1990.
Andjani baru saja tiba di rumah setelah melihat pengumuman di sekolah nya dan ia sangat gembira karena di terima di SMA yang dia inginkan.
"Baru pulang? Ga bareng sama Andien?" tanya Ibu.
"Engga Bu, aku pulang duluan," Jawab Andjani yang memiliki panggilan Jeani dengan suara yang terdengar lelah.
"Kamu habis ngapain kok terlihat capek banget?" tanya ibu.
"Biasa aja kok Bu. Ibu masak apa? aku mau makan dulu ya?"
"Iya, kamu duluan saja kalau Andien belum pulang."
Setelah mencuci kaki Andjani kemudian mengganti bajunya dengan baju rumahan yang merupakan stelan baju santai berupa celana pendek selutut dengan kaos longgar yang menjadi pakaian kebesaran nya.
"Bu, aku makan duluan ya."
"Ya, kamu makan saja duluan. Ibu sedang merapikan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi," sahut ibunya dari arah belakang rumah.
Andjani segera berjalan menuju dapur untuk mengambil piring dan gelas karena ibu nya mungkin lupa tidak meletakkan piring dan gelas di meja, tidak seperti biasanya. Dan ia sedang menikmati makanannya ketika ibu datang menemaninya lalu duduk di kursi yang ada di seberang meja makan, berhadapan dengannya.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya ibu dengan wajah menunggu jawaban dari putri sulungnya.
"Alhamdulillah baik Bu. Jeani di terima di SMA FourEight."
"Syukurlah. Ibu tahu kalau kamu memang ingin diterima di sana. Berarti kamu harus mempersiapkan semuanya, kamu harus lebih giat belajar dan jangan takut berkompetisi!" kata Ibu memberi semangat pada Andjani.
"Iya Bu. Makanya aku ga mau main-main seperti dulu, karena aku harus mempersiapkan sejak awal agar aku bisa diterima di perguruan tinggi negeri yang aku inginkan," jawabnya membuat ibunya tersenyum.
"Ibu tahu kalau kamu memiliki keinginan yang begitu besar untuk bisa kuliah di PTN. Tetapi kamu baru masuk SMA dan masih panjang waktunya. Ada baiknya kamu menikmati masa remaja kamu, masa putih abu-abu yang selalu menjadi kenangan terindah dalam hidup," kata Ibu tersenyum.
"Iya Bu. Aku pasti tidak akan beda dengan anak SMA yang lainnya karena aku juga tidak mau kehilangan masa remaja aku, masa dengan seragam putih abu-abu," jawabnya kalem.
Andjani baru saja menyelesaikan makannya dan baru akan membawa piringnya ke dapur ketika dari arah luar datang adikkya Andiani yang berlari sambil berteriak.
"Jeani…aku diterima di SMA The Sky."
"Astaga, ga segitunya kali Dien."
"Oh harus dong. Kamu tahu di sana aku akan bertemu dengan siswa SMA yang memiliki kualitas lebih dari siswa lainnya," katanya dengan wajah berbinar.
"Masa, kayanya sama aja deh. Coba bedanya apa?" goda Jeani.
"Bedanya mereka rata-rata anak tajir melintir dan pasti mereka akan berangkat sekolah dengan membawa mobil tidak seperti siswa lainnya yang harus mengikuti peraturan."
"Maksudnya?"
"Yeah dilarang bawa kendaraan karena tujuan sekolah itu bukan untuk pamer kekayaan tapi untuk belajar."
"Lah memang benar, kan."
"Buat kamu dan sebagian besar seperti itu, tapi gak bagiku."
"Dengan kata lain tujuan kamu yang salah. Kalau mau cari anak-anak yang tajir, jangan ke sekolah, tapi kamu harus ke mall yang banyak dikunjungi oleh kaum borju. Itu baru bener," kata Jeani tertawa.
"Tau ah. Pokoknya aku sangat gembira. Kamu sendiri bagaimana? diterima di FE?" tanya Andiani sambil melepaskan sepatunya.
"Astaga, dari tagi kamu belum buka sepatu? Kasihan Bibik tahu?" tegur Jeani.
"Ah kamu udah seperti ibu aja. Kalah malah bawelnya dibanding sama ibu," katanya sambil menggerutu kesal.
"Eh iya, FE itu apaan sih?" tanya Jeani penasaran.
"Four Eight. Gimana sih kamu yang diterima sekolah di sana malah ga tahu," katanya meninggalkan Andjani sendiri sementara Andiani langsung masuk ke dalam kamarnya.
Setelah mencuci piring yang tadi dipakainya, Andjani masuk ke kamar untuk mengambil wudhu karena ia belum Sholat Djuhur.
Andjani begitu bahagia saat ia mengucap syukur atas rezeky yang diberikan sang pencipta Nya sehingga dirinya bisa mendapat kesempatan untuk bersekolah di sekolah favorit yang cukup terkenal.
Setelah melalui masa-masa pendaftaran sebagai siswa baru, pengukuran baju seragam sampai dengan masa penataran p4 semuanya dilakukan sendiri tanpa ada yang mengantarnya ke sekolah sementara adiknya Andiani lebih memilih selalu ditemani ibu nya dengan diantar sopir karena Andien tidak mau ibunya harus membawa mobil sendiri.
"Jeani, kamu sudah ke TU?" tanya Rini salah satu teman SMP nya yang sama-sama diterima di sekolah Four Eight yang baru dia ketahui oleh para siswanya sendiri di plesetin degan nama SMA Forest.
"Udah. Kamu sendiri udah?"
"Udah. Mau langsung pulang atau mau kemana lagi?" tanya Rini menjejeri langkahnya hingga mereka berjalan berdampingan.
"Aku mau cari seragam yang beli diluar. Soalnya mau beli kemarin-kemarin males banget. Masih rame," katanya tertawa.
"Iya bener. Aku juga mau mampir ke toko Seragam juga sih. Gimana kalau kita barengan aja?"
"Kalau aku sih oke aja. Malah enak ada temannya," kata Andjani tertawa senang.
Setelah tidak ada lagi keperluan di sekolah baru mereka, Andjani dan Rini berjalan pulang menuju jalan utama untuk menunggu mobil angkutan umum yang akan mereka naiki dengan tujuan salah satu mall yang searah dengan rumah mereka.
"Adik kamu sekolah di mana?" tanya Rini ketika mereka sudah berada di mobil angkutan umum.
"The Sky. Sesuai dengan keinginannya," jawab Jeani tertawa ingat dengan tujuan sebenarnya Andien memilih The Sky.
"Kamu kenapa Jeani?" tanya Rini heran.
"Ga apa-apa. Geli aja kalau inget Andien sukanya kaya apa waktu tahu dirinya di terima di sana," jawab Jeani masih tertawa hingga Rini yang mendengarnya ikut tertawa bersamanya.
Mereka asik dengan obrolan mereka sementara di tidak jauh dari tempat mereka duduk ada sepasang muda mudi yang sepertinya baru saja bertengkar karena wajah keduanya sama-sama terlihat jutek.
Belum lagi mereka sampai di mall yang mereka tuju sementara penumpang yang tersisa di dalam mobil angkutan umum hanya ada Jeani, Rini dan pasangan yang sama-sama diam.
Wajah wanita yang menurut Jeani masih mahasiswa terlihat nyaris menangis dengan mulut yang siap melontarkan ucapan yang membuat panas telinga.
"Aku beneran ga sengaja Nu?" kata wanita yang tepat berada di samping Jeani hingga secara otomatis Jeani melihat ke arah pria yang berada di depannya.
"Aku ga perduli. Kalau kamu tetap ga mau bicara jujur kita selesai sampai sini aja," katanya pelan karena ia tidak suka dengan pandangan Jeani yang seperti mencela nya.
"Wisnu..., kamu harus percaya sama aku! aku masuk ke kamar Awan karena Dea bilang kunci motor aku ketinggalan di dalam kamar Awan."
"Lalu kenapa kunci motor kamu ada di kamar Awan. Ngapain kamu ke sana? padahal sejak awal aku ga suka dan ga pernah ngizinin kamu ke sana. Aku ga suka kalau kamu ga dengar apa yang aku perintahkan," katanya dengan wajah kesal.