(B)ART 4 – Mencoba Mencari Solusi

1123 Words
Syahla menangis semalaman, dia merasa bingung dengan keadaan yang kini menimpanya, air matanya terus menderas. Malam ini begitu panjang untuk Syahla, semua pikirannya tertuju pada satu hal, ‘dia tidak mau menikah’. Dia masih melanjutkan hidupnya, dia ingin sukses, dan membawa turut adiknya agar tidak lagi sengsara seperti yang dialaminya.   Saat sedang merasa frustasi wajah kedua adiknya terus terlintas di kepalanya, baju yang compang camping, ingus yang tak pernah absen di bawah hidung, dan tubuh kurus karena suka menahan lapar itu benar-benar mengganggu malamnya.   “Apa nyong kabur bae ya?” tanya Syahla.   Pikiran meninggalkan rumah seketika memenuhi kepalanya. Dia merasa tidak bisa kalau terus menerus ada di rumah orang tuanya yang jahat meski sudah merawat dirinya. Namun,  seketika dirinya merasa tidak bisa meninggalkan adik-adiknya di kampung itu sendirian.   *** Keesokkan harinya, Syahla pun seperti biasa memakai seragam dan bersiap untuk ke sekolah. Di rumahnya tidak pernah ada sarapan untuk dirinya, itulah mengapa dia tak perlu repot-repot menghabiskan waktu untuk sarapan.   “Ko pan meng ndi? (kamu mau ke mana?)” tanya Ibunya yang tiba-tiba ada di depan pintu saat Syahla mau berangkat ke sekolah.   “Ke sekolah, Ma.” Jawab Syahla.   “Ora olih! (Nggak boleh!).” kata Ibu Syahla.   “Ma, Syahla pen pinter ben dadi wong sukses! (Ma, Syahla mau pintar agar mau menjadi orang sukses!)” sahut Syahla.   “Halah! Ning sekolah ge pacaran tok karo Samsul, sok-sokan pengen dadi wong pinter. (Di sekolah cuma pacaran sama Samsul aja, sok-sokan mau jadi orang pinter.)” Ibu Syahla mengatakannya dengan sinis.   Syahla yang kesal memilih untuk mengambil tangan ibunya dan mencium tangan ibunya dengan cepat, dia malas meladeni omelan ibunya tersebut. Dari pada pusing memikirkan apa yang dikatakan oleh ibunya itu, lebih baik dia pergi. Setidaknya itulah yang ada di dalam kepalanya saat ini.   “Aja marah-marah bae, Ma. Engko cepet tua. (Jangan marah-marah mulu, Ma. Ntar cepat tua).” Kata Syahla. “Assalamualaikum!” serunya sambil berlari sekencang-kencangnya.   Syahla tertawa dalam pelariannya, dia masih mendengar ibunya berteriak dan mengatainya anak yang tidak sopan namun begitulah dirinya, Syahla tidak sanggup lagi mendengar celotehan-celotehan ibunya yang terdengar sangat menyebalkan. Dia tidak berniat untuk dewasa dan tidak sopan, namun bila orang lain memposisikan dirinya menjadi Syahla tentulah hal yang lebih ekstrem akan terjadi kepada ibunya itu.   Syahla memang kadang kesal kepada kedua orang tua angkatnya itu. Dia sering kali marah, kesal, dan lain sebagainya, namun dia sadar, meski sering diperlakukan tidak adil namun kedua orang tua angkatnya itulah yang membuat dia bertahn hingga saat ini.   Kalau sja, dulu kedua orang tua angkatnya tidak mengangkat Syahla menjadi anak karena memang tidak memiliki anak dan berniat menjadikan Syahla sebagai pancingan agar keluarga mereka memiliki anak, meski nyatanya sampai saat ini mereka belum dikaruniai anak juga, Syahla tentu ntah sedang di mana sekarang.   Setiap memikirkan hal tersebut, Syahla selalu bersyukur dan selalu berniat untuk mencoba berbakti kepada kedua orang tua angkatnya meski darah mudanya sering kali menyuarakan kalau dirinya harus membangkang karena sering diperlakukan dengan tidak adil.   “Desi!” seru Syahla,   Desi yang mendengar namanya dipanggil langsung menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia nyengir lebar ketika mendapati sahabatnya berjalan mendekatinya.   “Tumben udah berangkat.” Kata Desi.   “Biasa.” Kata Syahla.   “Hari ini hari wajib Bahasa Indonesia sama Bu Guru kan? Kita harus pake Bahasa Indonesia.” Kata Desi.   Syahla tertawa. “Ah, bilang aja biar kayak orang-orang kota kan?” goda Syahla.   “Cangkemmu, Ni … Ni …” kata Desi sambil menggelengkan kepalanya. Syahla hanya nyengir lebar.   Lalu mereka pun berjalan, seketika Syahla berpikir apakah dia harus mengatakan apa yang terjadi kepada Desi atau tidak. Dia tentu ingin mendapatkan solusi namun bila dia mengatakan kalau dirinya tengah dijodohkan dengan juragan yang sudah sangat tua itu tentu dia akan menjadi bahan olokan.   “Kok meneng?” tanya Desi.   “Kok meneng-kok meneng. Kok diem, Mbak-e!” kata Syahla meralat.   Desi hanya bisa tertawa terbahak saja mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Syahla terdiam lagi.   “Kenapa?” tanya Desi.   Syahla hanya bisa menggelengkan kepalanya. Lalu mereka pun meneruskan perjalanan mereka.   Istirahatpun datang. Di sekolahnya memang ada sebuah aturan di mana setiap hari Rabu, mereka harus menggunakan Bahasa Indonesia. Baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini memang diminta langsung oleh Guru Bahasa Indonesia mereka di sekolah. Tujuannya adalah agar ketika mereka pergi merantau, mereka tidak akan mengalami kesulitan. Namun, pada hari-hari biasa mereka tetap menggunakan Bahasa Jawa.   “Kenapa sih, Ni? Kok diam sajha?” tanya Desi.   Syahla baru saja hendak mengatakan sesuatu, namun Samsul yang merupakan teman Syahla yang lain datang dan duduk di tengah-tengah mereka. Sudah menjadi rahasia umum kalau Samsul sebenarnya suka pada Syahla Namun, Syahla tidak pernah merespons perasaannya.   “Ani, emane nyong mengatakan bahwa kamu dijodohin dengan Bang Tagor. Apakah itu bener?” tanya Samsul.   “Yeuuu, gayamu bikin kepala sakit.” Kata Desi.   “Aku ndak ngomong karo kamu.” Kata Samsul yang masih bercampur-campur bahasanya.   Samsul menatap Syahla. Syahla yang tidak kuat lagi diam pun langsung menceritakan apa yang terjadi. Namun, sebelum itu, dia pun menganggukkan kepala, “Juragan Tagor minta aku jadi istrinya-e. Nyong harus kepimen kie? Huaaa … nyong nggak sudi babarblas.” Kata Syahla.   “Duh, makanya kalau punya muka tuh jangan cantik-cantik.” Kata Desi.   “Yeuuu … biarinlah si Ani cantik ndak kaya kamu.” Kata Samsul.   “Apa?” kata Desi kesal.   “Ini, kalian ndak ada simpatinya apa yak sama akuh yang lagi galau gini?” kata Syahla sambil terlihat nelangsa.   “Trus gimana, Ni? Kamu ndak mau kan nikah sama Juragan Tagor?” kata Samsul.   “Jelas ndak mau.” Kata Syahla.   “Kamu kabur saja, Ani.” Kata Desi.   Syahla terdiam. Apa yang ada dalam pikiran Desi sangatlah sama persis dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Syahla juga menginginkan kabur. Dia tidak mau berada di rumahnya untuk sekarang, dia tidak mau dinikahi oleh bapak-bapak tua m***m itu.   “Aku juga begitu niatnya, Des. Nyong mau kabur aja.” Kata Sayhla.   Samsul terdiam dia masih asyik menyimak.   “Tapi aku kabur ke mana?” tanya Syahla.   “Kamu ke Jakarta aja, Ani. Kamu cari orang tua kamu di sana.” Kata Samsul.   Syahla terdiam. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Samsul. Syahla pun langsung berbinar. “Bener juga kamu, Sul.” Kata Syahla.   Syahla memegang tangan Samsul.   “Heh! Bukan muhrim!” kata Desi sambil menabok tangan Syahla.   Syahla pun cemberut. Dia hanya tidak sengaja memegang tangan Samsul. Tidak benar-benar ingin memegangnya.   “Ganggu aja sih, Des.” Seru Samsul.   Desi memutar bola mata bosan, “Kamu serius mau ke Jakarta?” tanya Desi.   Syahla menganggukkan kepalanya, ini adalah kali pertama Desi melihat Syahla memasang wajah serius.   “Nyong serius.” Jawab Syahla.   “Tapi kamu ke Jakarta mau samperin siapa?” tanya Desi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD