Sadar

1078 Words
Lamat-lamat kudengar putriku Raisa memanggil sambil menepuk kecil pipiku. Aku menyadari bahwa diri ini sekarang terbaring lemah di pembaringan. Ketika akan berusaha bangkit kepalaku berdenyut semakin kuat. Kucoba mengingat peristiwa yang tadi terjadi hingga aku bisa terbaring di tempat ini. Ah, iya, suamiku membawa pengantinnya ke rumah kami. Kenyataan itu, membuat segenap tubuhku seolah nyaris tak bertulang, air mataku menetes lagi, aku kecewa, perasaan terluka dan rasa cintaku terkoyakkan. Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku? Apa dosaku? Aku yang selalu menjaga diri, anak, dan kehormatannya, setia menunggu di rumah, patuh pada perintah dan larangannya, apa balasannya untukku. Entah apa hutang budi pada ustadznya, hingga suamiku mau tak mau harus menikahi anak gadis Sang Guru? Apakah begitu besar nilai sebuah janji. Ah benar, janji itu adalah hutang dan suamiku mungkin merasa malu untuk ingkar, harga dirinya seolah dicoreng jika ia sampai mengecewakan sang guru. Terlebih lagi, suamiku juga pria yang mapan dan sehat. "Ya Allah, sabarkanlah aku menghadapi ujian ini," bisikku sendiri sambil memeluk Raisa. Tiba-tiba pintu diketuk lalu terbuka perlahan, Mas Ikbal muncul membawakan segelas air dari balik pintu. Tak sanggup lagi kutatap wajahnya, wajah yang dulu selalu aku rindukan, tubuhnya yang selalu kupeluk untuk melabuhkan rasa gundah, tatap matanya yang menjadi penentram dalam jiwaku. Kini musnah semuanya, rasa cinta dan segalanya. "Kamu sudah sadar, Bunda?" tanya suamiku berhati-hati. Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwaku, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali kudengar suara lembutnya. Tak kujawab dia sedikitpun, menoleh padanya pun tidak. "Ini airnya," katanya sambil meletakkan gelas itu di meja. Kemudian ia mengambil tempat duduk di sisi pembaringanku. "Bunda, aku menikahinya demi memenuhi janjiku, aku sudah berjanji sepuluh tahun yang lalu, jika aku sudah mapan aku akan menjemput putrinya." "Tapi apakah Pak ustadz tahu jika kamu sudah beristri?" Suamiku mengangguk pelan dan kutanggapi anggukannya dengan tawa getir. "Bagaimana mungkin seorang ustadz tega berbuat seperti itu, menghancurkan hati wanita lain, demi membahagiakan putrinya," kataku. "Aku yang memaksa dan meyakinkannya," kata suamiku. "Berarti kamu yang centil dan tidak setia, Mas." Kalimatku sendiri terasa pahit di tenggorokan. "Kondisi Abinya, sudah demikian lemah, sakit jantung dan ginjal, dia ingin menikahkan putrinya sebelum ia menutup mata, aku mengajukan diri menebus janjiku dan meyakinkannya." Ia menerangkan itu padaku dengan lugas dan tanpa nada ragu-ragu. "Tidakkah kamu memikirkan perasaanku? aku terluka Mas ... Aku sakit, lagipula kemapanan yang kau sebutkan itu, bukankah karena telah menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku, bukan dari awal semua kesuksesan ini, lihat apa yag kamu lakukan setelah kamu, sukses," ratapku lalu kembali tergugu pilu. Saat ini perasaanku hampa pikiranku kosong dan satu satunya yang tersisa hanya rasa sesak dan putus asa. Aku kehilangan impian dan semangat hidupku, kehilangan cinta dan harapan seolah membunuhku perlahan. Jujur aku ingin mati rasanya, detik ini juga. "Aku gak sanggup dimadu, Mas, gak sanggup," ucapku sembari menjatuhkan diri di lututnya kupeluk kuat-kuat kakinya, "Ceraikan saja aku,. mas, aku gak sanggup dimadu, gak sanggup Mas, serumah dengan wanita itu ... ti-tidak bisa Mas ...." Aku meratap pilu menangis dan memohon agar dia segera menjauhkaku darinya. "Aku mau pulang ke rumah Bapakku, Mas, aku mau pulang, aku gak bisa di sini." "Kumohon Jannah, aku mohon, Sayang... Semuanya akan baik-baik saja, aku tak akan menyentuhnya jika kamu tidak ridho, Jannah." "Kamu yang akan baik-baik saja, tapi tidak denganku, gak sanggup aku melihat kedekatanmu, Mas, gak sanggup." Tenggorokanku terasa kering, bibirku juga seperti itu, sejak kedatangan wanita itu, tak sesuap nasi atau seteguk air pun yang mampu kucerna. "Astagfirullah, Ya Allah." Berkali-kali, hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan sambil menekan d**a, meresapi sakitnya dimadu tanpa alasan. "Maaf, Sayang. Aku tak akan mendekati Soraya jika kamu tidak ridho," katanya sambil menyentuh pucuk kepalaku. "Tidak ridhonya diriku atas kebahagiaan Mas, adalah dosa besar." Air mataku kian deras hingga kurasakan mata ini pedih karena terlalu banyak mngucurkan buliran kepedihan. "Tapi bagiku kamu tetap yang utama," jawabnya. "Gak mungkin, seorang pria yang tidak adil dan cenderung pada satu istri di hari kiamat nanti akan bertemu Allah dalam keadaan tubuh yang miring sebelah (HR. Abu Dawud) apakah Mas mau itu terjadi?" "Eng-enggak, Bunda. Maafin Ayah ya." Ia merangkulku namun kutepis segera. "Aku gak bisa, Mas. Gak bisa sekarang, aku masih shock, aku belum menerima kenyataan ini, Mas." Tok ... Tok .... Pintu terketuk dan wanita itu timbul dari balik daun pintu. Mengenakan gamis berwarna putih dan jilbab merah muda, wajahnya terlihat segar dan anggun sekali, ketika manik matanya bersitatap dengan suamiku ada rona halus yang tergurat di pipinya, ia menunduk dengan penuh rasa cinta dan hormat pada imamku, suamiku, jujur hatiku perih, aku tak sanggup, aku membencinya. Walau ia tak pernah menzhalimiku, aku membenci keberadaannya. "Ada apa, Soraya," tanya suamiku. "Makan malam sudah siap, Mas." Nada suaranya begitu lembut. "Baik, kamu makan saja duluan, aku aja menemani Bunda Raisa," jawab suamiku. "Tidak apa, saya akan menunggu," jawabnya juga tak menyerah. "Tidak usah menunggu, makan saja lebih dulu," kata suamiku dan dia wanita itu pun berlalu. "Aku gak bisa, Mas. Aku gak bisa," desisku lagi, tangisku kembali pecah. "Bunda ... Raisa lapar," kata putriku sambil menarik lenganku. "Raisa makan sama ayah, ya," bujukku. "Bunda kenapa nangis terus?" "Gak apa sayang, makan sama ayah, ya." Suamiku meraih Raisa lalu menggendongnya mengajaknya makan malam, sedangkan aku, aku sendiri tertinggal sedih di dalam rumah sendiri, aku merasa semua kebahagiaanku seketika menjadi kelam, hariku suram dan hidupku akan menderita. Sungguh tak sanggup kuhadapi semua ini. Kuambil air wudhu di kamar mandi lalu membentangkan sejadah, memohon, mengadu,menangis sejadi-jadinya. Aku belum menerima semua kenyataan ini, aku menginterupsi keputusan Tuhan untuk menghadirkan wanita lain di rumah ini. Sejatinya cinta suci tak memiliki tempat bagi orang ketiga, namun semuanya terjadi tanpa kusadari, aku begitu bodoh dan polos tidak menyadari muslihat suamiku yang diam-diam menikah lagi. "Aku tidak mau Tuhan, aku tidak siap, aku tidak sanggup,Ya Allah, meski Engkau bersabda bahwa sabar itu indah, sungguh aku tak sanggup menjalani keindahan menyakitkan ini." "Mbak ini, makanannya," katanya mengangsurkan nampan berisi nasi putih, capcay dan ayam goreng ke hadapanku, wanita lemah yang masih bersimpuh di sajadah. "Jangan berikan aku makanan, untuk apa? Kamu sudah menghancurkan segalanya," jawabku lirih. "Aku minta, Maaf Mbak," ucapnya pelan. "Kamu lihat air mataku, degup jantungku yang hancur oleh perbuatanmu, kamu jahat, Soraya." "Maaf, Mbak." Airmatanya juga meleleh lalu ia bangkit meninggalkanku. "Sampai kapan pun aku tidak merelakan apa yang kamu rebut dariku, Soraya, kamu akan dapatkan karmanya." "Maaf mbak ...." "Dengan merebut suamiku, kau menabuh genderang perang padaku," jawabku dengan hati membeku. Ia membalikkan badan sekilas lalu meninggalkanku sendiri lagi. Jangan lupa vote ya.❤️❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD