Satu

2027 Words
Senin (14.04), 22 Maret 2021 ---------------------- Mendadak desakan untuk menangis serasa menghimpit d**a Dariel. Dia tidak tahu apa alasannya. Perasaan itu muncul begitu saja hingga Dariel kesulitan bernafas. “Dariel, apa kau baik-baik saja?” guru perempuan yang saat ini mengajar pelajaran Biologi di kelas Dariel bertanya. Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Dariel—putra pemilik yayasan—menderita kanker hati stadium lanjut. Bahkan beberapa waktu lalu SMA Taruna Jaya sempat dihebohkan dengan berita bahwa Dariel tidak bisa disembuhkan dan usianya tinggal sebentar lagi. Namun ternyata Tuhan masih memberi Dariel kesempatan untuk hidup hingga kini. Dariel berusaha mengulas senyum. “Saya baik-baik saja.” Namun ternyata suara Dariel serak dan tanpa sadar air matanya menetes. Dengan bingung dia menghapus air matanya lalu menatap jemarinya yang basah. “Nak, jangan memaksakan diri. Kamu baru sembuh dari operasi. Sebaiknya kamu istirahat di UKS saja.” Guru Biologi itu kembali berkata. Dariel tersenyum kecut lalu mengedarkan pandangnya pada seisi kelas. Ternyata semua temannya sedang menatap Dariel dengan pandangan iba. “Baiklah, Bu. Saya permisi keluar kelas.” Dariel berdiri sambil menyampirkan gendongan tas di bahu, lalu keluar dari kelas. Bukan ucapan gurunya yang membuat Dariel memutuskan keluar. Melainkan tatapan iba semua orang. Dia benci tatapan itu. Seolah-olah dirinya lelaki lemah yang akan tumbang sewaktu-waktu. Memangnya kenapa jika Dariel memiliki penyakit parah yang bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu? Toh semua orang akan mati, kan? Orang sehat saja juga bisa pulang menjadi mayat hanya karena kecelakaan lalu lintas. Yah, begitulah cara berpikir Dariel. Sangat sederhana. Dia tidak pernah mempermasalahkan penyakit yang telah menemaninya sedari kecil. Dia tetap ceria dan bermain layaknya anak lelaki pada umumnya. Berbuat kenakalan, balap motor, tawuran dan banyak hal lain yang biasa dilakukan remaja. Namun meski Dariel tergolong remaja nakal, tidak pernah sekalipun Dariel mengkonsumsi obat-obatan terlarang, alkohol dan juga rokok. Dia memang yakin kematian akan menimpa semua orang. Tapi bukan berarti Dariel adalah pemuda bodoh yang akan menjemput kematiannya sendiri dengan mengkonsumsi barang-barang itu. “Dariel, mau ke mana?” Dariel berhenti lalu tersenyum pada satpam. Sekarang memang masih jam pelajaran. Tentu saja keberadaan Dariel di tempat parkir sekolah mengundang tanya. “Saya mau pulang, Pak.” Jelas Dariel dengan ramah. Semua orang di SMA Taruna Jaya sudah tahu mengenai kenakalan seorang Dariel Kenneth. Terutama kebiasaannya bolos sekolah. Namun tidak seorang pun yang berani menghukumnya. Bukan hanya karena putra pemilik yayasan, namun juga karena Dariel merupakan seorang pemuda yang sangat santun dan ramah, baik terhadap guru, pegawai sekolah maupun teman-temannya. Semua orang menyukai Dariel bukan karena takut, melainkan karena pribadi Dariel sendiri. Dariel tahu benar cara bersikap yang pantas sesuai tempatnya berada. Dan tidak pernah sekalipun dia membeda-bedakan atau menilai orang lain berdasarkan harta dan kekuasaan. Seperti saat ini, Pak Satpam langsung memaklumi. Sebelum Dariel operasi saja dia bisa sembunyi-sembunyi mengizinkan pemuda itu keluar sekolah. Apalagi sekarang, dia malah iba jika melarangnya. “Langsung pulang. Jangan keluyuran!” Pak Satpam menasihati lalu pergi agar Dariel bisa lebih leluasa keluar sekolah. Kepribadian seorang Dariel memang unik. Nakal namun tingkah lakunya terhadap orang lain, terutama yang lebih tua, tidak tercela. Nilai rapotnya selalu nyaris sempurna, padahal dia termasuk murid yang sering tidak mengerjakan PR dan tidur saat ulangan. Tidak, nilai sempurna itu didapat Dariel bukan dari hasil menyontek. Bukan pula karena ketidakadilan guru pengajar. Dia selalu mengerjakan ulangan dengan super cepat lalu tidur di sisa waktu hingga bel. Soal PR, Dariel hanya tidak suka dipaksa belajar di luar sekolah. Karena itu adalah waktunya bermain. Namun saat dirinya ditunjuk mengerjakan soal dalam kelas, tidak ada satupun soal yang tak bisa dijawabnya. Karena itu, wajar dia menjadi kesayangan para guru dan disukai teman-temannya. Jangan lupakan pula wajah tampan memikatnya. Semua yang ada dalam diri Dariel, jelas perpaduan yang tidak bisa diabaikan. Kini Dariel telah duduk nyaman di atas punggung motor jenis CBR terbaru yang memiliki warna perpaduan antara hitam dan hijau. Dua warna kesukaan Dariel. Dengan mulus dia melajukan motornya keluar gerbang sekolah yang sudah dibuka sedikit oleh Pak Satpam tadi. Suatu kebiasaan yang dilakukan si Satpam tiap Dariel bolos sekolah. Apa pihak sekolah maupun teman-teman Dariel tidak ada yang tahu mengenai hal ini? Jangan salah. Semua orang di SMA Taruna Jaya sudah tahu mengenai hal ini. Para guru hanya akan menghubungi orang tua Dariel agar mereka bisa memantau keberadaan Dariel. Sementara itu teman-teman Dariel tidak ada yang berani merasa iri. Mereka yang juga suka bolos kebanyakan payah dalam mata pelajaran. Tentu saja kepercayaan guru tidak bisa mereka dapatkan. Tidak seperti Dariel. Walau suka membolos, dia adalah murid yang berprestasi. Drrrtt. Ponselnya yang bergetar membuat Dariel melambatkan laju motor. Tangan kirinya melepas stir lalu meraba saku seragam SMAnya. Tanpa perlu melihat caller id, Dariel sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya. “Hallo, Mom!” Dariel berbicara agak keras untuk mengalahkan suara bising lalu lintas. Dia menyelipkan ponselnya di antara telinga dan helm. “Kamu di mana?” Dariel tidak kaget mendengar pertanyaan ini. Tentu saja Mommynya sudah  dihubungi pihak sekolah. “Di jalan raya, Mom.” Jawab Dariel jujur. “Mau ke mana?” Senyum Dariel merekah. Jika Mommy sudah bertanya padanya dengan singkat dan bernada ketus seperti itu, jelas sekarang beliau tidak setuju dengan apa yang dilakukan Dariel tapi berusaha tidak menunjukkan. “Ke tempat balap motor jalanan. Dariel bosan di sekolah,” ujar Dariel dengan nada merayu. Terdengar helaan napas dari Mommynya. “Boleh, asalkan kamu tidak ikut balapan dan hanya menonton. Kalau tidak mau sebaiknya pulang saja.” “Tapi jangan suruh siapapun membuntuti Dariel, okay?” Dariel mencoba menawar dulu sebelum menyetujui. Lama tidak ada sahutan, tapi lalu terdengar suara lemah Mommy Dariel. “Baiklah, sayang. Tapi janji pulang tanpa terluka.” Lagi-lagi Dariel tersenyum. Memang beginilah berbicara dengan Mommy. Selalu ada banyak syarat. Tapi Dariel sadar itu semua Mommy lakukan karena mengkhawatirkan dirinya. “Tentu saja, Mom.” Ujar Dariel seraya berbelok ke sebuah pom bensin. Dia menepi sejenak karena masih terus mendengarkan ceramah Mommy dan menjawab sesekali. Memang ditelepon Mommynya tidak akan pernah sebentar. Padahal yang ingin ditanyakan hanya mengenai keberadaan dan tujuan Dariel. Setelah Mommy memutus sambungan telepon, Dariel menyimpan ponselnya di saku lalu menyalakan mesin motor kembali. Kemudian dia melajukan motor mendekati antrian pembeli bahan bakar minyak. Deg deg deg. Jemari Dariel terangkat menyentuh dadanya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi mendadak detak jantungnya meningkat tajam dan terasa sangat keras. Deg deg deg. Sungguh Dariel tidak mengerti apa yang terjadi. Dia terus mengikuti antrian meski perasaannya sangat aneh. Detak jantungnya meningkat tanpa alasan. Tapi sama sekali tidak menyakitkan. Oh, jangan katakan bahwa tiba-tiba jantung Dariel yang bermasalah setelah penyakit kanker hatinya berhasil diatasi. Dia tidak mau lagi menyusahkan orang banyak terutama sangat tidak suka melihat air mata keluarganya. “Isi berapa, Dek?” Dariel tersentak karena ternyata dia sudah berada di hadapan petugas pom bensin. “Penuh.” Jawab Dariel singkat seraya membuka penutup tangki bensin. Setelahnya dia berusaha mengabaikan detak jantungnya dan memusatkan perhatian pada angka-angka yang menunjukkan berapa banyak jumlah uang yang harus ia bayarkan. DEG. Kali ini detak jantungnya terasa berbeda. Seperti jika Dariel kaget karena sesuatu. Terasa sedikit menyakitkan. Lalu mendadak dirinya diliputi perasaan cemas, khawatir, dan—takut. Dariel masih berusaha menebak apa yang terjadi pada dirinya ketika mendadak seorang wanita dengan seragam petugas pom berlari mengejar sebuah mobil pribadi. Beruntung mobil yang dikejar masih menunggu untuk menyeberang jalan. Bukan hanya Dariel, semua orang di tempat itu juga memperhatikan si wanita yang langsung mengetuk kaca mobil pengemudi. Begitu kaca diturunkan, tampak si pengemudi memarahi si wanita yang hanya mengangguk-angguk terlihat bersalah. “Dia kenapa?” tanya Dariel penasaran pada petugas pom di sebelahnya. “Pasti membuat masalah lagi.” Dariel sangat kesal mendengar jawaban acuh si petugas di sampingnya yang merupakan lelaki. Tidak sepantasnya dia berkata demikian mengenai rekan kerjanya. Dariel mengabaikan petugas di sampingnya dan kembali memperhatikan si wanita yang kini meremas kedua tangan sambil memperhatikan mobil pribadi yang sudah melaju pergi. Lagi-lagi Dariel dibuat bingung oleh perasaannya yang mendadak sangat gelisah dan ingin menangis. Astaga, sepertinya Dariel harus segera pergi sebelum ia mempermalukan dirinya sendiri dengan menangis di depan umum. “Paskan saja Mas, nominalnya. Tidak perlu sampai penuh.” Dariel berkata dengan suara serak seperti hendak menangis. Petugas itu mengerti dan melakukan sesuai permintaan Dariel. Setelah itu Dariel membayar lalu segera menyalakan mesin motor dan menarik gas. Ciiitttt. “Aaaakkhh!” Suara decitan ban dengan aspal dan teriakan kaget itu mengagetkan semua orang. Terutama Dariel yang baru saja mengerem mendadak serta wanita petugas pom bensin yang kini terduduk di batako, tepat di depan ban sepeda Dariel. Ya, wanita yang nyaris ditabrak Dariel adalah wanita yang sama yang tadi menjadi pusat perhatian. Suara langkah kaki berlari mendekat membuat Dariel tersadar dari kekagetannya. Segera ia turun dari motor lalu berjongkok di depan si wanita. “Mbak baik-baik saja?” tanya Dariel dengan nada khawatir. Wanita dengan mata hitam beriris cokelat itu tidak menjawab. Hanya terpaku pada mata biru gelap milik Dariel. Panik mulai menyergap Dariel. Semoga wanita di hadapannya tidak syok mendadak lalu meninggal beberapa menit lagi. “Aira, kau baik-baik saja?” tanya petugas pom bensin lain yang juga seorang wanita. Wanita yang dipanggil Aira tetap diam dengan tatapan masih tertuju pada Dariel. Tapi Dariel tahu betul bahwa tatapannya kosong. Seolah tidak ada jiwa di dalamnya. “Mbak.” Dariel memanggil. Entah dorongan dari mana, dia sangat ingin menyentuh wanita itu. Tangan Dariel pun bergerak lalu meremas salah satu tangan Aira. Seperti disiram air es, Aira seolah terbangun dari tidur panjang. Dia menatap sekeliling dengan ekspresi bingung dan kaget. Ternyata dirinya sudah dikerumuni banyak orang. Perasaan aneh itu datang lagi merasuki diri Dariel. Mendadak nafas Dariel terengah seiring dengan nafas wanita di hadapannya. Padahal Dariel yakin panik yang melandanya beberapa saat lalu berangsur reda. Terutama setelah melihat kondisi Aira yang nyaris ditabraknya baik-baik saja. Astaga, ada apa dengan dirinya? “Mbak, Anda baik-baik saja kan?” salah seorang ibu-ibu bertanya karena Aira tidak kunjung bersuara. “Apa ada yang luka?” Aira tampak linglung sejenak. “Ah—eh, itu—iya. Saya baik-baik saja,” jawab Aira gelagapan. “Oh, sepertinya hanya kaget,” komentar salah satu rekan wanita Aira. Tampak jelas dia tidak khawatir dan hanya merasa terganggu. “Cih, dasar pembuat ulah.” Dariel sempat mendengar kalimat itu dilontarkan petugas pom bensin yang tadi melayani Dariel. Sungguh Dariel menjadi geram. Tapi dia lebih memilih memusatkan perhatian pada perasaannya yang aneh dan reaksi wanita di hadapannya. Entah Dariel yang berlebihan atau tidak, tapi dia merasa ada kaitan antara perasaan anehnya dan reaksi si wanita. “Aira, sebaiknya kau istirahat saja. Wajahmu terlihat sangat pucat,” ujar petugas pom bensin yang tadi bertanya pada Aira, sementara petugas yang lain berusaha menjelaskan pada orang-orang bahwa tidak ada sesuatu yang serius pada Aira. Perlahan semua orang pergi meninggalkan Aira bersama rekan wanitanya dan juga Dariel.   “Baiklah.” Aira menjawab pertanyaan rekannya. Dia hendak berdiri tapi lalu menyadari bahwa tangannya masih berada dalam genggaman pemuda dengan seragam SMA di hadapannya. Sejenak tadi Aira sempat melupakan keberadaan pemuda yang nyaris menabraknya itu. Pandangan mereka kembali bertemu. “Maaf, aku harus pergi.” Aira menegur pemuda itu. Dariel tersenyum. “Seharusnya saya yang mengucapkan maaf, bukan Anda. Jadi tolong maafkan kecerobohan saya tadi.” “Iya, aku juga minta maaf, Dek. Seharusnya tadi aku tidak melamun.” Aira mencoba melepas tangannya namun gagal. “Tolong lepaskan tanganku. Aku harus pergi. Kita menghalangi jalan.” Perlahan Dariel melepas tangan Aira. Perasaan kehilangan merasuk dalam jiwanya. Jantungnya kembali berdebar kencang, seolah mengharapkan Dariel untuk terus menyentuh Aira. Aneh memang. Tapi dia merasa nyaman dan tenang saat jemarinya dan tangan Aira saling bertaut. Kemudian Aira berdiri dibantu rekan wanitanya. Sementara itu Dariel juga turut berdiri namun tatapannya tidak lepas dari punggung wanita itu yang kini sudah berjalan menjauh. Setelah beberapa saat, Dariel kembali menunggangi motornya. Ingatan mengenai kejadian aneh di pom bensin tadi terus terngiang di benak Dariel saat dirinya telah melaju menembus lalu lintas. Dariel sungguh penasaran ada apa sebenarnya. Kenapa kejadian aneh tadi terjadi padahal bukan sekali atau dua kali Dariel membeli bahan bakar di pom itu. Tentu saja, Dariel tidak akan diam mengubur rasa penasarannya. Dia akan mencari tahu. Karena itu Dariel memutuskan esok hari akan kembali ke pom bensin tadi. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD