Bagi Rachel hanya ada tiga laki-laki dalam hidupnya. Yang pertama tentu saja Papinya, kedua Om Daris, dan yang paling sulit dilupakan, Ale. Selain ketiganya, Rachel belum menemukan laki-laki lain yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya.
Sebelum Ale datang untuk mengobrak-abrik hatinya, hidup Rachel terlalu datar dan monoton. Pikirannya hanya terfokus pada rasa dendam dan sakit hatinya terhadap Mama tirinya, juga kerinduannya pada Maminya. Dan yang lebih menyedihkan adalah, fakta bahwa dia sangat membenci Papinya.
Rachel tahu kalau seburuk apapun kesalahan Papinya, tidak seharusnya dia membencinya sebegini besarnya. Apalagi mengingat apa yang sudah Papinya berikan padanya sehingga dia masih bisa hidup sampai sekarang. Tapi sekuat apapun Rachel berusaha memaafkan Papinya, bayangan luka hati Maminya kembali teringat, dan malah membuatnya menangis merindukan Maminya Yang akhirnya membuat kebencian Rachel pada Papinya kian bertambah seiring bertambahnya rasa rindunya dengan Maminya.
Sudah lama hidup Rachel terperosok. Ditinggalkan sendirian, tidak diinginkan, dan terasingkan.
Tidak terhitung berapa kali upaya yang sudah Rachel lakukan untuk menyusul Maminya. Mulai dari cara paling sederhana seperti menegak banyak aspirin sekaligus, sampai menyayat pergelangan tangannya berharap urat nadinya putus. Namun, takdir seolah tidak pernah mengijinkan Rachel untuk meninggalkan dunia begitu saja. Berbagai cara Tuhan selalu ada untuk menyelamatkan Rachel.
Dan ini membuat Rachel semakin membenci takdir.
Butuh waktu lumayan lama bagi Daris untuk berusaha menyembuhkan psikis Rachel. Seperti membawa Rachel pindah dari Singapura ke Bali. Sejak Mami Rachel mulai sakit-sakitan, keluarganya memang pindah ke Singapura agar mempermudah pengobatan Maminya. Sebelum Maminya meninggal, Papi Rachel sudah lebih dulu pindah ke Bali dan menikah dengan Mama tirinya itu. Tak lama setelah itu, barulah Daris membujuk Rachel untuk ikut pindah ke Bali.
Di Bali, Rachel kembali menempati rumah lamanya dulu, sebelum Maminya sakit-sakitan dan pindah ke Singapura. Tapi karena rumah tersebut terlalu besar dan sepi, akhirnya Rachel pindah ke villa milik papinya, dan hidup disana sendirian. Untungnya, setelah satu setengah tahun Rachel masuk SMP, Tuhan mengutus kebahagiaan pada Rachel melalui sosok Ale dan Luna.
Hidup Rachel nyaris terasa sempurna ketika itu. Hari-harinya hanya diisi dengan Ale dan Luna sebagai sahabatnya. Sampai peristiwa beberapa bulan itu terjadi. Dimana persahabatan dan cinta yang semula terasa sangat sempurna, hancur begitu saja.
Karena itulah, ketika siang ini Rachel terpaksa harus berada dalam satu tempat dengan laki-laki yang sejak tadi tidak malu-malu untuk menampakkan ketertarikannya ini, membuat Rachel agak canggung. Selama ini, hidupnya hanya berpusat pada orang-orang tertentu saja, sehingga Rachel selalu menutup dirinya dari orang asing manapun.
Rasanya kedua pipi Rachel memanas ketika mendapat tatapan lekat dari sepasang mata elang tersebut, yang tidak mengalihkan pandangan darinya barang sedetik pun.
Hari ini adalah hari terakhir masa perkuliahan, sebelum liburan natal dan tahun baru. Tidak terasa waktunya berjalan sangat cepat. Sudah hampir dua bulan ia tinggal di Jakarta, dan mengikuti perkuliahannya dengan baik. Pertemanannya dengan Selin, Tasyi, Laura, Keara, dan Alisa juga semakin dekat. Perlahan, Rachel bisa mulai mengikuti gaya obrolan mereka, dan nyambung dengan lawakan recehnya.
Maka, disinilah mereka sekarang. Disalah satu pusat perbelanjaan yang letaknya paling dekat dengan kampus. Rachel tidak tahu bagaimana ceritanya laki-laki itu bisa ikut bergabung bersama geng cewek-ceweknya hari ini. Tiba-tiba saja, sosok pemilik tatapan paling teduh yang pernah Rachel lihat ini, sudah duduk disebelahnya, menyunggingkan sebaris senyuman.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Rachel memilih diam, dan pura-pura menyimak obrolan teman-temannya. Padahal sebenarnya, sejak tadi ekor mata Rachel tidak bisa berhenti melirik kearah laki-laki sialan itu.
Dengan langkah lambat, Rachel mengikuti teman-temannya sambil menyesap Americano-nya sedikit-sedikit. Tadi, ia sempat mampir ke kedai kopi favoritnya sebentar, ketika menunggu Keara dan yang lainnya mencari tempat parkir.
“Lo minum Americano?” sebuah pertanyaan yang berisi nada penuh keterkejutan terlontar dari sosok yang berada disebelah Rachel. Otomatis Rachel menoleh kearah sosok itu yang rupanya sedang memperhatikan kopi yang dibawa Rachel.
Kedua alis Rachel tertaut. “Emang kenapa?”
“Biasanya tuh, cewek kalo ke Starbucks belinya iced coffee yang ada cream-nya manis-manis gitu, cuma buat gegayaan biar bisa difoto dan dijadiin instastory.” Alvin kini berjalan sejajar disebelah Rachel.
“Lo jangan men-generalisasi semua cewek suka ini dan itu gitu dong. Nggak semua cewek sama kayak gitu.” omel Rachel. “Emangnya lo mau dimiripin sama Pak Budi?”
Alvin tertawa renyah. Salah satu jenis tawa yang bisa membuat seseorang tampak lima kali lebih ganteng. “Eh, Pak Budi tuh siapa?” tawa Alvin terhenti, berganti dengan kerutan bingung di keningnya.
Rachel malah jadi ikutan bingung. Seingatnya, semua teman-temannya sudah tahu nama supirnya itu Budi. Ini Alvin yang lupa, atau memang dia yang tidak pernah cerita soal nama supirnya?
“Supir gue.”
Sekarang tawa Alvin kembali menyeruak. “Gue sih belum pernah ketemu Pak Budi secara langsung. Kemaren-kemaren kan Cuma liat dari jauh. Jadi gue nggak bisa mastiin gantengan siapa. Tapi gue berani sumpah kalo diantara temen-temen gue sekelas juga gue yang paling ganteng.”
Seharusnya Rachel langsung ilfeel melihat gelagat Alvin yang sok kegantengan begini. Tapi entah kenapa dia tidak ilfeel sama sekali, dan malah semakin terpaku dengan sepasang alis tebal Alvin yang kini digerakkan naik-turun. Sebenarnya juga Alvin tidak perlu bersumpah segala, Rachel sudah percaya kalau dia yang paling ganteng diantara teman-temannya.
Karena tidak mau terlihat terlalu ngarep duluan, Rachel berusaha memberikan respon paling cuek, dengan memutar bola matanya dan memasang muka muak dengan kenarsisan Alvin.
Kepala Alvin menggeleng-geleng kecil. Bukannya kesal karena respon Rachel yang menyebalkan, dia malah semakin gemas dengan cewek itu. Rasanya ingin cepat dia bungkus dan dimasukkan ke kantongnya biar bisa dibawa kemana-mana.
Khawatir kalau Rachel semakin muak dengan kenarsisannya, Alvin memilih mengembalikan topik pembicaraan mereka.“Maksud gue, kebanyakan cewek di i********: kan kayak gitu. Iya-iya, gue salah. Nggak semuanya kayak gitu kan ya.”
“Gue minum kopi, karna gue emang suka kopi.”
“Kenapa lo pilihnya Americano?” tanya Alvin.
“Kenapa lo bisa langsung tahu kalo ini Americano sih?” Rachel malah balik bertanya.
“Sebagai penikmat kopi, gue tau sih. Walaupun gue nggak terlalu suka, tapi Americano tuh jenis kopi yang terkenal banget, dan hampir disetiap coffee shop pasti ada. Baunya juga lumayan khas. Jadi gue lumayan hafal lah, sama aroma beberapa jenis kopi yang terkenal banget gini,” Jawab Alvin dengan sebelah alisnya dinaikkan sok kegantengan.
“Penikmat kopi, dan penyuka senja juga lo?” tanya Rachel spontan. Nadanya sedikit sinis dengan senyum asimetris dibibirnya.
“Kenapa sih, kopi selalu disangkut-sangkutin sama senja?” Alvin tertawa geli, menyadari nada sinis Rachel. “Emang apa salahnya kalo suka senja?”
Seketika bola mata Rachel melotot. “Lo seriusan suka senja?!”
Melihat ekspresi terkejut Rachel, Alvin tersenyum lebar. “Kenapa lo kaget gitu? Lo termasuk golongan orang-orang yang illfeel sama anak indie?”
Menyadari bahwa pertanyaan yang ia lontarkan tadi agak berlebihan, Rachel langsung merubah ekspresinya sedatar mungkin, dan menggeleng kecil. “Enggak kok. Gue nggak nyangka aja, lo ternyata adalah anak indie.”
“Kenapa?”
“Muka lo nggak pantes jadi anak indie.”
Tawa Alvin kembali menguar saat mendengar ucapan Rachel.
“Chel, kita jadinya mau dress code putih gitu. Lo udah ada dress putih, atau mau cari juga bareng kita?” ucapan Selin menginterupsi obrolan keduanya. Tadinya Selin sudah berjalan lebih dulu didepan Rachel. Tapi Selin sengaja menghampiri Rachel untuk menanyakan hal ini.
Sejak tadi, teman-teman Rachel heboh membicarakan dress code untuk acara tahun baru besok. Sejak tadi Rachel konsisten menjadi pendengar setia yang tidak terlalu banyak berkomentar. Sebagai orang baru dalam lingkar pertemanan mereka, Rachel merasa bahwa pendapatnya tidak penting-penting amat, dan memilih untuk menuruti apapun keputusan mereka. Selain itu, ia juga tidak begitu paham mengenai fashion. Biasanya, dia kan hanya asal pakai apa saja yang ada di lemarinya. Lagian Selin juga sepertinya jauh lebih paham tentang ini dibanding dirinya.
“Dress putih yang kayak gimana? Gue kayaknya udah ada banyak dress putih.” Jawab Rachel. Tasyi, Alisa dan Laura sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan mereka memasuki salah satu toko.
“Dress yang semi formal gitu aja kali ya? Sekalian kita foto-foto buat di i********:. Biar kita bisa mengawali tahun 2019 dengan foto-foto keren gitu!” Keara yang juga sejak tadi berdiskusi mengenai dress dengan Selin ikut berkomentar.
“Oh iya, Chel, lo belom follow i********: kita-kita!” seru Selin tiba-tiba, yang membuat Alvin langsung memasang pendengarannya sebaik mungkin, bersiap mem-follow akun yang keluar dari mulut Rachel setelah ini.
Kenapa selama ini Alvin tidak kepikiran untuk stalking i********: Rachel? Bukannya jaman sekarang, dengan social media kita jadi lebih mudah mengetahui kisah hidup seseorang?
“Gue nggak aktif main sosmed, Sel.” Jawaban Rachel seketika membuat Alvin mendengus kecewa. “Punya akunnya. Tapi cuma buat liat-liat i********: orang aja. Nggak pernah post foto gitu. Gue jarang bukanya juga.”
Muka Keara berubah kecewa. “Padahal ya, kalo lo aktif main IG, gue yakin lo bakal jadi selebgram dan punya banyak followers deh!”
“Boleh kali, kita follow-follow-an dulu.” Selin masih mendesak. “Ntar lo gue bantuin deh, biar followers lo banyakan gitu.”
“Gampang deh, ntar.” jawab Rachel sekenanya.
“Lo temenin gue pilih-pilih aja yuk, Chel! Kalo gue liat-liat, kayaknya selera fashion lo oke juga!” ajak Keara.
“Kan gue udah pernah bilang, selera nyokap gue yang bagus. Gue kan ngikut aja, apa yang dibeliin nyokap gue.” sanggah Rachel.
“Ya tetep aja, itu artinya kan selera lo sama selera nyokap lo tuh sama. Jadi lo nggak keberatan sama barang-barang yang dibeliin nyokap lo, karena lo suka juga. Coba kalo selera lo beda sama nyokap lo, pasti lo bakal protes dan nggak nyaman makenya kan?” Keara bersikeras membantah, membela argumennya.
Dengan berat hati akhirnya Rachel mengangguk lemah. Dia sudah tidak punya argument lain untuk menguatkan sanggahannya. Jadi dia pasrah saja mengikuti kemana langkah Keara berhenti.
Sambil menunggu Keara memilih-milih baju, Rachel memilih duduk di kursi tunggu yang disediakan. Alvin langsung ikut duduk disebelahnya.
“Jadi, lo termasuk kedalam golongan orang yang illfeel sama anak indie? Atau sebaliknya?” tanya Alvin, berusaha melanjutkan obrolan yang tadi sempat terputus.
“Gue netral aja sih. Nggak nyalahin orang yang suka senja, karena gue akuin, itu emang bagus. Tapi juga nggak suka sama orang lebay yang terlalu memuja-muja senja gitu.” ujar Rachel sebelum ia menyesap kopinya.
Alvin manggut-manggut, kemudian senyumnya merekah ketika ia teringat sesuatu. “Oh iya, gue masih belum bisa nebak selera musik lo kemaren. Kasih clue-nya dong! Satu ajaaa!”
“Kan udah gue bilang, nggak ada clue.”
“Tapi gue yakin sih, genre favorit lo bukan yang mellow gitu kan?”
“Gue kasih satu clue, tapi reward-nya gugur. Jadi kalaupun lo berhasil nebak, dinner-nya batal.” Ucap Rachel.
“NOOO! Kasih gue waktu aja buat mikir ya! Berarti gue masih ada dua kali kesempatan buat nebak kan?” kening Alvin kembali mengerut, tanda kalau si pemilik kening sedang berfikir keras.
“Petrosjakador samyang jumanji, Vin!” tiba-tiba Keara muncul dihadapan keduanya dengan membawa tiga buah dress.
“Diem lo bacot!” gerutu Alvin.
“Apaan tuh tadi Key? Petros apa tadi?” tanya Rachel menatap Keara yang kini senyum-senyum kearah Alvin, sementara Alvin malah menggerutu pelan dengan mata melotot penuh ancaman kearah Keara.
Baru saja Keara hendak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Rachel, Alvin buru-buru menyela. “Mending lo cepetan deh milihnya! Lama nih, keburu gue jadi brewokan kayak Chris Hemsworth!”
Keara hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya kecil. Untung saja, ekor matanya langsung menangkap batang hidung pesek Tasyi yang berjalan kearahnya. Dengan antusias, ia langsung menunjukkan kedua dress yang ada ditangannya untuk ditunjukkan pada Tasyi, dan meminta pendapat cewek itu.
“Pepet terossss jangan kasih kendor sampe sayang juancok mantap anjing!” seru Tasyi yang berbaik hati ingin memberi tahu Rachel makna dari ucapan Keara tadi. Namun Rachel tetap mengernyitkan dahinya bingung. Itu istilah entah dari mana yang biasanya Gilang dan Fabian pakai untuk bahan ledekan semacam ini.
“Diem deh!” desis Alvin. “Nggak kasian apa, sama gue yang udah jomblo hampir dua tahun! Baru PDKT dikit aja digangguin mulu!”
“Hati-hati, Chel, sama Alvin!” kemudian bibir Tasyi seperti mengucapkan kata ‘buaya’ tanpa suara.
Beruntungnya, Keara langsung menarik tangan Tasyi sebelum cewek itu sempat mengucapkan kalimat lain.
“Gue nggak percaya lo udah jomblo hampir dua tahun.” Ucap Rachel spontan.
“Emang muka gue ada tampang tukang bohong?”
“Muka lo itu persilangan antara tampang playboy dan brengsek.” Meskipun terdengar menyakitkan, Rachel mengucapkan itu dengan nada santai dengan cengiran lebar, membuat Alvin nggak jadi sakit hati.
“Lo percaya sama omongannya Tasyi?”
“Kenapa nggak boleh percaya?”
“Sumpah, Rach. Kayaknya lo perlu hangout sama gue seharian gitu deh, biar lo bisa kenal gue emang dari gue sendiri. Bukan dari omongan orang.”
Rachel menyunggingkan senyum tipis. “Emang dasarnya playboy mah, jago banget ya modusnya!”
Terdengar suara dengusan kesal Alvin. “Yee… malah dikatain modus!”
Selama ini, Alvin tidak pernah peduli dengan tanggapan orang lain tentang dirinya. Bahkan, setiap kali ada orang yang menaruh asumsi buruk terhadapnya, ia memilih langsung mengiyakan saja, tanpa repot-repot menyangkalnya.
Namun kali ini, entah kenapa, rasanya ia ingin benar-benar menunjukkan pada Rachel, kalau dirinya tidak sebrengsek itu. Bahwa semua kalimat yang ia lontarkan pada Rachel, itu murni karena dirinya memang tertarik pada Rachel.
“Gue tau ini kecepetan buat lo. Kita emang baru kenal beberapa minggu, tapi gue serius, Rach. Gue serius pengen kenal lo lebih baik dan pengen masuk kedalam dunia lo.” Tiba-tiba saja kedua tangan Alvin sudah berada dipundak Rachel untuk mengarahkan tubuh Rachel agar menghadap kearahnya.
Untuk beberapa saat, tubuh Rachel membeku karena terbius oleh tatapan Alvin yang menatapnya dalam-dalam. Dengan jarak tubuh keduanya yang cukup dekat, membuat Rachel bisa bercermin didalam bola mata hazel Alvin yang masih belum kedip sejak tadi.
Air mata Rachel langsung menetes ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang salah disini. Bola mata yang kini menatapnya dengan pandangan bingung itu, berhasil mengingatkannya pada sesosok laki-laki di masa lalunya.
Sekelebat memori tentang masa lalunya kembali terlintas diotaknya. Mengingatkan Rachel pada Ale beserta hangat pelukannya, juga rindu yang selama ini susah payah ia kubur dalam-dalam.
Tanpa sepatah katapun, Rachel langsung bangkit dari duduknya. Ia berjalan secepat mungkin meninggalkan tempat itu, sambil mengeluarkan ponselnya agar Budi bisa menjemput secepatnya.
Tbc~