Bab 2. Ternyata Mereka selingkuh!

1336 Words
Mereka tiba di hotel Hilton, tempat penginapan seluruh crew penerbangan. Sekali lagi Emily melihat Miranda yang ternyata sudah tiba duluan di sana. Seperti yang dikatakan oleh Lexi saat mereka akan berangkat tadi. Tanpa diminta, Emily dengan segera mendekati Miranda dan menyapanya dari berlakang. "Hei, Mir, kamu menginap di sini juga?" sapa Emily untuk sekadar berbasa-basi, mengurangi kecanggungan yang ia rasakan dari temannya itu. Miranda melirik Emily dengan tatapan seolah tidak tertarik. "Iyalah aku di sini! Kan, aku flight attendant senior penerbangan menuju Brisbane. Jangan bilang kalau kamu lupa, Emily?" sarkas Miranda. Emily hendak menjawab, tetapi tarikan pada lengannya membuat ia urung melakukan hal itu. Emily melihat Jenny sedang memaksakannya untuk mendekat dan sedikit menjauhkan badannya dari Miranda. "Loh, ternyata kamu ada di sini, Emily!" “Iya, aku dari tadi di sini, kok. Kamu nyarin aku? Kenapa?” tanya Emily heran. "Emily, kamar kamu ada di samping aku! Ayo kita ke sana sama-sama, aku nggak mau jalan sendirian!” Jenny menarik Emily untuk berjalan menjauh dan meninggalkan Miranda. Miranda mendengkus dan membuang muka tidak peduli. Namun, sebaliknya, Emily justru memaksa Jenny untuk berhenti menariknya. "Bentar, Jen, aku mau ngomong sama Miranda dulu!" protes Emily dan melepaskan tarikan tangan Jenny. Namun, Jenny kerasa kepala dan terus menahan Emily. "Udah, Emily, kamu tidak usah meladeni Miranda itu!" Jenny kembali mengaitkan tangannya pada lengan Emily. "Dasar, Jenny! Kenapa tidak kamu bilang langsung saja sama Emily kalau Miranda itu selingkuh sama pacarnya, si Shane itu, huh? Sampai kapan kamu mau merahasiakan semuanya?" ucap satu suara bariton. "Kapten Justine!" seru Jenny dengan ekspresi kaget. Padahal ia berusaha untuk menyembunyikan kenyataan itu dari Emily, tetapi Justine justru dengan gamblang mengatakannya pada Emily. 'Buset! Ternyata balok es ini juga mengikuti gosip!' batin Jenny. Susah payah meneguk salivanya sendiri. 'ini pasti si mulut kepo FO Lexi yang sudah membeberkan semuanya.' Sementara itu, Emily yang mendengar suara Justine justru merasakan hal aneh. Badannya panas-dingin dan degup jantungnya berdetak seperti baru saja menaiki roller-coaster. Emily diam-diam memegang jantungnya yang berdetak dengan gila, ia berusaha untuk menenangkannya. ‘Kenapa tiba-tiba begini?’ batin Emily heran dengan diam-diam mencuri pandang kepada wajah tampan Justine. "Emily! Kamu nggak kenapa-napa, kan?" Jenny mulai dilanda kepanikan saat melihat Emily yang terus memegang dadanya. Jenny takut jika berita pacarnya yang selingkuh akan menyakiti hati Emily dan membuat temannya itu jatuh sakit. "Nona Emily?" Justine yang sepertinya merasa bersalah karena sudah membongkarkan perselingkuhan Shane. Mendekati Emily untuk melihat bagaimana kondisinya. Namun, Emily memang berhak tahu tentang fakta yang ada saat ini. Cepat atau lambat, Emily pasti akan tahu juga. "Maaf!" seru Emily tiba-tiba dan merampas keycard yang ada dalam genggaman Emily. Ia berlari menuju kubikel lift tanpa bisa dihentikan. Pintu lift tertutup dan hanya menyisakan Emily sendirian. Ia bersandar dengan napas terengah-engah. "Hah! Aman!" Ucap Emily berseru lega. Ia memukul dadanya pelan dan perlahan, degupan kencang yang ia rasakan sebelumnya mulai mereda. Beruntungnya tidak ada orang lain di dalam kubikel lift itu. Mungkin orang-orang akan berpikir jika Emily adalah orang yang terkena penyakit mental karena berbicara sendiri dan berperilaku aneh. "Tunggu, kamarku ada di mana, ya?" Lagi dan lagi Emily bicara sendiri karena tadi Jenny belum sempat memberitahunya kamar mereka itu di lantai berapa. Gadis itu melangkah keluar dan ia sampai di lantai tiga. Ia bertemu dengan cleaning service yang sedang melakukan pekerjaannya. "Excuse me, ini kamar nomor 301 lantai berapa, Mbak?" tanya Emily sopan pada cleaning service wanita itu sambil menunjukkan keycard di tangannya. "Oh, sudah benar di lantai ini, Mbak. Tinggal jalan sedikit saja dan di belokan sana ada kamar pertama. Itu adalah kamar 301, tempat kamar ini," jawab cleaning service itu dengan ramah dan sopan. "Oh, iya makasih, ya, Mbak. Saya duluan, ya." Usai mengucapkan terima kasih. Emily melanjutkan lagi langkahnya menuju kamar 301. Belum sempat Emily menutup pintu kamarnya, seseorang menahan daun pintunya dari arah luar. "Jenny?!" seru Emily saat mengetahui siapa yang menahan pintunya. "Emily! Kamu nggak kenapa-napa, kan? Ayo, sini." Jenny menarik dan mendudukkan Emily di atas kasur setelah menutup pintu kamar. "Aku minta maaf, Emily. Aku bukannya mau merahasiakan semuanya dari kamu, tapi aku sedang mencari waktu yang tepat buat menceritakan semuanya tentang Miranda dan Shane. Sorry, ya, Em," ucap Jenny yang terus berbicara panjang lebar layaknya rel kereta api. "Jenny, aku nggak marah sama sekali sama kamu dan sepertinya aku juga tidak marah sama Miranda dan Shane," ungkap Emily. Jenny menatap Emily tidka percaya. "What! Emily, kamu serius? Mereka selingkuh, loh! Mereka udah mengkhianati kamu!" Emily menggeleng pelan. "Aku tahu, tapi biarkan sajalah mereka pacaran, Jen. Aku dah nggak mau pusing. Setidaknya bukan aku yang mengkhianati. Kalau memang dia udah nggak cinta sama aku ya gimana? Nggak mungkin dipaksakan lagi hubungan kita." "Lalu tadi kamu kenapa shock berat, hmm? Aku kira kamu bakal nangis." Jenny mendelik kesal. Ia merasa jika Emily sedang berpura-pura bahwa dirinya sedang baik-baik saja. "Kalo aku cerita sama kamu, janji, ya kamu jangan ngetawain aku!" pinta Emily. "Buruan cerita. Aku mau mendengarnya." Gesa Jenny tidak sabaran. "Jantung aku tuh seakan mau melompat keluar saat bertemu tatap atau mendengarkan suaranya Kapten Justine," ucap Emily sambil menatap tepat pada kedua netra pekat milik sahabatnya Jenny. "OMG! Kenapa bisa begitu, Emily? " "Aku juga tidak tahu, Jen, selama ini aku juga merasakan hal yang aneh, loh. Kayak aku lagi kangen berat sama seseorang, awalnya aku kira aku kangen sama Shane," Emily memberi jeda pada ucapannya, "tapi ternyata bukan dia. Buktinya aku biasa-biasa saja selama Shane nggak pernah menjenguk aku. Selama ini, Shane nggak pernah lagi mengungkap 'i miss you' sama aku dan aku seolah nggak peduli lagi," beber Emily. "Lalu? Bagaimana dong?" "Ternyata tadi itu, saat di ruangan flops. Aku sekali lagi merasakan hal yang aneh. Jantungku memompa laju saat melihat Kapten Justine. Dan aku sepertinya ingin selalu dekat sama dia." "Apa jangan-jangan kamu jatuh cinta sama Kapten Justine?" tebak Jenny. Emily menggeleng cepat. "Jen, kamu sendiri tahukan kondisiku kayak gimana. Jantung ini bukan milik aku. Jantung ini milik orang lain." Gadis itu meremas dadanya pelan. "Maksud kamu, Em?" tanya Jenny lagi. "Apa jangan-jangan pemilik jantung ini pernah bertemu lalu jatuh cinta pada Kapten Justine, ya? Atau pemilik jantung ini juga seorang pramugari dulunya?" Emily menerka sendiri. Kedua sahabat itu seketika terdiam, hening panjang terjadi di antara keduanya. Masing-masing dari mereka hanyut di dalam pemikiran mereka sendiri. "Apakah pendonor jantungmu itu adalah mantan pacar Kapten Justine, Em? Bisa jadi begitu!" pekik Jenny. Kedua kelopak matanya membulat sempurna. "Jen! Ngawur kamu!" "Bukannya kamu sendiri yang bilang begitu? Aku kan hanya menebak saja, Em." Jenny membela dirinya sendiri. "Sulit diterima akal sehat, Jen." Tolak Emily lagi. "Bagaimana kalau kita tanyakan saja sama Kapten Justine aja?" Itu adalah saran tergila yang pernah Emily dengar dari Jenny. "Memangnya mau tanya apa, Jen? Masa mau nanya begini, ‘Kap, apa pacar Kapten sebelumnya sudah meninggal lalu jantungnya didonorkan?' gitu? Yang ada aku dan kamu malah dilempar ke tengah lautan boro-boro mendapatkan jawabannya!" telak Emily. Bukannya marah, Jenny malah ketawa terbahak-bahak sehingga ujung matanya mengalir bulir jernih. "Ih! Malah ketawa ini anak! Nggak bener kamu, Jen! Gimana, sih?" omel Emily lagi. "Bukan begitu juga caranya, Emily Drew. Parah ini anak cara berpikirnya. Yaudah, sini aku coba search di internet saja," ucap Jenny di celah tawanya yang masih tersisa. Kedua gadis yang masih berbalut seragam merah itu terus saja mem-browsing untuk menggali jawaban dari pertanyaan mereka sendiri. Akan tetapi hasilnya tetap tidak ada. Emily melemparkan ponselnya secara asal di atas kasur empuk, lalu merebahkan tubuhnya. Fisiknya capek, begitu pula dengan entalnya. Jenny juga ikutan melakukan hal yang sama. "Em, selain itu, apa kamu punya rasa sama Kapten Justine?" tanya Jenny tiba-tiba. Emily menggeleng. "Ketemu juga baru satu kali, bagaimana aku bisa punya rasa sama dia?" "Aneh, ya." … Sementara Justine, pria tampan itu sedang rebahan sambil menatap langit-langit kamar. Menggunakan tangannya sebagai bantal. "Yuna, setelah sekian lama, kenapa hari ini aku bisa merasakan kehadiran kamu?" gumam Justine dengan mengulas senyum tipis. Perlahan kenangan bersama Yuna mulai muncul kembali di benaknya. Ada semacam perasaan rindu yang tidak bisa Justine jabarkan lewat perkataan. "Lalu, Emily, siapa dia sebenarnya? Kenapa aku merasa nyaman saat berdekatan dengannya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD