Tuan Muda dan Upik Abu - 15

2152 Words
Rahma mengembuskan napas panjang sebelum masuk ke dalam rumah. Ia merapikan rambutnya, memeriksa pakaiannya, lalu memasang senyum seolah tidak terjadi apa-apa. “IBUUUUK …!” pekiknya ceria. Seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di depan televisi sambil membuat sebuah anyaman dan bahan benang wol itu menoleh, lalu tersenyum. “Kamu sudah pulang.” Rahma langsung duduk di depan sang ibu. Ia duduk di lantai, sementara sang ibu duduk di atas kursi. “Ibuk lagi bikin apa?” tanya Rahma. “Mau bikin taplak meja.” Rahma tersenyum, tapi sorot matanya malah terlihat sendu. Wajar saja, ia menghadapi hari yang cukup berat di sekolah. Rahma kemudian menyandarkan kepalanya di atas pa-ha sang ibu. “Loh … kenapa?” tanya sang ibuk. “Nggak ada apa-apa. Aku hanya ingin seperti ini sebentar … sebentar saja.” Sang ibu tersenyum. “Walah … udah gede begini masih manja kamu tuh.” Rahma tersenyum getir, tapi sang ibu jelas tidak bisa melihatnya. Perasaan itu kian berkecamuk saat sang ibu membelai rambutnya dengan lembut. Nyaris saja air mata itu menetes. Tapi Rahma lekas memejamkan mata kuat-kuat untuk menahannya. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya sang ibu saat Rahma terdiam lama dalam posisi seperti itu. Rahma mengangkat wajahnya, lalu menyeringai menampilkan deretan giginya yang rapi. “Aku baik-baik saja, kok.” Sang ibu tersenyum, lalu kemudian dia melotot teringat sesuatu. “Kenapa, Buk?” tanya Rahma. “Ibuk lupa belum masak … keasyikan ngerjain ini.” Rahma tertawa pelan. “Ya udah nggak apa-apa. Aku akan bantu ibuk masak sekarang.” Rahma hanya tinggal bersama sang ibu sejak ia masuk SMP. Sang ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Bukan ke pangkuan sang maha kuasa, tetapi ke pangkuan wanita lain yang sudah menghancurkan keharmonisan keluarga itu. Rahma dan ibunya melalui hari-hari yang sulit setelah ditinggal pergi oleh sang ayah. Tapi kehidupan mereka terus berlanjut. Meski kadang tertatih-tatih. Walau kadang ada banyak hari-hari yang ditemani oleh air mata. Tapi pada akhirnya Rahma dan sang ibu bisa sampai di titik sekarang ini. Rahma sangat mensyukuri hal itu. Sejak memulai karir sebagai guru tetap di SMA Sanjaya, semua memang semakin membaik. Sang ibu tidak perlu lagi membuat kue basah yang biasanya akan dititipkan ke warung-warung sekitar yang ada di dekat rumah mereka. Sang ibu kini lebih sering tersenyum. Wanita paruh baya itu juga bisa tidur lebih awal setiap harinya karena tidak perlu lagi menyiapkan adonan kue hingga larut malam. Itulah alasan Rahma tetap bertahan. Meskipun semakin hari semua terasa kian melelahkan. Semua untuk sang ibu. Semua demi malaikat tak bersayap yang sangat dia cintai itu. “Eh, ini gula merah untuk sambelnya nggak ada,” ucap sang ibu. Rahma yang sedang mengaduk sayuran itu tersenyum menatap sang ibu. “Biar aku beli sebentar ke warung, Buk.” “Ngokey!” Jawaban gokil sang ibu itu membuat Rahma terkikik. Rahma bergegas mengambil sejumlah uang, lalu pergi keluar rumah. Dan ternyata… Mobil Alfian masih ada di sana. “Bu Rahma keluar, Cuk!” pekik Riski. Alfian tersenyum. “Lo tunggu di sini!” Eh. Riski menatap bingung. “A-apa yang bakalan lo lakuin?” Alfian tidak menjawab. Bocah tengil itu langsung turun dari mobil dan bergegas mendekati rumah Rahma. Riski yang menatap pemandangan itu pun kini menatap gugup sambil mengigit jarinya. Riski semakin menganga saat melihat Alfian mengetuk pintu dan tak lama kemudian … Dia masuk ke dalam rumah itu. “Apa yang dia lakukan sekaraaaaaang …!” Riski memekik panik. . . Rahma terlihat kembali dari warung sambil menenteng sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia mengeluarkan sebuah bungkusan makanan kucing, lalu berjongkok di depan pagar. “Meeooow.” “Ngeeeeong.” Dua ekor kucing langsung terlihat berlari menghampirinya. Satu kucing berwarna orange dan satu lagi berwarna belang hitam dan putih. Rahma menuangkan makanan kucing basah itu ke atas plastiknya. Dua ekor kucing itu pun langsung makan dengan lahap. “Makan yang banyak, ya!” ucap Rahma sambil mengusak kepala kucing itu bergantian. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi… Rahma mengernyit saat melihat sepasang sepatu di depan pintu rumahnya. “Sepatu siapa ini?” bisiknya lirih. Belum habis keheranannya, Rahma lagi-lagi tersentak saat mendengar suara tawa sang ibu. Sudah jelas ada seseorang yang datang. Tapi siapa? Rahma segera masuk. Deg. “ALFIAN …!” Kantong plastik yang sedari tadi ia genggam langsung jatuh ke lantai begitu saja. Rahma menatap nanar pada sosok murid tengil yang kini duduk manis bersama sang ibu di meja yang sudah dipenuhi oleh hidangan makanan. Rahma benar-benar terperanjat kaget. Dia melotot dengan bibir bergerak-gerak pelan, namun tidak ada satu pun kata yang terlontar. Lidahnya terasa kelu. Kedua kakinya juga pakai terpaku ke lantai dan tidak bisa lagi bergerak. “Nah, itu dia sudah pulang!” tukas sang ibu. Glek. “Selamat sore, Bu Rahma!” Alfian tersenyum dan melambaikan tangannya. Rahma makin terhenyak mendengar sapaan dengan nada yang sok imut itu. “K-kamu ….” “Katanya dia murid kamu?” sang ibu menatap Rahma yang kini melangkah mendekat. “I-iya,” jawab Rahma gugup. Alfian beralih menatap ibunya Rahma. “Beliau adalah guru favorit saya.” “Benarkah? Wah … kamu anak yang manis sekali.” ibunya Rahma tersenyum senang. Rahma tertohok. Raut cemas itu jelas terlihat di wajahnya. Ia kini bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan oleh Alfian. Apa yang akan dilakukan oleh anak itu? “Karena kamu ada di sini … kita makan sama-sama, ya. Kebetulan Ibuk baru aja selesai masak.” ucap ibuk Rahma lagi. Rahma menatap panik. “T-tapi, Buk!” “Wes… nggak apa-apa lah. Dia sudah jauh-jauh ke sini katanya untuk mengunjungi kamu!” sergah sang ibu. “Mana gula merahnya? Ibuk kelarin sambalnya dulu sebentar.” Rahma meneguk ludah. Untuk sekedar menghela napas pun kini ia merasa sulit. Ia merasa sesak dan tercekik. “Nak Alfian … Ibuk ke belakang dulu, ya!” “Iya, Buk.” Sepeninggal sang ibuk, Rahma langsung menatap tajam. “APA YANG KAMU LAKUKAN SEKARANG, HA?” bentaknya dengan suara berbisik. Alfian tersenyum. Raut wajahnya itu sangat menjengkelkan sekali. “Saya sudah bilang … saya ke sini mau mengunjuungi ibu guru tercinta ini.” Rahma nyaris memukul meja itu. Ia juga hampir berteriak. Namun … Rahma tidak ingin sang ibu mendengarnya. Alfian memerhatikan keadaan rumah Rahma dengan tatapan mencemooh. Sesekali ia mencibir sambil meli-pat tangan di da-da. “Not bad … perpustakaan pribadi milik ayah saya di rumah lebih luas dari tempat ini,” ucapnya. Rahma menatap berang. “Oh iya, adik anda mana? Saya tidak melihatnya?” tanya Alfian lagi. Rahma tidak menjawab. “Saya tidak tahu apa yang sedang kamu rencanakan. Tapi sekarang … CEPAT PERGI DARI SINI!” usir Rahma. “Nanti dong… kita harus makan bersama dulu. Wah … ibu anda orang yang sangat baik.” Alfian beralih menatap makanan yang tersaji di depannya. “Makanannya juga terlihat enak. Sepertinya … saya bisa sering-sering main ke sini!” Deg. “ALFIAN …!!!” bentak Rahma. Alfian menyeringai. “Saya tidak segan-segan menyakiti wanita tua sekalipun. Dan anda tahu sendiri kan … bahwa saya segi-la itu?” Sunyi. Wajah Rahma langsung berubah pucat. Ia tertegun dengan bola mata bergetar. Sementara itu Alfian menyeringai lagi. “Kalau anda tidak mau saya bermain-main dengan ibu anda … maka SEGERA ANGKAT KAKI DARI SMA SANJAYA!” “Ahhh ….” Rahma menghela napas sesak. Ketakutan itu benar-benar terlihat di sorot kedua matanya. Rahma menatap Alfian dengan mata yang sudah memerah. Ia tidak menyangka bisa mengenal murid mengerikan seperti dia. Sejatinya Rahma hanya ingin mengajar dengan tenang. Dia sudah mengorbankan harga dirinya terlalu banyak sejauh ini. Tapi … Alfian masih saja mengganggunya dan sekarang bahkan mengancamnya. “K-kamu ….” Rahma baru bersuara, tapi sang ibu kembali datang dan Rahma pun langsung terdiam. “Wah … masakan Ibuk terlihat enak.” Alfian tersenyum dan bersuara ramah. Tapi semua kelakuannya itu terlihat sangat menakutkan di mata Rahma yang kini terpaku. Tak bisa lagi berkata-kata dan juga tak tahu apa yang harus diperbuatnya. “Ayo makan. Jangan malu-malu!” ibunya Rahma bahkan mengambilkan nasi ke dalam piring untuk Alfian. Dan dengan tidak tau dirinya, Alfian menyantap makanan itu dengan santai. Tak peduli pada Rahma yang kini nyaris menitikkan air mata menahan amarah. “Gimana rasanya. Kamu suka nggak?” tanya ibunya Rahma lagi. Alfian mengangguk antusias. “Enak sekali, Buk … kalau begini saya jadi pengen sering-sering main ke sini. APA BOLEH?” Glek. Jemari Rahma bergetar, emosi itu sudah diujung tanduk, tapi dia menahannya karena sang ibu. Rahma melirik sang ibu yang kini tersenyum menatap Alfian. Dan saat sang ibu menjawab pertanyaan Alfian, Rahma pun kian merasa sesak. “Tentu saja … kamu boleh main ke sini kapan saja.” . . . Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 sore saat Aya tiba di rumahnya. Sepulang sekolah Aya menyempatkan untuk pergi ke toko loak yang menjual buku pelajaran. Perburuannya hari ini pun tidak sia-sia. Aya berhasil mendapatkan dua kantong buku dengan harga yang sangat murah meriah. Dia terlihat senang sekali menentang dua kantong plastik hitam itu di tangan kiri dan kanannya. “Akhirnya sampai juga.” Daus bermaksud membantu Aya untuk membawakan kantong berisi buku-buku itu. “Sini aku bawain!” “Nggak usah. Aku bisa sendiri, kok. Sekali lagi makasih, ya … udah nemenin aku berburu buku hari ini.” “Iya sama-sama. Itu emang semuanya bakalan kamu baca?” “Iya dong,” jawab Aya yakin. Daus mencibir. “Wah … anak rajin levelnya emang beda ya. Akhir-akhir ini kamu keliatan jadi lebih ambisius dalam belajar.” Aya tersenyum pelan. “Ya, mau bagaimana lagi … hanya itu satu-satunya yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa mengharapkan beasiswa itu … jadi sekarang aku akan berjuang untuk bisa mendapatkannya.” Daus menatap Aya lekat-lekat. “Tapi kamu juga harus inget … jaga kesehatan juga. Jangan sampai kamu terlalu mem-forsir diri kamu sendiri. Inget batasannya!” “Iya. Aku paham, kok.” “Besok aku akan jemput kamu. Jangan ngumpet lagi kalo liat aku … emangnya aku sindikat pen-cu-likan anak.” Daus geleng-geleng kepala. Aya tergelak. “Ya, aku nggak enak aja setiap pagi numpang sama kamu.” “Kalau kamu ngerasa nggak enak bayar aja ongkos ojeknya sama dua permen milkita tangkai.” “Seribu dong?” tanya Aya.” “Iya.” Mereka berdua pun tertawa. “Oh iya … tapi bukannya hari ini kamu ada jadwal latihan karate?” Aya teringat jadwal latihan Daus. Daus memutar bola matanya memikirkan sebuah alasan. “Hari ini emang libur kok. Pelatihnya ada urusan keluar kota.” Aya tersenyum lega. “Bagus deh … aku sempat mikir kamu nggak ikut latihan buat nemenin aku nyari buku.” “Uhuk … uhuk ….” Daus terbatuk. “Kenapa?” tanya Aya. “Nggak kok. Aku nggak kenapa-napa. Kalau gitu aku pulang dulu, ya! Yakin nih nggak mau aku anter bukunya ke depan rumah.” Aya menggeleng. “Ini enteng kok. Hati-hati di jalan. Sekali lagi makasih, ya!” Daus segera pergi. Aya pun juga berjalan ke rumahnya. Aya meletakkan dua kantong berisi buku itu di dekat pintu, lalu merogoh sakunya untuk mencari kunci rumah. Tapi… Eh. Aya melihat pintu sudah sedikit terbuka. Ia mendorongnya dan benar saja, pintu itu tidak terkunci. Aya menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Kenapa pintu rumahnya terbuka? Ia yakin sudah menguncinya saat tadi pagi berangkat ke sekolah. Aya mendorong pintu itu lambat-lambat. Apa ada maling yang masuk ke rumahnya? Deg. Aya berbalik melihat ke ujung jalan. Daus sudah pergi. Aya meneguk ludah. Ia sebenarnya tidak begitu cemas jika rumahnya kemalingan. Aya tidak takut akan hal itu. Karena memang tidak ada benda berharga di rumahnya. Yang Aya takutkan saat ini adalah … penjahat itu masih ada di dalam rumahnya dan nanti melakukan hal-hal yang gi-la. Aya memasuki rumahnya dengan jantung berdebar kencang. Sorot matanya kini menatap waspada. Rumah itu terlihat gelap. Aya terus bergerak dan kemudian menyalakan lampu. “BAPAAAAAK …!” Aya langsung memekik saat melihat sang ayah terkapar di lantai. Aya segera mendekat, mengguncang-guncang tubuh sang bapak dengan panik. “Pak …! Bapak kenapa …!?” pekik Aya. Sajid terkulai tak sadarkan diri. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan bibir berwarna keunguan. Tubuhnya terasa sangat panas. Butiran keringat bahkan terlihat jelas merembes di keningnya. “Pak …! bangun, Pak?” Aya terus mencoba membangunkan sang ayah dengan panik. Aya kemudian menatap bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dalam kepanikan itu tiba-tiba handphone sang bapak yang terletak di atas meja berdering. Aya segera mengangkat telepon itu. “Halo Sajid… di mana kamu?” itu suara Handoko. “H-halo … B-bapak saya….” Aya berucap panik. “B-Bapak …? kamu Aya?” “Iya, saya Aya!” “Bapak kamu kenapa?” tanya Handoko. Aya menghela napas sesak, lalu menjawabnya. “S-saya menemukan bapak tidak sadarkan diri di rumah. Tolong saya, Om … tolong saya!” “Tenang… kamu jangan panik. Sekarang kirimkan alamat kamu, Om akan mengutus mobil ambulance untuk ke sana….” . . . Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD