11 | Ambition

2494 Words
Pertemuan dengan Marlina sedikit banyak mempengaruhi Inge. Jika dipikir-pikir lagi, terlalu tidak adil jika perselingkuhan Arif diakhiri dengan perceraian. Setelah mereka cerai, Arif akan melanjutkan hidup seolah tidak pernah menyakiti hati siapa-siapa. Dia akan menikah dengan Inge, punya anak darinya, ambisinya menjadi Gubernur termuda tercapai, lalu dia bahagia. Sementara Inge, Inge mungkin akan menua sebagai janda lantaran trauma dikhianati. Tanpa anak, tanpa suami—siapa yang mau menikahi wanita tidak bisa hamil. Menghukum Arif dengan mem-blow up skandal ini ke media masuk ke deretan opsi ke sekian. Inge tidak mau dikasihani atau parahnya akan dibanding-bandingkan dengan Olin seperti yang tadi malam Arif lakukan. Itu sangat melukai harga dirinya. Semua orang tahu betapa panasnya isu perselingkuhan dan perpelakoran di Negara ini, Inge tak mau itu menjadi umpan bagi media mengulik kehidupan pribadinya dan keluarganya yang bisa dibilang bukan keluarga sembarangan. Nama besar papanya sebagai politikus senior tidak boleh tercoreng karena skandal menjijikkan menantunya. "Lagi mikirin apa, sih, Mbak?" Rizka menepuk lengan Inge saat mereka baru keluar dari ruang dimana mereka dipertemukan dengan Marlina. "Pasti nggak habis pikir sama jalan pikiran Bu Marlina, ya?" tebak Rizka. "Menurutmu motifnya nggak logis?" "Ya ... gimana, ya? Aku mau bilang terlalu dangkal, tapi di sisi lain aku nggak bisa mengecilkan trauma seseorang. Mantan suaminya cuma dipenjara hitungan bulan, sementara trauma Bu Marlina mungkin nggak bakal bisa hilang seumur hidup. Dalam perasaan kayak gitu, dia pasti merasa nggak adil sehingga nekat memberi hukuman sendiri. Tapi itu tetap nggak bisa dibenarkan. Bu Marlina sebenarnya cuma butuh dampingan ahli buat mengobati traumanya." Inge mengembuskan napas, Rizka mengungkapkan hal persis yang dipikirkannya. Sekarang yang jadi pertanyaan, jika bukan perceraian, lalu apa solusi terbaiknya? Perceraian hanya mengakhiri pernikahan, tetapi tidak memberi Arif pelajaran. Pikiran Inge terjeda sesaat ketika ponselnya berdenting menandakan ada pesan singkat masuk yang ternyata dari mamanya. Mama Nge, Mama sama Papa udah di rumah. Nanti malam ajak arif mampir ya buat makan bareng. Udah lama Mama nggak ketemu menantu kesayangan Mama. Menantu kesayangan, Inge membaca dua kata itu berulang-ulang. Seandainya mamanya tahu menantu kesayangannya itu telah melakukan apa terhadapnya, barangkali Mama akan langsung kena stroke saking tidak menyangkanya. Ini beban besar bagi Inge, bagaimana dia memberi tahu tentang perceraiannya tanpa membuat mereka syok atau bertanya-tanya. Inge menghela napas dan menyimpan kembali ponselnya dalam tas setelah membalas singkat. "Riz, kalau nanti kamu punya suami dan seandainya dia selingkuh, selain cerai, apa yang akan kamu lakukan?" Rizka tampak berpikir sebentar. "Aku potong tititnya." Inge memutar bola mata malas. "Aku nanya serius, Riz." "Ya itu aku jawab serius, Mbak," jawab Rizka terkekeh kecil. "Beneran bakal aku potong tititnya biar dia nggak bisa ML sama selingkuhannya, biar tahu rasa. Sebearna bikin orang menderita itu gampang, kok, ambil aja sesuatu yang paling dia inginkan dan bikin dia nggak berdaya." Seolah ada lampu pijar menyala tepat di atas kepala Inge, Inge kini tahu penyelesaian apa yang tepat untuk masalahnya dengan Arif. Sesuatu yang menyelesaikan, tapi juga memberi pelajaran. "Riz, aku akan ke kantor siang. Kamu duluan aja. Aku harus pergi sekarang," ujar Inge buru-buru meninggalkan Rizka. "Eh eh, mau ke mana, Mbak? Katanya mau ajak sarapan." Teriakan Rizka tidak dihiraukan Inge. Inge masuk ke dalam mobilnya, menyuruhnya ke tempat di mana Arif ia yakini sedang berada sekarang. ***  Saat Arif keluar dari kamar di pagi hari, ia menemukan menu sarapan terhidang di atas meja makan yang menandakan bahwa Semalam Olin tidak pulang. Olin meninggalkan catatan kecil bertuliskan; Jangan lupa sarapan sebelum pergi. Aku nggak akan ganggu kamu. Aku tunggu kapan pun kamu mau bicara, asal jangan suruh aku aborsi. “Mas?” suara Olin terdengar dari belakang Arif, saat lelaki itu menoleh ia mendapati Olin baru keluar dari kamar kedua sambil menyangklong tas seperti siap pergi. “Kamu … udah bangun?” gumamnya tak menyangka Arif akan bangun lebih cepat dari dugaannya. Ia berniat untuk pergi sebelum Arif bangun. Ia takut membuat Arif semakin marah jika terlalu menekannya. “Semalam kamu nggak pulang?” Jika ditilik dari pakaian Olin yang masih sama seperti tadi malam. Olin memang menyimpan pakaian cadangan di sini, tapi itu tersimpan di kamar yang ditempati Arif. Olin menggeleng lemah, masih takut terhadap ancaman Arif. “Aku baru mau pergi sekarang.” “Sarapan dulu sebelum pergi,” ujar Arif sambil meletakkan note di atas meja dan duduk di sana. “Tunggu apa lagi? Kamu nggak punya banyak waktu sebelum mesti ke kantor.” Dengan patuh, Olin lantas meletakkan tasnya dan menarik kursi tepat berhadapan dengan Arif, mereka hanya terpisah meja makan selebar semeter. “Aku dan Inge kemungkinan besar akan bercerai.” “Benarkah?” Olin mendongak cepat dengan wajah mendadak cerah. Arif menatap Olin datar. “Tapi itu bukan berarti aku akan menikahi kamu.” Secepat Arif menerbangkannya, secepat itu pula Arif menjatuhkannya. Bahu Olin melemas seperti beberapa detik sebelumnya. “Aku nggak mau aborsi.” Olin menegaskan sikapnya. “Aku bisa saja melakukannya tanpa persetujuan kamu. Menghilangkan nyawa kamu juga aku bisa.” Olin menggeleng sangat pelan. “Aku tahu Mas Arif bukan orang sejahat itu.” “Jadi menurutmu aku ini orang sebaik apa?” Arif menyeringai mengejek. “Kalau aku baik, aku nggak akan menyelingkuhi istriku dan meniduri kamu tanpa komitmen apa-apa. Itu aja sudah menandakan aku bukan orang baik. Jangan polos-polos, Lin, aku kasihan.” Pagi yang buruk, pikir Olin. Sepertinya tidak ada yang berubah setelah semalam. “Aku tahu kamu sebenarnya mencintai aku,” ujar Olin mengerahkan seluruh keberaniannya. “Oh ya? Kamu kedengarannya sangat yakin, kayak lebih kenal aku dibanding diriku sendiri.” Arif mengubah posisi duduknya menyamping, menyilangkan kaki santai. Bibirnya menyeringai samar, seolah-olah sengaja ingin menguji Olin. “Semua itu kelihatan dari sikap kamu, Mas. Meskipun kamu bilang Inge satu-satunya dan nggak akan ada yang bisa menggantikan dia, itu cuma dalam urusan biar mempermulus karir politik kamu. Di saat yang sama, kamu juga selalu bilang bisa cari 10 orang kayak aku. Tapi apa? Kita udah jalan 11 bulan, tapi kamu tetap mempertahankan aku walaupun kamu sadar aku mulai melibatkan perasaan dalam hubungan rahasia ini. “Tapi kamu pasti akan mengelak dan terus meragukan kemampuan kamu dan berusaha mengambil hati orang-orang yang kamu pikir bisa membantu jalan kamu. Aku tidak tahu ada apa dibalik obsesimu menjadi gubernur sebelum umur 35 tahun, maksudku, kenapa harus? Di saat sebenarnya kamu bisa jadi Gubernur di umur berapa pun saat kamu benar-benar siap …,” lanjut Olin menggantung, lalu menatap mata Arif. “Dan kuat.” Arif mendengus. Tidak diragukan lagi, Olin memang sangat mengenal dirinya. “Kenapa harus jadi yang termuda? Karena aku capek selalu jadi yang paling terakhir.” Olin mengerutkan kening, menuntut penjelasan lebih. Arif menghela napas dan memutar pandangannya ke arah dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota dari ketinggian lantai unit apartemen ini. “Dulu di sekolah, aku adalah murid rajin tapi paling bodoh. Bisa kamu bayangkan? Rajin tapi bodoh. Aku mengikuti semua ekskul, lima hari dalam seminggu les, tapi aku tetap bodoh. Teman-teman peringkat rendah, menjadikan aku pembelaan kalau rajin bukan pangkal pandai. Guru-guru bilang aku harus lebih berani dan percaya diri. Bahkan orangtuaku sendiri ragu apa aku bisa bersaing. Kamu sendiri tahu Papaku pernah tiga kali coba nyalon jadi kepala daerah tapi selalu gagal, dia ingin mimpi itu aku wujudkan. Sampai suatu hari aku nggak sengaja dengar pembicaraan orangtuaku, kamu tahu mereka bilang apa?” Tatapan Arif menerawang dengan senyuman sedih. “Mereka bilang, percuma punya anak satu tapi nggak bisa membanggakan orangtua.” Olin terpaku, ini cerita baru. Arif tidak pernah membahas masa lalaunya. Bisa Olin lihat luka dan trauma di mata Arif saat bercerita. “Aku saat itu sangat marah. Aku nggak terima, aku nggak ingat pernah minta  lahir jadi anak mereka, lalu kenapa aku diberi beban buat membanggakan mereka? Kalau semua anak dilahirkan untuk jadi boneka atau ladang investasi orangtuanya, maka sebaiknya aku nggak perlu punya anak.” “Apa itu kenapa kamu sering bilang nggak terlalu menginginkan anak?” tebak Olin hati-hati. “Ya …,” jawab Arif menggantung. “Aku takut nggak bisa jadi orang tua baik yang bisa ngasih kebebasan ke anak mereka, yang melahirkan mereka untuk tumbuh jadi diri mereka sendiri, bukan cetakan yang harus melanjutkan apa yang dilakukan orangtuanya.” “Tapi kan, kamu bisa melawan?” Arif lalu mengembalikan tatapannya ke wajah Olin. “Ck, simpan saja ibamu untuk dirimu sendiri, Lin. Nasibmu bahkan lebih buruk dari aku. Kamu dilahirkan cuma untuk menanggung utang orangtua dan abangmu yang preman itu.” “Mas Arif benar.” Olin menundukkan kepalanya sebentar sebelum menatap Arif lagi. “Kita berdua sama-sama dilahirkan tapi nggak diberi kebebasan. Tapi kan situasi kita beda, aku nggak punya pilihan lain karena kalau aku kabur, artinya Mama aku yang harus menanggungnya. Sedangkan kamu, Mas, bisa berontak dan ngejar mimpimu sendiri.” “Mimpi?” Arif tertawa hambar. “Sudah terlambat. Aku nggak pernah tahu apa bakat atau mimpiku apa karena dari kecil sudah didoktrin belajar pelajaran akademik. Sekarang yang bisa aku lakukan cuma membuat diri aku berguna … sesuai harapan mereka. Sekarang kamu mengerti kenapa aku harus jadi Gubernur termuda?” “Aku mengerti, meskipun nggak setuju,” jawab Olin. “Terserah, nggak ada yang butuh persetujuan kamu,” balas Arif tak mau membuang waktu bertanda serta mendengarkan alasan mengapa Olin tidak setuju. “Di Pemilu serentak tahun depan, gimana pun juga aku harus jadi salah satu calon. Aku ragu masalah ini bisa tetap jadi rahasia kita bertiga selamanya, makanya aku harus jaga-jaga kalau seandainya publik tahu penyebab perceraianku dan Inge. Apa jadinya kalau mereka tahu aku menikahi selingkuhanku? Aku bisa mengembalikan simpati publik lagi dengan melajang lebih lama dari Inge dan mengaku khilaf.” Arif tiada kompromi dan sangat yakin dengan keputusannya ini. “Terus nasib anak kamu gimana?” Suara Olin bergetar hampir menangis. Ia telah gagal meluluhkan hati Arif. Bahkan setelah dihadapkan dengan persoalan nyawa darah dagingnya, bagi Arif yang terpenting tetap ambisinya menjadi gubernur termuda. “Lahirkan dia dengan selamat.” Kening Olin berkerut, jawaban Arif sangat melegakan tapi masih ambigu. Dia mau mempertahankan anaknya, tapi tidak mau menikahi Olin. Mendadak, perasaan Olin tidak enak. Arif menambahkan, “urusan kita selesai begitu anak itu lahir. Aku nggak mungkin menelantarkan keturunanku, aku yang akan mengurus dia.” “Kamu … tega memisahkan anak dari ibunya?” “Terus apa? Aku nggak mungkin menikahi kamu.” “Kita bisa menikah siri.” “Terus kalau ada yang tanya siapa bapak dari anakmu kamu jawab siapa? Arif Bijaksana?” cecar Arif. “Terus mamamu gimana? Menurutmu dia nggak sedih anak perempuannya jadi istri yang nggak diakui? Waktu kepikiran buat nggak minum pil kontrasepsi sbenarnya kamu kepikiran itu nggak, sih, Lin? Atau gimana nasib anakmu kalau udah masuk sekolah, menurutmu dia nggak akan di-bully karena ayahnya nggak jelas siapa?” “Enggak!” Olin menjerit. “Kalau bukan Inge, aku yang akan bongkar.” “Biar apa? Kamu ngarep dibela? Nggak akan, Lin. Yang akan mereka bela itu Inge. Aku bisa minta timku buat mengendalikan pemberitaan. Dan kalau kamu masih bertingkah, gampang aja buat aku membumbui sedikit cerita kalau kamu lah yang sejak awal menjebak dan merusak rumah tanggaku demi bisa menikah sama aku. Olin tak kuasa menanhan tangis, ia menggeleng-geleng tak ingin mendengar apa-apa lagi. Namun, agaknya Arif belum selesai.  “Dengar, ya, Lin, kalau ada yang harus bertanggung jawab, orang itu seharusnya adalah kamu. Kalau kamu nggak nekat, nggak akan ada anak atau anak ibu yang dipisahkan dari anaknya. Sadar diri, Olin. Kamu yang membuat semuanya jadi seperti ini. “Ikuti apa yang aku bilang. Dengan begitu, aku bisa lanjut kerja tenang, anakku nggak akan terlantar, dan kamu bisa melanjutkan kehidupanmu. Kamu masih muda, ingat ibumu nggak punya siapa-siapa.” Prok! Prok! Prok! Suara tepuk tangan menyentak kedua orang itu, saat mereka menoleh ke sumber suara, mereka melihat Inge berjalan mendekat dengan seringaian meremehkan. “Selain nggak setia, aku baru tahu kamu ternyata suka gaslighting.” Arif sontak berdiri dari duduknya, kaget bukan main atas kehadiran Inge. Sejak kapan dia ada di sini dan bagaimana bisa ia dan Olin tidak menyadarinya? “Ngapain kamu di sini?” Inge tak langsung merespon pertanyaan Arif, dengan santai ia melenggang mendekat. Inge melipat tangan di d**a. “Menanyakan gimana nasibku?” Arif menyipit tak mengerti. “Bukannya semalam kamu udah menentukan nasibmu sendiri?” “Berhubung semalam juga kamu bilang aku nggak pernah mendengarkan kamu dan merasa jadi pengambil keputusan terbaik, makanya aku ingin tanya gimana nasibku dari kamu, Arif Bijaksana.” Inge sengaja menekankan tiap silabel nama Arif, agar Arif sadar betapa nama itu tidak cocok disandangnya. “Kalau nggak salah dengar, tadi kamu baru menentukan nasibmu, nasib anakmu, dan nasib Olin. Kedengarannya tadi lumayan adil dan menguntungkan semua pihak. Tapi kamu lupa sama aku. Jadi, gimana nasibku?” Arif hanya menatap Inge, belum menemukan kata-kata yang pas. Sembari berusaha membaca apa yang ada di pikiran perempuan ini. “Aku nggak mau, dong, jadi satu-satunya pihak yang rugi. Udah jadi janda, nggak akan bisa punya anak pula. Kamu nggak kasihan sama aku, Rif? Kayak yang kamu bilang, kan aku yang ngebet banget ingin punya anak.” Arif mengembuskan napas pendek. “Jangan berbelit-belit, Nge. Aku tahu kamu ke sini karena sudah tahu apa yang meburut kamu adil. Jadi, cepat katakan.” “Nggak diragukan lagi, kamu selalu mengerti aku tapi sayangnya cuma Olin yang bisa mengerti kamu.” Inge menghela napas berlagak kecewa. “Aku punya solusi yang lebih adil buat semua orang, daripada yang tadi kamu bilang. Solusi ini menjamin kamu menjadi gubernur termuda, Olin meneruskan masa mudanya kayak gadis umumnya, anakmu nggak akan terlantar, dan aku … bisa mendapat keinginan terbesarku, yaitu menjadi seorang Ibu.” “Maksudnya kamu nggak mau cerai?!” Olin bereaksi cepat dan panik. “Benar, itu maksudmu, Nge?” Hal serupa yang ditangkap Arif. “Enggak, aku nggak akan membiarkan kamu jadi Ibu anakku. Nggak akan pernah!” sambar Olin, memegangi perutnya defensif. “Yang kamu inginkan anak yang lahir dari rahim kamu, Nge. Kamu nggak mau anak orang lain.” Inge menghendikkan bahu enteng. “Kamu kayaknya lupa, deh. Tepatnya, bukan anak yang mesti lahir dari rahim aku, tapi darah daging kamu. Penerus keluarga kamu.” Bukannya terurai, kernyitan di dahi Arif makin rumit. “Aku masih belum mengerti maksud kamu. Apa yang membuat kamu tiba-tiba nggak mau cerai?” “Mungkin, sama halnya kayak kamu yang ngebet jadi gubernur termuda, aku juga ngebet ingin melahirkan anak kamu?” “Kamu nggak bisa melahirkan, yang bisa melahirkan itu aku!” Olin berteriak marah. Sadar bahwa itu satu-satunya yang bisa dia lakukan. Posisinya terjepit antara dua orang super power, seolah-olah hanya dia yang tidak punya suara dan nasibnya ada di tangan mereka. Sayangnya, teriakan Olin sama sekali tidak digubris oleh Arif dan Inge. Mereka bahkan tidak meliriknya sama sekali. “Lalu kamu umumkan kalau anak itu anak adopsi?” “Ya enggak lah,” sahut Inge cepat. “Semua orang akan tahu dia anak yang aku lahirkan dari rahimku, sekaligus juga penerus keturunan keluarga kamu.” Semakin Arif berusaha memahami, semakin Inge sulit dimengerti. Agaknya tak hanya Olin, Inge pun sepertinya juga telah kehilangan kewarasannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD