Tuan Muda dan Upik Abu - 19

1077 Words
"Pokoknya Bapak tidur di kamar aja mulai sekarang. Biar Aya yang tidur di luar," tukas Aya. Sajid termangu sejenak. "T-tapi, Nak." Aya menggeleng pelan seraya berkacak pinggang. Tingkahnya itu terlihat sangat menggemaskan. "Pokoknya ndak boleh ada penolakan. Bapak inget kata dokter kan... Bapak itu ndak boleh tidur di tempat yang lembab." Sajid terdiam, lalu kemudian akhirnya mengangguk setuju. "Iya-iya. Bapak yang akan tidur di kamar." Barulah Aya seketika tersenyum. Ia tersenyum hingga matanya menyipit. Setelah itu Aya merapikan tempat tidur untuk sang ayah tercinta. Ia membersihkannya dengan telaten. Aya dan sang ayah juga sudah selesai makan malam, meskipun sudah cukup larut karena hari ini Sajid pulang telat lagi. "Nah, semua sudah beres. Bapak bisa beristirahat sekarang." Aya menarik Sajid agar rebahan di kasurnya. Sajid menurut. Tapi saat Aya hendak keluar kamar, ia kembali memanggil putrinya itu. "Aya ...." Aya berbalik. "Iya, Pak?" "Terima kasih, yo, Nak." Aya tersenyum dan kemudian keluar dari kamar itu. Aya pun kemudian juga menggelar sebuah kasur di ruang depan. Ia mengalasinya dengan sebuah selimut agar terasa lebih nyaman dan hangat. Setalahnya, Aya juga rebahan di sana. Malam sudah larut, tapi Aya masih merasa belum mengantuk. Akhirnya dia mengambil handphone. Membuka internet, lalu mengetikkan kata kunci di kolom pencariannya. 'SMA SANJAYA' Aya mengetikkan kata kunci itu, lalu menekan tombol cari. Tak lama berselang halaman pun menampilkan ulasan tentang SMA Sanjaya. Aya meneguk ludah saat ia membuka sebuah artikel yang membahas tentang SMA Sanjaya. Aya langsung melihat gambaran potret gedung SMA Sanjaya yang sangat megah. "Bangunannya bagus sekali," desis Aya. Aya kemudian mulai membaca profil sekolah itu. Juga membaca ulasan tentang bagaimana harumnya nama SMA Sanjaya. Juga ada bahasan mengenai banyak alumni yang berhasil menyambung pendidikan mereka keluar negeri. Aya tersenyum. Handoko ternyata memang tidak berbohong. Ia terus membaca. Larut dalam rasa ingin tahun tentang sebuah tempat yang nanti akan menjadi sekolahnya ketika kenaikan kelas. Ya, Aya sudah menetapkan keputusannya. Dia dan sang bapak juga sudah mengabari Handoko. Handoko tentu merasa senang karena Aya menerima tawaran itu. Kini Aya hanya perlu fokus pada ujian semester sekaligus ujian kenaikan kelas yang akan datang. Jemari Aya lalu terhenti saat sebuah potret kebersamaan murid-murid SMA Sanjaya di tampilkan. Aya meneguk ludah. Ada rasa ragu yang sedikit menganggu. "Seragam mereka bahkan terlihat bagus dan sangat berbeda sekali. Terlihat seperti seragam SMA di luar negeri," bisik Aya. Cahaya layar handphone yang menerpa wajah Aya memperlihatkan jelas raut wajah Aya yang sepertinya agak khawatir akan sesuatu. Aya meneguk ludah. "Apa aku pantas bergaul bersama anak-anak elit bersama mereka nantinya?" bisik Aya lagi. . . . Sementara itu... Alfian melempar puntung rokoknya sembarangan, lalu mengambil kembali bungkus rokoknya untuk mengambil yang baru. Tapi ternyata kotak rokok itu sudah kosong. Ia pun juga melemparnya. "Si-al...." Alfian terlihat masih kesal karena sopir sang papa ikut-ikutan menceramahinya. Alfian masih teringat kata-kata Sajid dan entah kenapa dia merasa sangat terganggu. "Cih, bisa-bisa si tua bangka itu berkata seenaknya. Apa? Angin malam itu tidak baik untuk kesehatan ... Peduli apa dia?" Alfian yang duduk di depan teras rumahnya itu akhirnya beranjak mendekati pintu. Ia kemudian memasukkan sandi pintu dengan hati-hati. Setelah bunyi bib yang terdengar pelan. Pintu itu pun akhirnya terbuka. Alfian masuk dengan sangat berhati-hati. Suasana di dalam rumah yang bak istana itu gelap dan temaram. Alfian mulai menjinjit langkah menuju anak tangga di ujung sana. Dia ingin langsung ke kamarnya. Jika sang ayah menciduknya pulang selarut ini, maka ia pasti akan kena semprot lagi dan Alfian tidak menginginkan sesi siramam rohani tambahan seperti itu. Ia terus melangkah dengan hati-hati. Alfian mulai menaiki anak tangga yang meliuk ke lantai atas itu. Sejauh ini semua aman dan tenang. Para pekerja rumah itu pun juga sudah terlelap. Hening sekali. Tapi saat tiba di lantai atas. Alfian langsung termangu. Deg. Ia melihat ada sang ayah dan ibu sambung yang sedang berdiri di depan pintu kamar Dino sambil membawa sebuah kue dengan lilin yang menyala. Cahaya dari lilin itu menerangi wajah sang papa yang nampaknya sangat bahagia. Alfian tertegun di tempatnya berdiri. Suasana yang cukup gelap membuat Handoko dan Margaretta tidak menyadari kehadiran Alfian di sana. Tak lama kemudian terlihat Dino membukakan pintu kamarnya. "Happy birthday to you...." "Happy birthday to you...." "Happy birthday to you...." "Happy birthday, happy birthday...." "Happy birthday to you...." Dino tampak terkejut dan juga senang. Margaretta yang memegang kue itu pun menatap antuasias. "Mama ... Papa ...," Dino menatap Margaretta dan Handoko secara bergantian sambil tersenyum malu. "Ayo make a wish... Lalu tiup lilinnya," tukas Margaretta. Dino memejamkan matanya sebentar. Memanjatkan doa dan harapannya, lalu kemudian membuka mata dan meniup lilin itu. "Selamat ulang tahun ya, Dino... Papa merasa sangat bangga sama kamu. Semoga ke depannya kamu bisa menjadi lebih baik lagi. Papa percaya kamu mampu terbang lebih tinggi lagi," ucap Handoko. Dino mengangguk. "Semua karena dukungan Papa. Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan sosok ayah yang sangat peduli. Selama ini aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang ayah. Tapi sekarang...." Dino tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Handoko merangkul Dino sebentar, lalu menepuk-nepuk pundak anak sambungnya itu. "Jangan berbicara seperti itu lagi," ujar Handoko. Dino pun mengangguk. Margaretta terlihat senang sekali melihat momen itu. Akan tetapi ... Alfian yang masih menyaksikan semua itu mulai menghela napas sesak. Ia menatap nanar dengan kedua bola mata yang sudah terasa panas. Hatinya semakin teriris menyaksikan bagaimana sang ayah memperlakukan Dino. Sang ayah bahkan menyanyikan lagu ulang tahun untuk pemuda itu. Sang ayah tersenyum padanya, sang ayah sangat peduli padanya, sang ayah bahkan mendoakannya, berharap Dino menjadi lebih baik ke depannya. Alfian kian merasa sesak. Pemandangan itu benar-benar membuatnya tersiksa. Sang ayah bahkan rela bangun di tengah malam seperti ini untuk memberikan surprise kepada Dino. Anak tirinya. Sedangkan .... Sang ayah melupakan ulang tahun Alfian yang notabene adalah anak kandungnya. Suara helaan napas Alfian yang sesak mulai terdengar. Ia pun tidak sanggup lagi melihat pemandangan itu dan berlari menuruni anak tangga itu kembali. Handoko mengernyit dan menatap ke arah tangga. "Siapa itu?" Dino yang mendengar suara derap langkah kaki itu juga menatap bingung. Margaretta langsung merangkul lengan suaminya itu, lalu tersenyum. "Tidak ada apa-apa." Handoko mengangguk, lalu kembali berbicara kepada Dino. Margaretta pun diam-diam tersenyum puas. Dia sebenarnya tahu bahwa ada Alfian yang sudah menyaksikan semuanya. Margaretta tersenyum penuh arti dan kemudian berbisik dalam hatinya. "Bocah tengil itu pasti sangat terpukul. Tidak sia-sia aku memasukkan obat tidur dalam s**u Handoko ketika hari ulang tahunnya... Dia bahkan berlari pergi karena tidak sanggup lagi melihat semuanya. Alfian ... Pergi saja! Kalau perlu... JANGAN PERNAH KEMBALI LAGI...!" . . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD