PART. 3 MAS

869 Words
Sampai di rumah orang tua Ardilla. Arini menyambut mereka di pintu, dengan senyum terkembang di bibir. Ardilla sedikit bingung, karena Bundanya terlihat sangat akrab dengan David, seakan mereka sudah sering bertemu. "Duduk dulu, Dave." Arini mempersilahkan David untuk duduk. "Ooh, terima kasih, Bun. Saya buru-buru, masih ada urusan." "Padahal Bunda sudah membuatkan kue, waktu mendengar dari Ayah, kalau kamu yang mengantar Dilla pulang." "Ooh ... maaf, Bunda. Tapi saya ...." "Biarkan saja dia pulan, Bun, lumayan nggak jadi mengurangi persediaan gula, dan teh. Biar kuenya nanti buat Dilla saja," celetuk Ardilla. Ardilla sebal dengan David yang sok akrab dengan Bundanya. Ikut memanggil Bunda pula. "Dilla tidak boleh begitu, sama Mas Davidnya," tegur Arini. "Apa tadi, Bun? Mas ... Mas! Nggak cocok dipanggil mas, Bunda.... " Ardilla tersenyum sinis. "Hhhh ... Dilla. Maafkan Dilla ya, Dave." "Tidak apa, Bunda. Eehm, saya permisi dulu, Bun," pamit David. "Ya ... ya ... salam, buat orang tuamu ya, Dave." "Ooh iya Bun, nanti saya sampaikan." Arini mengantar David sampai ke dekat mobilnya, sementara Ardilla sudah masuk ke dapur mencari kue buatan Bundanya. "Dilla ... belajar sopan sedikit dong sama Mas David, jangan seperti tadi," tegur Arini. "Dia itu menyebelkan, Bun, mana sok kenal lagi, pakai ikut memanggil Ayah, dan Bunda segala," jawab Ardilla. "Ya, memang begitu seharusnya." "Maksud Bunda?" "Nanti kamu juga tahu," jawab Arini sambil melangkah meninggalkan Ardilla. Tapi Ardilla yang penasaran menguntit Bundanya di belakang. "Kok jawaban Bunda sama dengan jawaban Si Mister itu?" "Mister siapa? Jawaban apa?" "Itu, Mister David, dia bilang apapun yang jadi urusan Dilla, akan jadi urusannya. Dilla tanya apa maksudnya, jawabannya sama dengan Bunda tadi. Nanti juga tahu, apa maksudnya, Bun?" Arini tersenyum. "Sabaar ya ... nanti Dilla juga tahu," jawab Arini tanpa memberi jawaban atas pertanyaan Ardilla. "Bun?" "Stop! Belum waktunya Dilla tahu." Arini menggoyangkan jarinya di depan wajah Ardilla. "Aah Bunda jawab dong," mohon Ardilla. Arini melangkah menaiki tangga diikuti Ardilla. "Bunda tidak bisa dirayu ya." "Yaahhh ... Bundaaa.... " Ardilla terduduk di puncak tangga, dengan wajah kecewa, dan hati penasaran. ***** Sudah tiga minggu sejak Ardilla bertemu David. Pagi ini, seperti biasa Ardilla berlari menuruni anak tangga, untuk menuju ruang makan di lantai bawah. Ia ingin sarapan sebelum pergi kuliah. Di ruang makan, ia melihat David duduk bersama kedua orang tuanya, menghadapi hidangan untuk sarapan, yang sudah tersedia di atas meja. "Eeh, ada Mister. Numpang sarapan di sini, belum gajian, atau belum dapat kiriman dari orang tua?" tanya Ardilla bernada menyindir Mata Arini melotot ke arah Dilla. "Pssstt ... Dilla tidak boleh begitu, Bunda yang mengundang David sarapan di sini, ayo minta maaf," perintah Arini dengan suara tegas. Wajah Dilla cemberut, tapi dituruti juga perintah Bundanya. "Maaf ya, Mister," ditatapnya wajah David, tapi David diam saja, wajah David terlihat tanpa ekspresi. Ayah, dan Bunda Dilla, terlibat pembicaraan dengan David sepanjang mereka sarapan. Ardilla mencibirkan bibirnya saat ingat kata-kata David, kalau dia tidak suka makan sambil bicara, tapi di rumahnya, David tidak bisa menolak untuk bicara saat makan. Setelah sarapan selesai. "Ayo Ayah antar Dilla ke kampus," pinta Dilla pada Ayahnya. Abi memang tidak mengijinkan Ardilla yang swring ceroboh membawa mobil sendiri. Ardilla pernah menabrak orang sampai terluka, dan orang tersebut mendapat dua puluh jahitan di kaki, untung tidak sampai berurusan dengan polisi. "Hari ini, Dilla kuliahnya diantar, Mas David ya," kata Abi, membuat Ardilla mengernyitkan keningnya. "Ayah sama Bunda mau liburan lima hari ke Bali." Arini menimpali kata-kata Abi. "Apa! Kok mendadak. Dilla sendirian dong di rumah. Terus apa Dilla harus naik taksi, pulang, dan pergi kuliah. Pak Didi supir Ayah kemaren minta cuti pulang kampung seminggu," cerocos Ardilla dengan mimik kesal. "Ada bibik di rumah, soal ke kampus, Mas David yang akan mengantar jemput kamu, atau Dilla ingin ditemani Dave juga di rumah?" tanya Arini menggoda. "Iiih ... enggak, Bun! Bunda ini seperti anaknya nggak laku saja, disodor-sodorkan begitu." Protes Dilla tambah kesal. "Sudaah, tidak usah mengomel, cepat berangkat sana. Tolong ya, Dave, selama Ayah, dan Bunda tifak ada, jaga Dilla. Dia ini sedikit ceroboh orangnya. Ayah yakin, dan percaya kamu bisa menjaga dia. Dilla jangan menyusahkan Mas David ya." Abi menatap putrinya. Dilla ingin membuka mulutnya untuk protes, tapi begitu melihat delikan mata Bundanya, ia mengurungkan niatnya. "Saya permisi dulu, Ayah, Bunda. Semoga liburannya menyenangkan," pamit David seraya menyalami Arini, dan Abi. Diikuti oleh Dilla. Abi, dan Arini mengantarkan keduanya sampai ke teras. "Ingat, jangan macam-macam, jangan menyusahja David ya," pesan Arini. "Kenapa sih, Dilla nggak diajak lunuran, Bun. Bosan sendirian di rumah." "Nanti kamu bisa pergi berduaan sama David, kalau sudah tiba waktunya," jawab Arini. "Apa sih, Bun.... " "Sudah pergi kuliah sana, nanti telat." Arini mendorong bahu putrinya lembut. "Iya, Assalamuallaikum." "Waalaikum salam." Mobil David menjauh dari halaman rumah. Abi meraih bahu Arini. "Semoga keputusan kita menerima lamaran David tiga tahun lalu, itu keputusan yang tepat ya, Sayang," kata Abi. "Heemh ... aku yakin, David pasti bisa jadi suami yang baik untuk Dilla," jawab Arini. "Aamiin." "Masih ada waktu sebelum ke bandara, iyakam?" tanya Arini. "Iya, kenapa? Hmmm, mau apa?" goda Abi. "Mau ... ehmm, mau apa ya?" Arini mendongakan wajahnya manja, lalu mengerjapkan mata, masih sama seperti dulu, saat ia menginginkan sesuatu. Abi tersenyum. "Mau itu ... ayoklah!" Abi membawa Arini menaiki anak tangga, menuju kamar mereka. Tangan Abi melingkari bahu Arini. Tangan Arini melingkari pinggang Abi. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD