsu?" Salma tidak berpikir begitu, dia hanya mencoba berpikir positif. Dia tidak membalas pesan Raga sampai jam kerja habis. Dalam perjalanan pulang dia menyelinap ke destinasi lain, bermaksud mengintai, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri apa Raga memang masih di sini. Salma berdiri di ujung jalan dengan t***l, akhirnya mampir ke sebuah warung kecil sambil berpura-pura membeli tisu. Dia berada pada gang yang mengarah langsung pada rumah Raga. Mengintai. Kalaupun sampai malam dia tidak melihat Raga lewat, dia akan pulang. Tapi memangnya kalau dia melihat Raga apa yang akan dilakukannya? Sampai akhirnya karena terlalu lama melamun dia kaget mendengar suara mobil, yang lewat barusan benar-benar familier. Matanya menyipit. Itu mobil milik Raga. Rumah Raga dari gang tidak terlalu jauh. Dia berjalan di belakang. Mobil itu masuk ke dalam gerbang rumah Raga dan saat pintu mobil dibuka Raga benar-benar keluar dari sana, pakaiannya rapi, dengan kemeja panjang yang dimasukkan ke celana. Salma hanya bisa bertanya-tanya. Kecewa dan emosi, tapi dia itu siapanya Raga? Dia tidak berhak marah, 'kan? Kenapa Raga harus bohong? Apa yang direncanakan olehnya dengan melakukan itu? Salma mengeluarkan ponsel dan mengetik kalimat sesuai kemauan tangannya, isi pesannya sangat kentara sedang mencari kejelasan, lalu dia pergi dari sana secepat kilat. 'Kenapa lo bales pesan singkat terus, Ga?' Pukul 18.49 tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD