Tuan Muda dan Upik Abu 09 - Hari Sial Untuk Alfian

1949 Words
"Dasar cewek breng-sek ...!" Alfian langsung mendekati Aya dan menatap tajam. Tapi sedikitpun Aya tidak gentar. Ia tidak takut dan malah balas menatap Alfian. "Siapa lo, ha? apa pekerjaan orang tua lo? berani-beraninya lo ngelempar telur ke gue ...!? bentak Alfian lagi. Aya termangu. Bukan karena merasa takut, tetapi karena merasa heran. Bagaimana bisa dia masih bertanya kenapa? dan bagaimana bisa dia malah mempertanyakan pekerjaan orang tuanya. Sakit jiwa. Aya merasa bahwa pemuda yang berbicara padanya saat ini menderita gangguan mental. "Kamu memang pantas mendapatkannya. Masih pake tanya kenapa ... apa kamu nggak diajarin sopan santun sama orang tua kamu, ha?" Aya balas membentak. Alfian melotot. Lelaki itu berkacak pinggang dan bersiap untuk memaki, tapi secepat itu juga Rahma langsung melerai keduanya. "SUDAH CUKUP! Alfian ... sebaiknya sekarang kamu pergi dari sini!" usirnya. Alfian balas menatap Rahma. "Lihat aja ntar ... anda akan menerima balasan atas apa yang terjadi hari ini!" Rahma hanya diam dan tenang. Melawan bocah piyik dan labil seperti itu jelas tidak akan ada gunanya. Alfian kembali menyeka sisa-sisa lendir telur yang melekat di bajunya. Dia merasa sangat jijik dan juga kesal. "Dan buat lo ...!" Alfian beralih menunjuk Aya. "Gue bakalan tandain muka lo dan mencari tahu siapa lo! LO AKAN NGEBAYAR SEMUA INI!" Aya malah mengernyit, lalu menggeleng pelan. "Bener-bener sakit jiwa. Orang-orang seperti kamu biasanya adalah anak-anak yang kurang perhatian dari orang tua!" Deg. Alfian tersentak mendengar penghinaan itu. "K-KAMU ...!!!" Alfian menatap geram. Kali ini ia benar-benar sudah terbakar emosi. Seumur hidupnya, tak ada satu orang pun yang pernah berkata seperti itu kepadanya. Alfian merasa sangat kesal mendengar cacian Aya karena ... Memang kenyataannya seperti itu. "Sudah cukup!" lerai Rahma lagi. Sosok guru muda itu pun cepat-cepat menarik Aya pergi dari sana. "Sudah Aya! Ayo kita pergi dari sini!" Alfian melotot. "HEY! mau ke mana kalian, ha!" hardiknya. Aya merasa jengkel dengan hardikan itu dan hendak berbalik, namun Rahma menariknya lebih kuat lagi. "Sudah Aya ... kita tidak perlu meladeni orang seperti dia." Sementara itu Alfian masih berdiri di tempatnya menatap punggung dua orang perempuan yang sudah berhasil membuat emosinya terbakar. Alfian menatap tajam, lalu berbisik pelan. "Aya ...?" . . . Aya melotot tak percaya. "J-jadi dia itu salah satu murid Ibu?" Rahma memijit keningnya sebentar, lalu mengangguk lemah. "Astaga. Bagaimana bisa ada anak murid yang sikapnya seperti itu? Apa semua anak-anak di SMA sana berkelakuan sama?" "Dia yang paling luar biasa. Karena dia adalah anak dari pemilik yayasan," jawab Rahma. Aya tercengang. Ia menatap Rahma lekat-lekat. Sosok itu adalah panutannya selama ini. Aya bahkan bercita-cita ingin menjadi seperti guru favoritnya itu. Sosok guru yang loyal, cerdas, cantik dan juga sangat luwes dalam situasi apapun. Aya masih tidak percaya. Rahma adalah sosok guru kesayangan di sekolahnya. Semua menghormatinya. Semua murid ingin dekatnya. Kelas yang mendapatkan bu Rahma sebagai wali kelas akan sangat merasa bangga. Tapi kini... Aya melihat Rahma mendapatkan hinaan seperti itu. Sesak. Aya ikut merasa sedih. Saat ini Aya dan Rahma berdiri di persimpangan jalan. Rahma tidak lagi banyak berbicara. Guratan wajahnya terlihat lelah. "Sudahlah ... kamu tidak perlu memikirkannya. Ibu pulang dulu, ya! Rajin-rajin belajarnya ... karena sebentar lagi kamu akan naik ke kelas dua belas. O iya, satu lagi ... jangan lupa hubungi Ibu kalau kamu membutuhkan sesuatu." Aya menatap Rahma perlahan. "I-Ibu nggak apa-apa, kan?" Pertanyaan itu membuat helaan napas Rahma berubah sesak. Kedua bola matanya juga terlihat sedikit berkaca-kaca. Rahma tampak kesulitan menyembunyikan perasaannya. Siapa juga yang tidak bersedih mendapatkan perlakuan seperti itu. Terlebih dari seorang murid. Ancaman dan tatapan penuh kebencian itu terbayang-bayang di pelupuk mata. "Ibu baik-baik saja, kok," jawabnya kemudian. Aya masih menatap khawatir. Bersamaan dengan itu sebuah angkot melintas dan Rahma langsung melambaikan tangannya. "Ibu pulang dulu, ya ... jangan lupa hubungi ibu nanti." pesan Rahma seraya tersenyum. Aya mengangguk tanda mengerti. "Baik, Bu!" Rahma pun segera masuk ke dalam angkot. Aya mengembuskan napas panjang dengan tatapan mata yang berubah sayu. "Bu Rahma ...." . . . Malam ini Aya tak berhenti mengomel menceritakan pada sang ayah tentang peristiwa yang terjadi sore tadi. Pasangan ayah dan anak itu sedang menikmati moment makan malam mereka. Hari ini menu makan malam mereka hanya telur dadar super pedas dengan sayur kangkung. Namun keduanya tetap makan dengan lahap. Aya berapi-api menceritakan bagaimana ada seorang murid tengil yang berani melawan pada gurunya seperti itu. "Pokoknya nyebelin banget, Pak! siswa paling bandel di sekolah aku aja nggak ada yang seperti itu," oceh Aya lagi. Sang bapak malah tersenyum melihat Aya yang tak henti meracau. "Sepertinya kamu sangat kesal, toh?" Aya meringis. "Lah iyoo ... Astaga. Aku masih sebel kalo inget lagi sama dia." "Yawes ... jangan dipikirin lagi. Bu Rahma pasti bisa mengatasinya," tukas sang bapak. Suasana berubah hening beberapa saat. Sampai kemudian Sajid teringat dengan obrolannya bersama Handoko tadi pagi. "Aya!" "Iya, Pak? kenapa? mau tambah nasinya?" "Ndak. Bapak udah kenyang." "Terus?" "Bagaimana sekolah kamu?" Aya tersenyum. "Alhamdulillah semua baik-baik saja, Pak. Aya lagi persiapan mau ujian kenaikan kelas." "Bapak kepikiran tentang kuliah kamu." "Aya kan, sudah bilang ... Bapak ndak perlu khawatir soal itu." "Tapi bagaimana kalau kamu ndak dapat beasiswanya? katanya sekarang sulit buat dapat beasiswa dari pemerintah?" sang bapak menatap cemas. Hening. Gerakan tangan Aya yang sedang menyuap makanan juga terhenti. Pasalnya sekarang memang cukup sulit untuk mendapatkan beasiswa dari sekolah. Terakhir kali Aya juga sudah berdiskusi tentang hal itu dengan wakil kesiswaan. Tujuan Aya adalah untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh dan itu jelas sangat sulit. "Gimana?" tanya Sajid lagi. Aya tersadar lagi lamunannya. "Yo ndak apa-apa, Pak. Kalau nanti nggak dapet beasiswa, itu berarti belum rejeki. Aku bisa nganggur dulu, cari kerja." Sunyi. Sajid memerhatikan raut wajah putri tunggalnya itu lekat-lekat. Saat ini Aya memang tersenyum, tapi Sajid tahu bahwa Aya sedang memaksakan diri agar dia tidak membebaninya. Agar dia tidak khawatir. "Bagaimana kalau kamu pindah sekolah?" Eh. Aya kaget dan langsung menatap bingung. "Pindah sekolah? maksud Bapak?" Sajid mengembuskan napas sejenak. "Jadi tadi itu majikan bapak sempat nawarin untuk kamu pindah ke SMA milik yayasan dia. Katanya di sana banyak beasiswa untuk murid berprestasi. Kalau kamu mau pindah ... kita juga ndak perlu bayar apa-apa. Gratis." Aya tertegun. Lama. Aya masih terlihat bingung. "Jadi maksudnya ... kalau aku pindah sekolah ke sana, akan ada peluang besar untuk mendapatkan beasiswa? begitu, Pak?" Sang bapak mengangguk cepat. "Iya. Karena yang ngasih beasiswa yayasan langsung." "Nama SMA-nya apa, Pak?" Sajid menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau itu Bapak lupa nanya. Nanti Bapak tanyain lagi." Aya terdiam. Semua itu jelas adalah sebuah kesempatan yang baik untuknya. Tapi Aya masih merasa bingung dan ragu. "Tapi itu beneran, Pak?" tanya Aya lagi. "Iya. Kalau memang kamu mau ... kamu nantik tak pindahkan setelah naik kelas." Aya meneguk ludah. Ia mulai memikirkan tawaran itu. "Pokok e nanti Bapak cari tau lagi profil sekolahnya. Nanti kalau sudah dapat, tak kasih kamu ... setelah itu kamu yang memutuskan mau apa ndak. Bapak ndak akan memaksa. Apapun pilihan kamu ... Bapak akan dukung!" Aya tersenyum. "Iya, Pak... Nanti Aya akan memikirkannya." . . . Hentakan suara musik terdengar keras. Cahaya lampu yang berkelap-kelip dalam ruangan remang itu sesekali membuat wajah Alfian terlihat jelas. Saat ini Alfian sedang berada di sebuah villa temannya yang sedang mengadakan pesta. Alfian duduk sendirian di sofa. Sementara teman-temannya yang lain tampak berpesta ria. Ada yang sibuk menari, ada yang asyik tertawa dan mengejek sesama. Ada yang sudah kehilangan kesadaran dan mulai menggila. Dan... Ada juga yang b******u. Berciu-man bibir dan saling merangkul dengan mesra. Gaya hidup Alfian dan teman-temannya memang sangat bebas. Mereka selalu bersenang-senang setiap kali ada kesempatan. Seperti sebuah arisan, setiap orang harus menyelenggarakan party secara bergiliran. "Loh ... Bukannya lo lagi di hukum nggak boleh keluar rumah?" Pertanyaan itu membuat Alfian yang sedang duduk menikmati secangkir wine langsung menatap sengit pada pemuda berkulit putih dengan pupil mata berwarna cokelat terang, yang kini berdiri di hadapannya. Lelaki blasteran dengan bertubuh jangkung itu menatap Alfian dengan wajah mengejek. Namanya Samuel Alinsky. Salah satu siswa most wanted di SMA Sanjaya. Dia juga merupakan putra dari salah satu konglomerat. Perangainya sebelas dua belas dengan Alfian. Sama-sama biang kerok yang selalu membuat onar. Bedanya... Samuel memiliki kehidupan yang sangat bebas. Kedua orang tuanya tetap membela dan menutupi kesalahan Samuel ketika anaknya itu berbuat kesalahan. Sebelumnya Samuel dan Alfian berteman dekat. Tapi kemudian kedua putra mahkota itu terlibat konflik karena sama-sama menyukai seorang siswi perempuan. Dan sejak itu... Hubungan keduanya tak lagi pernah membaik. Alfian dan Samuel menjadi Rival dan sering terlibat perselisihan. "Bukan urusan, lo!" sergah Alfian. Samuel tertawa. "Hahaha. Yah, harusnya lo di rumah aja. Nggak usah ikutan dateng ke party ini. Soalnya setiap ada lo... Semua orang jadi cemas. Takut digrebek sama pasukan khusus dari bokap lo." Alfian memejamkan matanya sejenak. Dia masih kesal perkara bu Rahma dan juga gadis tengil yang sudah berani mempermalukannya. Dan sekarang ... Samuel malah memancing emosinya. "Lo nggak liat wajah anak-anak yang lain? Mereka nggak enjoy lagi sejak lo dateng ke sini!" Samuel kembali meracau. Alfian beralih menatap beberapa orang yang yang langsung mengalihkan pandangan saat ia menatapnya. Mereka terlihat langsung pura-pura sibuk sesamanya. Alfian pun menyadari hal itu. Memang sejak ia datang, sebagian besar dari mereka langsung menunjukkan wajah cemas dan menunjukkan rasa tidak nyaman. Wajar saja. Semua yang diucapkan oleh Samuel itu memang benar adanya. Terakhir kali party yang mereka gelar di sebuah apartemen pun juga berantakan karena kedatangan pasukan yang menyeret Alfian untuk pulang ke rumah. "Lebih baik lo pulang deh, Ian... Sebelum pasukan huru hara bokap lo dateng dan mengacaukan pesta ini." Samuel mengejek lagi. Alfian meneguk cangkir minumannya, lalu kemudian bangun berdiri. "Lo bisa pulang sendiri, kan? Atau ... Lo nunggu jemputan dari orang suruhan bokap lo? Eh iya... Gue lupa, lo kan punya asisten pribadi. Semacam kayak babysitter yang selalu ngejagain lo. Iya, kan?" ledek Samuel sambil terkikik menahan tawa. Alfian menatap tajam. "Gue akan pergi dari sini... Tapi sebelum itu...." BUK. Tiba-tiba Alfian melayangkan sebuah pukulan ke wajah Samuel. Kejadian itu lantas membuat semua orang terkejut. "AN-JING ...! TAI...! LO MUKUL GUE, HA?" Samuel membentak keras dan menyerang balik. Samuel balas memukul Alfian. Perkelahian pun tidak terelakkan lagi. Kedua lelaki itu bergulat dan mulai membuat kekacauan. Alfian mendorong Samuel ke atas meja dan membuat semua gelas minuman di atasnya jatuh dan pecah. Keduanya terus bergulat. Terhuyung ke sana ke mari. Rusuh sekali. Suara musik yang tadi menggema pub langsung berhenti. Beberapa anak lelaki segera melerai keduanya. "KALIAN KENAPA, SIH ...!?" seorang perempuan cantik dengan rambut lurus sebahu menatap kesal. Gadis dengan pakaian crop top yang menampilkan perut putih yang rata itu menatap Alfian dan Samuel secara bergantian. Gadis berwajah oriental itu adalah Ayuwisha. Dia adalah tuan rumah untuk pesta kali ini. "Dia yang duluan mukul gue secara tiba-tiba!" Samuel membela diri sambil menyeka sudut bibirnya yang berda-rah. Ayu menatap Alfian. "Sekarang bukan pasukan huru-hara bokap lo yang bikin kacau... Tapi Lo sendiri!" Alfian mengembuskan napas gusar. Ia hanya menatap tajam dan kemudian melangkah pergi dari tempat itu. Ia bergegas keluar menuju parkiran untuk mengambil motor Riski yang masih ia bawa. Tapi kemudian langkah kaki Alfian melambat saat melihat seorang lelaki berdiri di depan sana menantinya. "Haaaah." Alfian menatap kesal. Itu adalah Rudi, sang asisten pribadi. "Hah... Kenapa Mas Rudi tidak masuk dan mengacau seperti biasanya? Mana pasukan yang lain?" tanya Alfian seraya memerhatikan sekelilingnya. Rudi tersenyum. "Saya ke sini tidak untuk menjemput kamu." Eh. Dahi Alfian berkerut. "Maksudnya." Rudi tertunduk. Kedua tangannya juga mengepal kuat. Alfian kemudian memerhatikan sosok asisten pribadinya itu lekat-lekat. Ada beberapa luka lebam yang membiru di wajahnya. Deg. Alfian tersentak menyadari apa yang sudah terjadi. Sepertinya sang ayah melampiaskan kekesalannya kepada Rudi lagi. "Mas Rudi...." Alfian memanggilnya pelan. Rudi mengangkat wajahnya, tersenyum lemah, lalu kemudian berkata. "Mulai hari ini saya sudah memutuskan untuk berhenti menjadi asisten pribadi kamu...." . . . Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD