Hellboy

1641 Words
Tibra menatap kosong layar televisi yang memutar serial Game of Thrones yang menjadi favorit banyak orang. Tidak, Tibra bukanlah bagian dari orang-orang yang menyukai nonton film atau fans berat film atau serial tertentu, ia hanya tidak tahu bagaimana menghabiskan waktunya. Ia sendirian hampir setiap hari, berada di dalam apartemen yang meski cukup nyaman, tapi akan membosankan jika hanya sendirian. Tibra kadang pergi ke klub malam, bersenang-senang di sana, mabuk, dan one night stand dengan perempuan yang ia temui, tapi tidak ada sesuatu yang membuatnya terbebas dari rasa sepi dan bosan. Terkadang, dia merasa dirinya adalah sebuah manekin, bukan seorang manusia, tidak ada satupun orang yang peduli pada kehadirannya, tidak pula ibunya. Menurut kisah yang didengarnya, ia ditemukan di tempat pembuangan sampah, dengan tubuh memerah dan jeritan tangis kesakitan karena semut mengerubungi tubuh mungilnya. Seseorang menemukannya dan membawanya ke panti asuhan, di sanalah ia menghabiskan masa kecil hingga remaja, lalu setelah masuk usia tujuh belas tahun ia keluar dari panti karena panti tidak lagi menerimanya setelah ia masuk ke lapas anak karena tidak sengaja membunuh teman yang membullynya. Hampir sepanjang hidupnya ia sendirian, tapi Tibra tidak ingin terus meratapi hal itu, karena meratap tidak merubah apapun. Maka, ia berusaha menikmati hidupnya yang bisa dikatakan lumayan nyaman, tinggal di apartemen yang cukup bagus, memiliki mobil dan uang yang cukup jika ia ingin bertamasya kemanapun. Semuanya ini didapatkannya dari pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya. Tibra sedang memakai jaketnya saat ponselnya berdering nyaring. Tibra yakin orang yang menelponnya adalah Hazel. Tidak ada kontak kelurga, sahabat atau seseorang yang peduli padanya, di dalam kontaknya hanya ada nomor telpon Hazel, tukang gas, tukang galon, mbak laundry, dan juga sekuriti apartemen yang kadang dimintai bantuan untuk membelikan makanan atau hal lainnya yang malas ia lakukan. "Ya?" Tibra mengangkat panggilan telpon dari Hazel. "Ada tugas lagi buat lo. Ramon bilang kalau lo kemarin ragu-ragu buat ngabisin Harris." "Gue bukan ragu, tapi gue lagi nunggu kata terakhir yang mau dia ucapkan. Dia bakalan mati dan gue mau dengerin kata-kata dia sampai selesai." "g****k!" ketus Hazel. "Lo buang waktu. Gue udah bilang kalau dia nggak mau kerjasama ya udah, abisin langsung. Sekarang, gara-gara lo ngulur waktu, ada polisi yang curiga dan dia mau menyelidiki kasus Harris meski Ramon sama temen-temennya udah pasang badan dan ngaku kalau mereka ngerampok Harris. Gue nggak mau tahu, itu kesalahan lo dan lo harus beresin hal ini. Habisi Javier Tigra, bagaimanapun caranya." "Kebetulan gue juga lagi bosen. Gue seneng ada kerjaan lagi." "Gue nggak mau lo gagal kali ini atau ngelakuin hal konyol yang nggak penting." Tibra menarik bibirnya membentuk cemooh yang tentu saja tidak bisa dilihat Hazel. "Gue balik dari Eropa minggu depan, dan gue pengen waktu gue balik, polisi itu tinggal nama." "Lo bisa datang melayat dia kalau mau setelah turun dari pesawat." "Lo percaya diri banget dan gue harap lo kerjain semuanya dengan baik. Kali ini ga ada backup, lo kerja sendiri, dan andai lo ketangkep ingat, gue nggak pernah kenal lo." "Gue nggak akan lupa." "Bagus kalau gitu." Hazel menutup sambungan telponnya dan Tibra menatap bayangannya di kaca. Javier Tigra, nama polisi yang akan dienyahkannya dari dunia ini mirip dengannya. Mereka berdua terdengar seperti anak kembar, Tibra dan Tigra, dan sebuah pikiran konyol mampir dalam otak Tibra, apakah mereka kembar yang terpisah? Tibra tertawa kecil menyadari pikirannya, tidak mungkin jika ia memiliki saudara kembar, ia adalah manusia yang ditakdirkan sendirian, bahkan sejak lahir. Tidak ada seorangpun yang ada dalam hidupnya, bersama-sama dalam kesehariannya dan mendukungnya dalam senang dan susah. Orang-orang yang ditemuinya adalah orang yang selintas lewat, tanpa meninggalkan kesan mendalam. Ibu asuh di panti yang berganti-ganti, mereka semua baik, tapi tidak cukup menyentuh hatinya dan banyak orang lainnya yang datang dan pergi dalam hidupnya, tidak ada yang tertinggal, hampir sama seperti ombak yang pasang surut di pantai. Tibra tidak tahu apakah ia lahir dan hidup di dunia ini adalah suatu anugrah atau kebalikannya, kelahiran dan kehidupannya adalah suatu musibah? Musibah bagi dirinya, merasakan sepi dan sendiri yang seolah tanpa ujung, dan juga, musibah bagi orang-orang yang harus menyerah pada hidup di tangannya. Sejak kecil, Tibra selalu sendirian di dunia ini, tanpa orangtua, saudara, keluarga, tidak ada yang mencintainya atau menyayanginya, bahkan sejak ia dilahirkan. Jangankan menyayangi, mungkin ia malah mendapatkan kebencian, setidaknya dari orang-orang yang ia tagih hutangnya hingga takut setengah mati, tapi salahkan saja mereka, mengapa begitu bodoh meminjam pada lintah darat hingga harus memeras keringat darah untuk membayar. Kebencian juga pasti diarahkan padanya oleh keluarga Henoch, meski tidak ada saksi mata, tapi keluarga Henoch tahu pasti kematian Henoch bukan kecelakaan wajar. Juga, keluarga Harris, meski anak-anaknya berada di Singapura bersama ibu mereka setelah Harris dan istrinya bercerai, tapi Tibra yakin, saat mendengar ayahnya mati ditembak, anak-anak Harris tidak akan terima dan membenci pelakunya seumur hidup. Hazel, mungkin juga akan mendapatkan kebencian yang sama, tapi, Hazel lebih beruntung. Setidaknya, ia memiliki orangtua, kakak perempuan, istri dan anak-anak dan orang-orang lain yang begitu menaruh hormat dan mengaguminya, karena keluarga Soemarsono memang terkenal dermawan, dan bagi orang awam, mereka terlihat begitu santun, dan rendah hati, tidak akan mungkin melakukan cara kotor dan rendahan, membayar pembunuh bayaran seperti Tibra untuk memuluskan jalan bisnis dan kepentingannya. Tibra melangkahkan kakinya ke meja kerjanya, membuka laptop dan membuka browser mencari nama Javier Tigra. Disebutkan dalam berbagai portal media massa bahwa Javier Tigra menolak kemungkinan perampokan disertai pembunuhan yang menimpa Harris Rajendra. Tigra berpendapat terlalu banyak kejanggalan di tempat kejadian, dan kematian Harris lebih mirip dengan pembunuhan berencana ketimbang perampokan dan menyebabkan pembunuhan yang tidak disengaja, dan meminta kembali penyelidikan kematian Harris Rajendra. Kedua anak Harris, Roseanne Rajendra dan Jeffrey Rajendra mendukung upaya penyelidikan kembali kematian ayah mereka dan berharap penyelidikan ini menguak tabir kematian ayah mereka. Tibra menghela nafas. Satu lagi, manusia akan menghilang dari bumi ini di tangannya. Kadang, Tibra merasa bahwa apakah memang keahlian yang dimilikinya adalah membunuh? Dia, keluar dari panti asuhan, di usia lima belas tahun, pindah ke lembaga pemasyarakatan anak, karena mendorong anak yang membullynya hingga tewas. Ia tidak sengaja, tapi, tetap saja, temannya itu meregang nyawa dan ia harus masuk ke lembaga pemasyarakatan, dan membuat semua orang menatapnya dengan tatapan sinis dan takut, panti asuhan menolak keberadaannya sebagai anak asuh, dan ia berakhir menjadi anak jalanan yang semakin mengasah keahliannya melakukan tindak kejahatan. Meski wajahnya tidak seseram Hellboy tapi Tibra merasa bahwa orang-orang menilainya seperti Hellboy—anak dari neraka, dan Tibra sendiri merasa hal itu tidak sepenuhnya salah. Ia yakin bahwa dosanya sudah banyak dan ketika mati, jika surga dan neraka memang ada, ia akan menjadi penghuni neraka. Tibra menutup laptopnya, lalu mengambil kunci mobil, berjalan keluar unit apartemennya dan menuju basement di mana jeepnya terparkir lalu melajukan mobilnya keluar area apartemennya. Tibra melaju di antara kesibukan jalanan ibu kota pada tengah hari dan berhenti di sebuah kantor polisi, tempat di mana Tigra bertugas. Tibra mengamati kantor polisi itu, lalu turun dari mobil, menyambangi tukang parkir yang sedang berdiri di bawah pohon, melindungi diri dari terik matahari. "Kalau mau lapor kehilangan dompet di sini ya?" tanya Tibra basa basi. "Oh, iya, masuk aja, nanti ada tempat pelaporannya. Emang dompetnya hilang di mana?" Tukang parkir itu menanggapi. "Kayaknya jatuh, tapi nggak inget di mana." Si tukang parkir mengangguk-angguk menanggapi. "Biasanya lama nggak sih bikin laporan gitu?" "Wah kurang tahu, coba nanya aja ke dalam," saran tukang parkir itu sambil membetulkan letak topinya. "Gue sebenernya ada temen, cuma nggak tau, orangnya lagi di kantor enggak. Namanya Tigra, lo kenal nggak?" "Oh, bang Tigra biasanya sih ke kantor kalau sore, absen apa gimana gitu, kan biasanya kerja di lapangan." "Biasa pulang jam berapa?" "Wah nggak pasti sih, coba ditelpon aja orangnya." "k*****t!" rutuk Tibra dalam hati. Niatnya mencari info soal Tigra, tapi malah tukang parkir di depannya ini menyuruhnya menelpon Tigra. "Masalahnya gue ga punya nomor telponnya, gara-gara hp gue ilang." "Oh, gitu. Kalau mau ditunggu aja sih, kadang jam lima udah absen, tapi kadang jam sembilan atau lebih." Jawaban yang sama sekali tidak membantu, tetap saja Tibra harus menghabiskan waktu menunggu Tigra dan mengeksekusinya. "Ya udah, gue cabut dulu aja. Thanks ya infonya." Tibra segera melangkahkan kaki menjauh dari tukang parkir yang mengangguk sambil lalu dan sibuk meniup peluit, mengarahkan sebuah mobil yang hendak parkir. Tibra kembali ke belakang kemudi jeepnya, sepertinya ia terpaksa harus mengamati kantor polisi ini seharian demi bisa menemui Tigra dan merencanakan kematian untuk Tigra. Tibra mengambil ponsel dan membuka browser, melihat dari browser wajah Tigra, intel yang berani melawan arus seperti ikan salmon, sayangnya, tidak semua salmon selamat melawan arus, beberapa dari mereka mati kelelahan atau dimakan beruang saat berjuang melawan arus, dan sepertinya Tigra menjadi manusia setengah salmon yang tidak beruntung itu. Tibra mengeluarkan rokok dan menyalakannya menghembuskan asapnya dengan rasa bosan. Sudah hampir tiga jam ia menunggu di depan kantor polisi tanpa kepastian kapan Tigra akan muncul, dan sialnya, ia harus mengulangi kebosanan ini besok sampai ia berhasil menemui Tigra dan melenyapkannya dari dunia ini. Perutnya mulai lapar dan secara aneh, ia merasa lelah dan mengantuk, padahal, biasanya ia sulit tidur, mungkin karena menunggu benar-benar melelahkan. Tibra hampir memutuskan untuk berhenti melakukan pengamatan yang dirasanya sia-sia saat matahari sudah benar-benar menghilang dan meninggalkan kegelapan, digantikan lampu-lampu berpendar indah, yang meski begitu, tidak mampu mengalahkan cahaya matahari yang digdaya. Namun keputusan Tibra berubah manakala melihat seorang pria dengan jeans belel dan jaket kulit mendekati tukang parkir yang tadi bercakap dengannya. Mata Tibra memincing, ia mengambil ponselnya, mencocokkan wajah di ponselnya dengan pria yang bercakap ramah dengan tukang parkir. Tibra menemukan bahwa pria itu adalah Javier Tigra yang dicarinya, sasarannya. Tibra memincingkan mata dan menatap Tigra sambil berpikir, menyusun cara untuk mengakhiri hidup Tigra secepatnya sesuai perintah Hazel. Satu hal yang pasti, kematian Tigra harus terlihat natural, seperti sebuah ketidaksengajaan. Tidak lama kemudian, Tigra nampak meninggalkan tukang parkir yang berbincang bersamanya, kembali masuk ke area kantor polisi, lalu keluar dengan mengendarai motor standar, melaju membelah jalanan. Tibra segera melajukan jeepnya, mengikuti kemana Tigra pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD