The Beginning

3045 Words
Dunia semakin tua dan banyak makhluk hidup raksasa punah seiring perkembangan zaman. Namun, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi era modern nyatanya juga disalahgunakan oleh para manusia rakus dan tak bertanggung jawab. Akibatnya, salah satu penemuan ganas dari laboratorium swasta Negara lain sengaja dibocorkan sebagai praktek langsung hingga membunuh ratusan juta nyawa manusia di muka bumi. dr. Zea Mays Coates (26) merupakan salah satu Ilmuwan Muda terbaik dari Laboratium Nasional Amerika Serikat. Demi menyelamatkan dunia, ia meracik ramuan khusus sebagai penawar virus ganas yang masih bertebaran di udara. Siang itu, Zea dan ketiga rekan kerjanya hendak pergi ke Swiss untuk menguji satu botol penawar virus di laboratorium Badan Kesehatan Dunia. Namun malang, helikopter yang mereka tumpangi bermasalah dan jatuh terbalik di perairan Sungai Amazzon. Tanpa mereka sadari, botol penawar virus itu retak hingga cairannya diserap oleh air sungai dan menimbulkan reaksi. Naas, reaksi kimia yang terjadi tidak hanya mengubah ekosistem di sekitar perairan Amazzon. Tetapi juga berdampak pada muara air hingga mengganggu hewan besar yang bersembunyi di dalam sana. Hewan purba yang telah dianggap punah, tapi nyatanya tidak. Hewan itu masih bersarang 10.000 meter di bawah permukaan laut. Hewan purba raksasa itu terganggu dengan kondisi air tak seperti biasanya hingga suhu tubuhnya berubah. Merasa tidak nyaman, hewan itu kemudian menembus ke atas lalu mengelilingi berbagai Samudra demi menemukan titik utama air yang tercemar. Bagaimana nasib mereka saat terdampar di sungai paling berbahaya di dunia? Lalu, bagaimana reaksi penghuni Sungai Amazzon saat tahu bahwa dunia mereka telah tercemar? Benarkah hewan purba masih hidup di era modern dan bersembunyi agar tak terjamah manusia? Atau memang benar jika alam masih menyembunyikan rahasianya yang lain? Mari berimajinasi dan belajar banyak dari pengalaman ini. Percaya atau tidak? Nyatanya, manusia belum mampu menjamah setengah dari luasnya bumi. * * Zaman semakin berubah. Perubahan itu tak luput dari kecerdasan manusia yang selalu haus akan ilmu. Lalu akibatnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong para ilmuwan dari berbagai dunia berlomba-lomba melahirkan penemuan baru sebagai pembuktian kehebatan negara masing-masing.             Yah, setidaknya kalimat itu sangat cocok jika dikaitkan dengan situasi dunia yang kian hari, kian memburuk. Sesuatu yang merajalela mengubah bumi hingga menyebabkan pandemik global di seluruh penjuru dunia.             Kini, tidak satupun manusia yang berani melawan alam. Karena alam juga sedang bertarung melawan keganasan baru yang diciptakan oleh para manusia serakah, manusia biiadab penghancur bumi. Bukan berarti alam tidak tahu apa-apa. Bukan berarti alam tidak bisa membalas. Bukan berarti alam diam saja. Sebab alam juga memiliki banyak rahasia yang masih tersimpan rapat. Rahasia yang tidak akan bisa diketahui oleh manusia, walau secanggih apapun alat yang diciptakan. Segala rahasia yang telah dianggap punah tapi masih disimpan rapat oleh alam. Hanya sebagian orang-orang cerdas beradab yang mempercayai dan menyimpan rapat rahasia besar alam. Alam mungkin akan membiarkan manusia memanfaatkan mereka untuk sebuah kebaikan. Tetapi tidak jika sebaliknya. Karena itu akan membuat alam menjadi murka dan membalas manusia dengan caranya sendiri. … Orcha’s Place Apartment, Washington D.C, USA., Kamar Zea., Pagi hari., “Kak Zea!!” teriak seseorang dari lantai bawah. Teriakan nyaring itu lagi-lagi membuat gatal telinganya. Dia mengabaikan itu, dan menikmati suara peralatan masak di dapur yang terdengar jelas di indera pendengarannya. Tidak hanya aroma wangi masakan yang menggunggah seleranya, tapi perutnya juga mulai keronconngan.             Hari ini, dia akan sangat sibuk sekali. Bukan untuk pekerjaan yang biasa dia lakukan, tetapi untuk meneruskan kegiatan baru yang menjadi fokus utamanya selama hampir beberapa bulan terakhir.             Setelah menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya, kini ia berjalan menuju cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya disana. Dia memperhatikan detail busananya pagi ini. “Okay, Zea! Sudah selesai, saatnya berkemas dan segera berangkat. Hari ini kau akan dibantai dengan banyak konsentrasi pekat!” gumamnya asal bicara seakan dirinya tengah memarahi seseorang.             Kakinya melangkah menuju meja kerja, membereskan buku dan benda-benda yang akan ia bawa ke tempat kerjanya. “Ini jangan lupa, ini juga, ini juga iya, dan … ini juga,” dia mengambil satu persatu barang yang ia sebutkan tadi, lalu menyusunnya di sebuah kantungan tas berbahan jeans. Tidak lupa ia meletakkan ponsel di tas khususnya.             Setelah dia selesai mempersiapkan semua keperluannya, dia mengambil snelli miliknya dan tidak lupa tanda pengenal dengan tinta emas disana. “Okay, cukup! Sekarang, saatnya berangkat!” gumamnya bersemangat. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, lalu menutup rapat pintu kamarnya. ..**..             Zea Mays Coates, wanita berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai seorang Dokter Umum sekaligus Ilmuwan Muda di Laboratorium Nasional Amerika Serikat. Dia merupakan salah satu Ilmuwan terbaik dengan segudang karir dan prestasi yang sudah diakui oleh Badan Kesehatan Dunia.             Berbagai penemuannya sudah disahkan sebagai hal yang bermanfaat, bahkan telah diaplikasikan langsung oleh beberapa perusahaan swasta bertaraf Internasional untuk dijadikan sebagai produk yang berguna. Tidak hanya bangga, Laboratorium Nasional Amerika Serikat bahkan mengapresiasi kesuksesan Zea di usia muda dengan memberinya sebuah ruangan laboratorium khusus atas namanya.             Dia akrab disapa sebagai dr. Zea. Dia terkenal dengan sifat rendah hati dan sangat ceria. Bahkan dia sering dijuluki sebagai Ilmuwan muda tercantik di Laboratorium Nasional Amerika Serikat. Tidak sedikit para Dokter atau yang satu profesi berlomba untuk merebut perhatiannya.             Siapa yang tidak terpesona dengan dr. Zea Mays Coates. Wanita cerdas, cantik, dan berprestasi.             Tinggi tubuhnya 165 cm. Rambutnya hitam kepirangan. Senyumnya sangat manis. Dan yang membuat seorang Zea menjadi wanita yang sering diincar oleh pria sekelas dengannya adalah bola mata yang ia miliki. Kornea matanya sangat indah.             Zea merasa bahwa banyak sekali wanita yang memiliki kornea mata seperti yang ia miliki. Tapi, entahlah. Zea merasa jika keberuntungan lebih berpihak padanya sehingga para lelaki menyukai tatapannya. … Dapur.,             Seorang wanita lansia berusia 69 tahun tersenyum saat melihat cucu kebanggaannya berjalan menghampiri mereka di dapur yang sederhana ini. “Pagi, Sayang. Hari ini kau kerja?” tanya wanita itu masih merapikan meja makan.             Seorang anak perempuan berusia 11 tahun menarik kursi meja makan, dia segera menghampiri wanita tua itu. “Nenek duduk saja. Biar Erica yang menyusun semuanya. Sejak tadi Nenek sudah berdiri, bukan?” gadis itu mengambil alih pekerjaan yang dilakukan oleh wanita lansia itu. “Oh terima kasih, Sayang. Kau memang cucuku yang sangat cantik,” ujar wanita itu mengusap lengan sang cucu.             Zea menarik satu kursi tepat di sebelah wanita lansia itu. “Pagi, Nek. Iya, hari ini Zea akan pulang terlambat.” Dia meletakkan semua barang-barangnya di sudut meja yang kosong. Dia lalu memeluk sang Nenek tercinta. “Kak, aku sudah menyiapkan itu untukmu. Bekalmu juga sudah aku siapkan. Coba kau lihat, apa bekalmu kurang?” tanya gadis itu menyodorkan sebuah bekal dua tingkat di dekat sang Kakak, Zea. ..**..             Zea hidup bersama dua orang keluarganya yang tersisa. Seorang wanita lansia berusia 69 tahun, bernama Amber Maurent Coates. Dan seorang anak perempuan berusia 11 tahun, bernama Erica Mays Coates.             Hanya Amber dan Erica yang tersisa di keluarganya setelah pandemik global melanda dunia. Pandemik global yang terjadi setahun lalu, yang membuatnya geram bahkan hampir murka terhadap Badan Kesehatan Dunia yang tidak mampu bertindak cepat mengusung masalah yang terjadi kala itu.             Meski ia hanya tinggal bertiga dengan Nenek dan adiknya, tetapi tidak membuat Zea terus dirundung rasa sedih. Justru mereka berdua adalah penguatnya untuk melakukan penelitian yang sampai saat ini masih ia tekuni.             Kesehariannya selalu disibukkan dengan kerja, kerja, dan kerja. Hanya itu yang bisa Zea lakukan untuk menyibukkan waktunya agar ia tidak terus memikirkan penyebab kematian seluruh anggota keluarganya.             Zea mengemban tugasnya menjadi tulang punggung keluarga sejak kedua orang tuanya tiada. Apalagi pandemik global yang masih terjadi hingga sekarang menyebabkan usaha yang dirintis keluarganya kini gulung tikar.             Tidak ada pemasukan lain untuk keluarganya selain gaji yang ia harapkan dari Negara. Meskipun begitu, Zea tidak terlalu memikirkan ekonomi keluarganya.             Selain masih memiliki banyak tabungan peninggalan kedua orang tuanya, Zea juga memiliki penghasilan besar setiap bulannya. Tentu saja penghasilannya ia dapat dari hasil kerja keras dan berpikir demi menciptakan sebuah penemuan baru.             Usianya genap 26 tahun, tapi Zea sama sekali tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan pria manapun. Bukan ia tidak normal, tapi Zea hanya mau fokus pada karir dan penelitian yang masih ia geluti.             Fokusnya selain itu adalah kesehatan keluarganya. Zea tidak mengizinkan nenek dan adiknya untuk keluar rumah, apapun alasannya.             Dia tidak ingin sesuatu buruk terjadi pada dua anggota keluarganya yang tersisa. Zea sangat menyayangi mereka. Sebab, hanya mereka alasan Zea bisa bertahan dan masih menerima pekerjaan menjadi seorang Ilmuwan di Laboratorium Nasional Amerika Serikat. … “Kak, aku sudah menyiapkan itu untukmu. Bekalmu juga sudah aku siapkan. Coba kau lihat, apa bekalmu kurang?” tanya gadis itu menyodorkan sebuah bekal dua tingkat di dekat sang Kakak, Zea.             Zea meliriknya sekilas. Dia tampak berpikir. Namun beberapa detik kemudian, dia mengangguk kecil. “Cukup,” jawabnya lalu duduk tepat di samping kiri sang Nenek.             Amber menyodorkan sepiring sandwich untuk cucunya. “Sarapan dulu, Zea. Kau harus mengumpulkan banyak energi agar bisa berpikir saat bekerja nanti,” ujarnya membelai puncak kepalanya.             Zea mengulum senyuman manisnya. Lalu mengambil botol antiseptik yang tersedia disana. Dia mencuci kedua tangannya menggunakan cairan di dalamnya sebelum memakan sarapan paginya. “Kau tidak masuk kelas pagi ini?” tanya Zea melirik sang Adik yang masih sibuk di meja masak.             Tanpa melirik ke arah sang Kakak, kepalanya menggeleng pelan. “Tidak. Jadwalku jam 11 siang nanti. Sebab guru kami akan mengadakan rapat sampai jam 10. Lagi pula, hari ini kami ada ulangan,” jelas Erica menjawab pertanyaan kakaknya.             Zea mengangguk paham sembari mengunyah sarapan paginya. Dia melirik ke arah sang Nenek, Amber yang justru melihatnya saja. “Nenek tidak sarapan? Apa kalian sudah sarapan pagi? Sudah minum vitamin?” tanya Zea mencecar mereka.             Amber tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tadi kami sudah makan beberapa potong roti selai. Dan sudah minum vitamin. Hanya kau yang tertinggal, Sayang.” Amber menuang air mineral di gelas kosong yang ada disana.             Erica melihat mereka sekilas. “Kak, vitamin kita sudah habis. Aku lupa mengatakannya padamu kemarin sore,” ujarnya lalu membawa sebuah mangkuk sedang berisi beberapa buah yang sudah ia potong. Dia berjalan mendekati mereka disana.             Zea melirik sang Adik. “Aku sudah membelinya. Tapi masih di dalam mobil. Aku lupa mengatakannya padamu. Coba kau ambil di mobilku,” ujarnya sambil mengunyah dan mengarahkan pandangannya ke arah kunci mobil miliknya yang ada di ujung meja makan.             Erica mengangguk paham, dan mengambil kunci mobil itu. Dia segera melangkahkan kakinya menuju garasi mobil mereka yang tertutup rapat.             Amber mengambil mangkuk kecil disana. “Kau harus banyak makan buah, Sayang. Vitamin memang penting, tapi asupan alami seperti ini juga penting, bukan? Kau harus menjaga dirimu, Sayang.” Amber kembali menasehati cucunya, melihat Zea sudah meneguk segelas air mineralnya.             Dia mengangguk kecil. “Iya, Nek. Nenek jangan khawatir. Aku akan menjaga diriku dengan baik diluar rumah. Aku tidak pernah melupakan alat pelindung diri lengkapku saat bekerja dan saat berhadapan dengan rekan kerjaku,” jelas Zea seraya menenangkan pikiran sang Nenek.             Zea tahu jika wanita lansia ini pasti sangat mengkhawatirkannya. Terlebih lagi ia bekerja tidak hanya di luar rumah. Tetapi di sebuah laboratorium, dimana berbagai penyakit pasti ada disana. Yah, neneknya pasti berpikiran jika sebuah laboratorium merupakan tempat yang sangat berbahaya. Padahal tidak, sebab laboratorium tempat ia bekerja memang dikhususkan sebagai tempat penelitian murni. Berbeda lagi jika laboratorium khusus digunakan untuk pemeriksaan sebuah spesimen atau penelitian sebuah penyakit baru. Memang berada di satu gedung yang sama. Tetapi sudah berbeda departemen. Tentu saja jarak antara laboratorium tempat ia bekerja dengan laboratorium penelitian penyakit sudah berbeda jauh. Tapi Zea tidak bisa menjelaskan detail.             Dia hanya bisa mengatakan jika Laboratorium Nasional Amerika Serikat memang sebagai tempat penelitian. Tetapi, sebisa mungkin mereka mengamankan laboratorium agar terbebas dari virus berbahaya yang masih melanda dunia.             Erica telah kembali sambil membawa tiga kotak berukuran sedang. “Kak, kenapa berbeda? Merk dan warnanya juga tidak sama?” tanya Erica lalu meletakkan tiga kotak berukuran sedang itu diatas meja makan.             Zea meliriknya sekilas. “Kandungannya tetap sama. Hanya berbeda perusahaan saja. Oh iya, kenapa kau tidak mengambil masker yang sudah kubeli?” tanya Zea lagi. Sebab Erica hanya membawa kotak vitamin saja.             Erica duduk disana. “Sudah. Aku meletakkannya di lemari dekat pintu. Tanganku tidak sanggup membawa 10 kotak masker itu,” ujarnya sambil mengambil sepotong buah yang ada di mangkuk itu.             Zea mengangguk paham. Ia ikut memakan buah yang sudah disediakan, lalu melirik sang Nenek sekilas. “Nenek dan Erica tidak boleh pergi kemanapun. Kalau ada yang datang mengantar koran atau pesanan kalian. Suruh mereka meletakkannya di depan pintu saja. Setelah mereka pergi, baru kalian ambil barangnya. Tetapi harus kalian menyemprotnya dengan cairan desinfektan terlebih dulu sebelum masuk ke dalam rumah,” jelas Zea panjang lebar seraya mengingatkan mereka kembali.             Erica menarik panjang napasnya. “Sampai kapan kau akan mengingatkan hal itu pada kami, Kak? Apa kau tidak bosan?” tanya Erica memutar malas bola matanya.             Tentu saja dia masih ingat itu semua. Sebab pemerintah memang melarang mereka untuk beraktivitas banyak di luar rumah. Apalagi keluarga mereka telah tiada akibat virus yang melanda dunia.             Amber mengangguk paham. “Iya, Sayang. Tentu saja kami masih mengingat itu. Kita juga sudah membuat papan pengumuman di depan rumah. Setiap orang yang datang, mereka pasti akan membacanya. Kau tidak perlu khawatir,” ujar Amber lagi.             Zea menghela panjang napasnya. Dia tahu kalau adiknya paling tidak suka jika ia mengingatkan hal itu secara berulang. Lagi pula, apa salahnya dia mengingatkan. Dia juga tinggal mendengarkannya saja, pikirnya. “Ya sudah. Aku hanya mengingatkannya saja. Siapa tahu kau lupa pesanku saat teman-temanmu mengajak kau keluar rumah,” ujarnya sembari beranjak dari duduknya.             Erica mendengus kesal. “Bagaimana mungkin? Supaya polisi menangkap kami? Lalu kami harus membayar denda karena sudah menyebabkan kerumunan di sebuah kafe tertutup, begitu?” sindir Erica sedikit sebal terhadap ucapan kakaknya.             Melihat kakaknya hendak berangkat bekerja, Erica langsung beranjak dari duduknya dan membantu wanita itu membawa barang-barangnya menuju mobil. “Lagi pula, kami sudah beraktivitas di dalam rumah. Sudah terbiasa selama 1 tahun terakhir. Bahkan kami sudah lupa, apa itu arti berkumpul beramai-ramai,” ujar Erica lagi.             Amber mengulum senyumnya. Dia tahu kalau cucunya yang masih kekanakan ini sudah sangat bosan hidup di dalam rumah. Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menetap di dalam rumah agar terhindar dari virus yang bisa mengancam nyawa. “Jangan lupa pakai maskermu, Sayang.” Amber mengingatkan cucunya.             Zea mengangguk paham. “Iya, Nek. Ada di dalam mobil. Aku akan memakainya di mobil,” ujarnya sambil berjalan menuju garasi rumah lewat pintu penghubung di dalam rumah.             Amber dan Erica mengantar Zea sampai ia pergi dari rumah. Begitulah yang mereka lakukan setiap hari. Menyemangati Zea dan membuat wanita itu tetap sehat dengan dukungan mereka.             Sebab Amber dan Erica tidak memungkiri satu hal, jika saja kesehatan tubuh Zea menurun. Lalu ia sakit saat berada di luar rumah. Meski mereka tahu kalau Zea bisa menjaga diri, tetapi hal buruk selalu menghantui pikiran mereka.             Terutama Amber, doanya tidak pernah putus setiap hari. Meminta pada Tuhan agar selalu melindungi cucunya dimana pun ia berada. *** 35 menit kemudian., National Laboratory of The United States, Washington D.C, USA.,             Sebelum memasuki laboratorium besar ini, Zea sudah memakai alat pelindung dirinya termasuk barang-barangnya yang sudah dilindungi oleh pembungkus. Kini, dia berjalan menuju laboratorium miliknya. “Pagi, Dokter. Pagi, Professor …”             Dia menyapa setiap orang yang berpas-pasan dengannya. “Pagi, Zea …” “Pagi, dr. Zea. Bagaimana dengan pagimu?”             Terkadang, dia menyempatkan diri untuk berbincang sebentar dengan mereka sebelum dia fokus pada pekerjaannya. “Ah, seperti biasa. Otakku penuh dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia literasi,” ujarnya sambil tertawa pelan.             Setelah berbincang sebentar, Zea melanjutkan langkahnya menuju ruangan miliknya. Hari ini, dia tidak ingin seorang pun mengganggu waktunya. … Laboratorium Biologi.,             Dia memakai alat pelindung diri lengkap di tubuhnya. Sebab dia hendak memasuki ruangan khusus, tempat dimana dia melakukan sebuah uji coba.             Zea memperhatikan situasi sekitarnya. Dia pikir, rekan kerjanya yang lain sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.             Sebab Zea tidak mau jika ada seorang pun yang melihat bagaimana cara dia menguji spesimen dan membuat beberapa cairan uji coba khusus. Itu adalah rahasianya, bahkan keluarganya pun tidak mengetahui hal ini.             Zea masuk ke dalam ruangan khusus itu dengan tombol angka dan sidik jarinya. Setelah itu, dia segera masuk ke dalam, dan menutup pintu itu kembali.             Dia mendekati inkubator khusus, dimana ia mengembangbiakkan bakteri yang dicampur oleh virus buatannya. ‘Kau harus mengujinya sekarang, Zea. Mereka sedang sibuk. Kau tidak boleh menyia-nyiakan waktumu,’ bathinnya bergumam dalam hati.             Tetapi, Zea lupa meredam ruangan ini menjadi kedap suara hingga ia bisa mendengar suara keributan yang terjadi di luar laboratorium utama. ‘Keributan apa itu?’ bathin Zea bertanya-tanya.             Dia mengurungkan niatnya untuk mengecek hasil pembiakan spesimennya. Sebab suara keributan diluar sana lebih membuatnya penasaran. ‘Kenapa mereka ribut di depan laboratoriumku!’ bathinnya kesal.             Zea keluar dari ruangan itu, dan melepas kembali atributnya. Betapa kesalnya Zea saat pekerjaannya terganggu dengan suara keributan yang tidak biasa ini. … Koridor Laboratorium.,             Dua orang polisi membuat bingung para pekerja laboratorium biologi. Bahkan tiga satpam terlihat membantu mereka mendatangi laboratorium yang mereka tuju. “Hey, ada apa ini?!” “Apa yang kalian lakukan? Kalian tidak bisa sembarangan memasuki laboratorium kami?!”             Beberapa pekerja laboratorium tampak tidak suka dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba. “Maaf, kami hanya mau menjemput seseorang disini …” “Siapa yang kalian maksud?! Hey satpam, seharusnya kalian bisa menyuruh mereka untuk menunggu di depan pintu masuk!”             Dua orang pria berstatus polisi itu tidak peduli. Mereka terus berjalan mengikuti langkah kaki satpam yang ada di depan mereka. … Laboratorium Biologi., “Ini ruangannya, Pak. Silahkan masuk,” ujar salah satu satpam mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam. “Hey, kalian harus memakai pakaian pelindung!” pungkas salah satu pegawai laboratorium menghalangi jalan mereka.             Seorang wanita keluar dari sana, dan menatap bingung mereka. Ruangan utama laboratorium ini sangat berisik sekali. “Ada apa ini?” tanya wanita itu melihat rekan kerjanya seakan menghalangi jalan dua orang polisi itu. “Apa benar Anda yang bernama dr. Zea Mays Coates?” tanya salah satu polisi menatapnya. Deg!             Zea mengangguk ragu dengan kening berkerut. “Benar, itu saya. Maaf, ada perlu apa menjumpai saya?” tanya Zea menyelidiki. Ia menatap rekan kerjanya dan beberapa satpam sudah berdiri di ambang pintu laboratorium miliknya.             Dua orang polisi itu saling melirik satu sama lain. Lalu, salah satu dari mereka menunjukkan sebuah surat di hadapannya. “Saya diperintahkan untuk membawa Anda, dr. Zea. Ayo ikut dengan kami,” ujarnya dengan sangat sopan. Deg! “Saya? Apa salah saya?!” * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD