When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Hari ini adalah hari minggu terakhir Ghea masih bisa tiduran di kasur sampai jam delapan pagi. Sebab minggu depan, ia sudah harus mulai kuliah—ah, tidak. Tapi, ospek dulu. Ghea jadi membayangkan keseruannya, hal yang seharusnya Ghea dapatkan tiga tahun lalu. Mengeluarkan sepedanya dari garasi, Ghea bersenandung kecil, bersiap-siap untuk pergi ke kedai. Selepas mengunci pintu, mata Ghea terbelalak melihat Zebra sudah bersandar di depan gerbangnya sambil memainkan ponsel. Mau tak mau otak Ghea langsung mengulang kejadian satu bulan lalu di warung soto, ketika Zebra menyatakan cintanya untuk pertama kali. Kedua pipi Ghea terasa panas tanpa bisa ia cegah. “Karena saya cintanya sama kamu.” Ghea—dengan jantung berdebar dan tubuh membeku—menatap Zebra dengan sorot terkejut. Bahkan dahinya mas

