Buana

1223 Words
Intan menatap pemandangan dari luar jendela kamar barunya, ia baru saja menyelesaikan makan malamnya yang dibeli oleh Dikta tadi. Bibirnya mengukir senyum melihat pemandangan hamparan tanah luas ditumbuhi ilalang yang diterangi oleh cahaya lampu seadanya. Berbeda dengan malam-malam Jakarta, tepatnya bernaung saat ini memiliki langit cerah, seperti masih senja padahal jam sudah menunjuk angka delapan malam. Besok rencananya Dikta dan dirinya akan datang langsung ke RSUD tempat kerja baru Intan nantinya, mungkin berangkat bersama Buana. Pasalnya setelah Dikta mengadu pada Om Prana perihal kendaraan, adik dari ayah mereka itu memperkirakan datangnya kendaraan itu akan cukup lama. Terkendala pengirimannya mungkin. Oleh sebab itu juga Buana dengan dermawan meminjamkan motor miliknya untuk beberapa hari ke depan, katanya sih untuk mempermudah kedua kakak beradik itu. Menilik cukup sulit mencari kendaraan umum di sekitar sini, ada ojek tapi bertarif sangat mahal. Intan kemudian membanting tubuhnya di atas kasur, menghela nafas berat bersamaan dengan tertutupnya kelopak mata indah itu. Sungguh sangat jauh ia melarikan diri, meninggalkan sosok yang bahkan seminggu lalu masih mendekap tubuhnya sebelum terlelap tidur. Intan tak tahu bagaimana proses perceraiannya berjalan, semua akan diurus oleh Om Prana seperti janjinya tempo hari. Intan sendiri memperkirakan perceraian itu akan berjalan lancar, karena sudah jelas dirinya tak bisa mengajukan banding. "Kak?" suara Dikta menyeruak, menginterupsi kelopak mata Intan untuk terbuka lagi. "Ada apa, Dek?" tanya Intan sambil mengangkat kepalanya. "Dicariin Bang Buana, Kak," ucap Dikta masih bergeming di depan pintu, sebelah tangannya memegang ganggang pintu. "Mau ngapain?" Intan bangun, sambil melemparkan tatapan bertanya pada sang adik. "Gak tau, temuin aja dulu, Kak!" Intan mengangguk, beringsut turun dari kasur sembari merapikan bajunya. Melangkah keluar kamar menuju ruang tamu untuk menemui pria yang baru ia kenal tadi sore. "Ada apa, Bang?" tanya Intan sambil menyematkan panggilan seperti Dikta, bingung juga ia harus memanggil pria itu bagaimana. Setahu Intan Buana sudah berumur sekitar tiga puluh tahun, enam tahun lebih tua dari Intan. Jadi sangat tidak sopan jika Intan memanggil pria itu hanya dengan nama tanpa embel-embel. "Gini, Intan, sa mau kasih data-data keuangan rumah sakit. Bisa, Intan, pelajari untuk nanti," kata Buana sambil menyodorkan beberapa kertas kepada Intan di hadapannya. Intan mengangguk, menerima file-file yang Buana. berikan. "Sebenarnya sa mau kasih besok saja, tapi besok sa ada kerja sampai malam. Jadi sekarang saja tak apa kan?" "Nggak apa-apa kok, Bang, kan aku juga mulai kerja lusa," balas Intan tersenyum maklum. "Besok Intan dan Dikta bisa ke rumah sakit, nanti sa suruh salah satu suster mengantar." "Okay. Ini kalo boleh tahu sebelumnya yang pegang posisi aku siapa yang, Bang?" tanya Intan sebab tampaknya ia juga harus belajar langsung dari pemegang keuangan sebelumnya. "Ada itu Bu Susan, sudah pensiun enam bulan lalu." "Terus selama enam bulan siapa yang nanganin?" "Sa, sudah cari yang bisa tapi belum juga bertemu. Beruntung Pak Prana menawarkan Intan untuk menempati posisi itu, meringankan tanggung jawab sa." Wow fakta yang membuat Intan sejenak tercenung. Hey ... Bukannya Buana menduduki posisi tertinggi di rumah sakit? Bahkan beberapa kali Dikta mengatakan Buana juga ikut serta menangani pasien jika ada dokter yang sedang cuti. Lantas sekarang Buana sendiri mengatakan bahwa dirinya juga yang menyusun laporan keuangannya. "Kok bisa?" lirihan itu saja yang bisa Intan ucapkan. "Sa dibantu adik dan mama," jawab Buana tersenyum kalem. "Ohh .... " "Ya sudah, sa mau pamit pulang. Besok harus berangkat pagi," pamit Buana sambil beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu diikuti oleh Intan yang berjalan dibelakangnya. "Oh ya!" Buana berbalik hingga tubuhnya hampir menabrak Intan, beruntung dengan cekatan Intan melangkah mundur hingga hanya Buana yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh. "Maaf!" seru Intan langsung reflek mengulurkan tangannya untuk membantu Buana. "Tidak apa, bukan salahmu." Buana berdiri dengan menerima uluran tangan Intan, tersenyum malu. "Sakit?" Pertanyaan konyol yang keluar dari bibirnya membuat Intan mengutuk dirinya sendiri, bagaimana mungkin jatuh tapi tidak sakit? Ada ada saja. "Tak apa. Sa hanya mau bilang besok Intan bisa berangkat bekerja dengan sa kalau Dikta masih ingin melihat-lihat sekitaran?" kata Buana melanjutkan perkataannya yang terputus tadi. "Hem ... Boleh, berangkat jam berapa?" balas Intan menatap manik mata Buana. Entah malu atau kenapa Buana refleks mengalihkan pandanganya, berusaha menghindari tatapan mata Intan. "Biasanya jam tujuh, jaraknya cukup jauh." "Okey besok aku usahain bangun pagi," ucap Intan ikut mengalihkan pandangannya. "Memang biasanya Intan bangun jam berapa?" "Pagi kok, Bang, biasanya ... Tapi ini kan udah malem tapi aku belum tidur. Takutnya besok kesiangan." "Terlalu siang juga tidak apa, sa bisa menunggu." √∆√∆√∆ Pukul tujuh lebih dua puluh menit Intan baru berjalan cepat keluar dari kamarnya, dalam kepalanya berputar perihal Buana yang pasti sudah menungguinya sejak tadi. Subuh tadi hampir saja Intan tak bangun oleh alarm, beruntung Dikta yang turut terganggu oleh alarm yang kakaknya pasang terbangun dan masuk ke dalam kamar Intan. "Kak, gak sarapan dulu?" tanya Dikta yang berdiri di sebelah meja makan, tengah sibuk mengolesi selai pada roti. "Nanti aja, udah kesiangan gue," balas Intan tanpa menghentikan langkahnya. "Gue nyusul ya nanti, sharelock jangan lupa!" "Iya!!" Dikta memang berencana ikut serta melihat rumah sakit tempat Intan bekerja mulai hari ini, tapi karena Dikta tidak memiliki kepentingan apapun selain melihat-lihat ia bisa datang kapan saja. Berbeda dengan Intan yang harus mulai beradaptasi untuk bekerja. Meskipun Intan bisa dibilang memiliki hak atas rumah sakit tersebut, karena almarhum ayahnya memiliki saham disana, Intan tak mau seenaknya kerja. Perempuan itu telah menanamkan sikap profesional kerja, tanpa harus melihat sisi lainnya lagi. Langkah Intan sampai disamping mobil Buana yang sudah siap melaju. Entah lelaki itu dimana, mata Intan hanya melihat mobil berwarna hitam dengan mesin menyala tanpa ada sosok Buana di dekatnya. Mungkin Buana sedang sarapan di dalam rumah? "Hey Intan!" seru sebuah suara dari balik mobil. Intan menlongo melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Pasti Bukan Buana karena suaranya terkesan cempreng, berbeda sekali dengan suara Buana. Mata Intan mendapati seorang anak kecil lelaki dan perempuan tengah berdiri menatap kearahnya. Dahi Intan berkerut heran, siapa dua anak ini? "Abang Buana sedang ke warung, kau tunggu saja bersama kami disini." kata anak laki-laki itu. Berbeda dengan anak lelaki itu, sosok gadis kecil disampingnya tampak malu hingga memalingkan wajahnya saat Intan berganti meneliti dua bocah itu. "Intan!" Kali ini suara Buana. "Maaf lama menunggu e," lanjut lelaki itu berjalan mendekati tempat Intan dan dua bocah asing itu. Buana lantas menyerahkan dua buah coklat yang tampaknya baru ia beli kepada dua bocah itu, Intan hanya bisa diam sambil memperhatikan. "Sudah, sekarang kalian berangkat sekolah. Jangan bolos lagi e?" "Siap, Abang!" Keduanya kemudian berlari meninggalkan Intan dan Buana, tertawa gembira sambil mengacungkan coklat yang Buana berikan. "Ayo kita berangkat," ajak Buana kepada Intan yang masih fokus melihat dua bocah tadi. "Ayo," setuju Intan menganggukan kepala. Buana masuk ke dalam mobil, disusul oleh Intan yang sebelumnya sudah melangkah terlebih dahulu memutari mobil untuk masuk dan duduk disebelah kemudi. "Tadi itu siapa?" tanya Intan memulai percakapan setelah mobil keluar dari area rumah Buana. "Mereka? Tidak berkenalan kah?" Bukannya menjawab langsung Buana malah bertanya balik. "Enggak, orang tadi kamu dateng duluan," balas Intan. "Mereka anaknya Mama Olin. Pemilik tanah di belakang rumah, tapi sekarang sudah tidak." "Kenapa tidak?" "Karena sudah ada yang membeli." "Siapa yang beli?" "Sa, rumah yang kau tempati itu sebagian dari tanah Mama Olin." Intan mengangguk-angguk paham, sedikit jengkel menanggapi Buana yang harus ditanya satu persatu batu bisa jelas. Berbeda dengan Arka yang .... Pikiran Intan terhenti kala nama itu mulai tergiang. Tampaknya sejauh apapun Intan berlari, masih saja Arka menjadi pusatnya. √∆√∆√∆

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD