Part 5

1645 Words
Alvian mendengus kesal. Tak ia dapati siapa pun di teras rumahnya. Ia tadi diberitahu Ijah-ART susan, jika ada perempuan yang mencari dirinya. Namun setelah ia keluar, kosong, tidak ada siapa pun di sana. Setelah menutup pintu gerbang, Alvian kembali masuk rumah. "Bik!" panggil Alvian. "Ya, Pak." Ijah datang tergopoh. "Benar, tadi ada yang cari saya?" tukasnya. "Benar, Pak. Tadi orangnya nunggu di teras. Memangnya orangnya udah gak ada, Pak?" "Udah pergi. Bibik sempat tanya namanya?" "Maaf, Pak. Saya lupa tanya namanya." "Ciri-cirinya?" "Eum ... orangnya cantik, tinggi, putih, hidungnya mancung, rambutnya hitam pan ...." 'Sial, itu pasti Maharani.' Tanpa pikir panjang lagi, Alvian menyambar kunci mobil di atas nakas dan berlari ke halaman. Mendadak hatinya gelisah. Terbayang betapa remuknya perasaan Maharani saat ini. Susan yang tiba-tiba keluar dari kamar buru-buru mengejar Alvian. "Mas mau kemana?" "Aku pergi dulu ada urusan," jawab Alvian dari dalam mobil. Ia tetap melajukan mobil, tak perduli Susan yang meneriaki namanya berkali-kali. Wanita itu cemas mendapati suaminya mendadak pergi. Alvian sudah berjanji akan tinggal seminggu di rumahnya. Mobil meluncur ke arah jalan raya. Matanya mengamati setiap sudut jalan. Alvian yakin jika Maharani belum begitu jauh melangkah. Dan benar dari jarak beberapa meter Alvian trenyuh, melihat seorang wanita tengah berjalan sendirian dibawah guyuran gerimis sambil sesekali mengusap lelehan air matanya. Alvian memelankan laju mobil. Nyeri di d**a tak bisa ditahan. Laki-laki berjambang tipis dirahangnya itu sedih menyaksikan wanita yang dicintai menangis karena keegoisannya. Lalu pemandangan di depannya membuatnya kesal. Dari arah berlawanan muncul mobil yang ia kenali berhenti tepat di samping Maharani. Tak lama pengemudi mobil itu turun dan mengajak Maharani menaiki mobilnya. Seketika d**a Alvian bergemuruh melihat sang istri semobil dengan lelaki lain. "Dokter Andre! Rupanya Anda biang keroknya." "Aaaarrrgggghhh!" Alvian menumpahkan kekesalannya dengan memukul kemudi. •••• Di dalam mobil tangis Maharani semakin pecah. Bahunya terguncang hebat. Dadanya begitu sesak mendapati Alvian berbohong untuk kesekian kali. Maharani yang awalnya ingin menemui Alvian dan Susan nyatanya memilih pergi sebelum bertemu mereka. Nyalinya tak sebesar lukanya. Sempat menunggu beberapa saat di teras rumah, tapi akhirnya Maharani berlalu setelah mendengar suara berat Alvian dari dalam rumah Susan tengah bercanda dengan anak-anak mereka. Andre terdiam, bibirnya seolah terkunci. Ia turut merasakan sesak yang tengah di rasakan wanita berparas ayu di sampingnya. Mobil bergerak di tengah guyuran hujan. Andre mengarahkan kemudi menuju rumah Maharani. Lelaki berbadan tegap dengan lesung pipit di kedua pipinya sesekali menatap Maharani yang menatap kosong ke jalanan. "Bu, sudah sampai," ucapnya pelan setelah sampai di rumah yang dihuni Alvian dan Maharani. "Terima kasih, Dok." Maharani bersiap turun tapi terhenti mendengar perkataan Andre. "Jangan sungkan. Kalau Ibu membutuhkan bantuan saya, katakan saja," ucap Andre tulus. Senyum tersimpul dari bibirnya. Maharani mengangguk pelan. Jemari lentiknya mendorong pintu mobil, perlahan ia turun. Baru selangkah Maharani menginjakkan kaki di halaman rumah, sosok Alvian dengan wajah merah padam muncul dari arah dalam. Ternyata Alvian telah sampai di rumah lebih dulu. Alvian menghampiri mobil Andre. Dengan isyarat mata, Alvian meminta Andre keluar dari dalam mobil. Maharani masih berdiri di antara gerbang. Membiarkan air hujan mengenai tubuhnya. Ia mengamati ke dua lelaki yang berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. "Jangan pernah dekati istri saya!" ancam Alvian dengan kedua tangan mengepal menahan gejolak amarah di dalam sana. Sementara matanya menatap nyalang pada lelaki yang lebih tinggi darinya beberapa senti itu. Andre menatap datar pada Alvian. Ia tak ingin tersulut emosi. "Saya tidak sengaja bertemu dengan istri Anda, Pak." Andre menjawab tanpa beban. Alvian mendelik, tak puas dengan jawaban Andre yang dianggapnya membual. "Anda pikir saya bodoh!" Alvian merapatkan tubuhnya ke tubuh Andre,"ini untuk yang pertama dan terakhir, Anda paham!" Melihat suasana mulai memanas, Maharani mendekat. "Cukup, Mas. Ayo kita masuk." Setengah menyeret Maharani menarik lengan Alvian. "Dok, terima kasih." Maharani masuk ke dalam rumah di ikuti Alvian. Sementara Andre melajukan mobil meninggalkan rumah bercat hijau toska itu dengan perasaan tak menentu. "Katakan! Sejak kapan kamu berhubungan dengan Andre?" Alvian meninggikan suaranya. Saat ini Alvian dan Maharani telah berada di kamar mereka. Mbok Minah yang mengetahui majikannya tengah bersitegang memilih berdiri di ujung tangga. Ia takut jika majikan prianya hilang kendali. Maharani syok dengan pertanyaan Alvian. Bukankan seharusnya dirinya yang marah, karena mendapati Alvian dirumah perempuan lain? Mengapa justru dirinya yang mendapat tuduhan. "Aku memang gak bisa memberimu anak. Tapi aku gak serendah yang kamu pikir, Mas." Hening. Masing-masing tengah mencoba menguasai diri agar tak terbawa emosi. Maharani menatap Alvian dengan tatapan penuh luka. Kabut di sepasang matanya telah nampak. Alvian membeku. Bibirnya terasa kelu. Kata-kata Maharani begitu menohok jantungnya. "Dan Mas tidak usah mencari kesalahan orang lain jika kesalahanmu sendiri begitu banyak, Mas. Susan dan anak-anaknya cukup sebagai bukti dari keegoisanmu. Kamu berbahagia di atas penderitaanku. Apa kamu puas!" Alvian terkesiap, tak menyangka jika Maharani mengetahui tentang Susan. Ia benar-benar tak berkutik, wanita di hadapan yang terbiasa lembut kini menggebu-gebu penuh amarah. Amarah berselimut luka tepatnya. Sementara di kedua sudut mata Maharani, titik-titik kaca meluncur tak terbendung. Hatinya kembali tercabik-cabik. Belum sembuh luka yang di dapat karena pengkhianatan Alvian, kini justru ditusuk makin dalam karena Alvian menuduhnya selingkuh. "Apa kurangku padamu, Mas? Apa! Bahkan sebelum kamu menikahiku aku telah memberimu semuanya. Apa ini balasan atas semua pengorbanan yang kuberikan?" Suara Maharani terdengar parau. "Aku minta maaf." Pelan Alvian berkata. Ia selalu tak kuasa melihat Maharani menangis. "Kamu mencintainya?" Alvian diam. Ia merasa tak sanggup mengatakannya. "JAWAB!" "Iya, aku mencintainya seperti mencintaimu." Maharani tersenyum getir," seperti mencintaiku?" Alvian mencoba merengkuh tubuh Maharani, namun cepat wanita itu menghindar. "Jangan sentuh aku!" "Aku minta maaf. Aku tahu aku salah, Rani. Tapi aku ingin memiliki anak dan merasakan menjadi seorang Ayah." Remuk batin Maharani mendengar pengakuan Alvian. Air matanya semakin deras. Apa dia pikir dirinya juga tak menginginkan seorang anak? Maharani menjerit dalam hati. "Kamu egois, Mas." "Iya, aku tahu. Tapi aku akan berusaha adil sama kalian. Tolong berhenti menangis, aku sayang kamu, Rani." Lagi, Alvian mencoba memeluk Maharani namun ditepis kembali. "Adil yang bagaimana yang kamu maksud? Meninggalkanku yang terbaring di rumah sakit sementara kamu tertawa tanpa dosa dengan keluarga barumu, begitu?" "Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya, aku mohon." Maharani bergeming. Diusapnya air mata di pipi dengan kasar lalu melangkah menuju pintu. Namun langkahnya terhenti, Alvian dengan cepat mengunci pintu kamar. "Aku mohon, jangan pergi." Maharani menatap tajam Alvian yang menghalangi jalannya, tapi kemudian ia merasakan pandangannya mulai kabur. Pening di kepalanya kembali menyerang. Detik betikutnya, tubuhnya ambruk di pelukan Alvian. "Sayang!" Alvian panik melihat Maharani kembali pingsan. "Bik, Bik Minah!" Cepat Alvian membawa tubuh Maharani ke atas ranjang. ••••• Sebulan berlalu sejak pertengkaran waktu itu. Maharani masih bertahan di rumah yang dihuninya bersama Alvian. Namun sikapnya tak sehangat dulu. Ia lebih banyak diam. Tak lagi menyiapkan kebutuhan suaminya, lahir maupun batin. Wanita lulusan S1 jurusan manajemen itu lebih banyak menghabiskan waktunya di butik. Berangkat pagi dan pulang larut. Hatinya beku, sebeku cintanya pada Alvian yang menyebabkan dirinya bersikap tak acuh pada pria itu. Perubahan itu jelas dirasakan Alvian, namun pria berkulit putih itu memilih tak menghiraukannya. Baginya, dengan Maharani masih bertahan di rumahnya sudah lebih dari cukup. Dengan perhatian-perhatian kecil, Alvian yakin akan merontokkan dinding amarah di hati istrinya. "Kamu sudah bangun?" Alvian menghampiri Maharani yang tengah berdiri di balkon kamar mereka. Weekend ini ia memutuskan untuk berdiam di rumah menemani istri pertamanya. Maharani tak menghiraukan kedatangan Alvian. Ia lebih tertarik memandang tetes-tetes air hujan yang tertinggal di dedaunan sisa hujan semalam. Merasa diacuhkan, Alvian memeluk tubuh ringkih Maharani dengan erat dari arah belakang. ••••• "Ceraikan aku, Mas." Lirih, hampir tak terdengar Maharani berkata. Semalaman wanita yang dua bulan terakhir ini berwajah murung telah memikirkan langkah apa yang harus diambil. Bukan karena cintanya pada Alvian telah sirna, tapi karena hatinya tak mampu disakiti berkali-kali. Wanita berlesung pipit itu sempat mencoba merelakan dirinya diduakan. Tapi nyatanya Alvian sendiri yang bertindak seolah tak membutuhkan dirinya lagi. Lelaki yang amat dicintainya itu meninggalkannya saat ia terbaring di rumah sakit. Bagi Maharani, itu cukup sebagai bukti jika Alvian tak bisa bersikap adil. Meski semenjak pertengkaran mereka beberapa waktu lalu, Alvian mencoba mengurai kebekuan di antara mereka. Alvian terdiam. Ia semakin mengeratkan pelukannya. "Mas ...." Maharani mencoba mengurai pelukan Alvian. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu." "Aku bukan wanita yang siap berbagi hati, Mas. Hiduplah dengan Susan dan lepaskan aku." Alvian memutar tubuh Maharani. Keduanya saling berhadapan, pandangan mereka bertemu. Alvian melihat luka di mata istrinya. Tentu, luka karena perbuatannya. Sementara Maharani bisa melihat masih bisa merasakan tatapan cinta di mata Alvian untuknya, meski tak sebesar dulu. "Aku berjanji akan berubah. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Aku mohon." Alvian mengecup puncak kepala Maharani berkali-kali. "Berhenti bersikap manis padaku, Mas." Maharani menepis ke dua tangan Alvian di bahunya. "Kamu tak mencintaiku lagi?" "Ini bukan masalah cinta atau tidak cinta, Mas. Ini masalah kepercayaan yang sudah ternoda karena ...." Maharani tak melanjutkan kata-katanya. Matanya menangkap sosok wanita tengah menggendong bayi di ambang pintu kamar. Panas di dadanya seketika hadir. 'Sabar Maharani.' Alvian menoleh ke belakang melihat istrinya yang nampak terkejut. "Susan?" Ia sama terkejutnya dengan Maharani. "Temui dia, Mas." Alvian menghampiri Susan. Ia menarik tangan wanita berambut ikal itu keluar dari kamarnya. Sementara dengan tergopoh, Mbok Minah masuk menghampiri Maharani yang masih termangu di balkon. "Bu, maafin Mbok. Tadi Bu Susan memaksa masuk." "Gak apa-apa, Mbok. Dia juga istri Mas Al, jadi aku minta Mbok juga bersikap baik ke dia." "Kenapa Ibu masih sebaik ini? Jelas-jelas mereka sudah menyakiti Ibu." Maharani tersenyum, "jangan hanya mereka telah menyakiti kita, kita balik menyakiti mereka juga. Aku memang gak begitu paham tentang agama, Mbok. Tapi aku merasa tenang jika tak menyimpan dendam di dalam sini." Maharani menyentuh dadanya. "Mbok jadi terharu. Kenapa ya, Pak Al tega menyakiti Ibu." Mata wanita itu terlihat berkaca-kaca mendengar ucapan majikannya. "Aku cuma ingin berdamai dengan kenyataan, Mbok. Kenyataan jika Mas Alvian telah beristri lagi ...." "Maksud Ibu?" "Bantu aku mengemasi barang-barang, Mbok." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD