Chapt 23. The Amazzon River. Panic and Death

2329 Words
… Amazzon River, South America., Mereka semua terjebak di Sungai ini. Sebab kondisi yang sangat tidak memungkinkan sekali, Axton dan Hugo langsung menolong Zea dan dr. Viona yang mengambang disana karena terhempas oleh air sungai yang terus bergoyang hebat. Axton dan Hugo hendak menolong Zea dan dr. Viona, tapi salah satu dari pria itu mulai tersulut emosi dan tidak terima atas sikap mereka yang membuat helikopter terbalik. Mereka menghajar Axton di sungai itu, tapi Hugo langsung membantunya. “Gara-gara kau! Helikopter kami rusak parah, berengsekk!!” Bagghh!! Bugghh!! Bagghh!! Bugghh!! “Aahhkk! Apa-apaan kau!” Air sungai semakin bergelombang. Axton menghindar dengan menyelam ke dalam air. Dia meninju bagian perut pria itu. Bagghh!! Bugghh!! Bagghh!! Bugghh!!            Hugo ikut meninju wajah salah satu pria itu hingga tenggelam ke dalam air sungai. “Kalian adalah pengecut!! Dasar binatangg! Berengsekk!!” Bagghh!! Bugghh!! Bagghh!! Bugghh!! “Sudah!! Hentikan itu!! Hentikan!!” teriak dr. Viona yang menatap mereka berjarak. Dia menjangkau lengan Zea yang juga terombang-ambing sama seperti dirinya. “Zea! Pegang tanganku! Ayo, kita ke puing-puing itu!” ujar dr. Viona.            Zea mengangguk kecil. “Iya, Dokter! Aku … kepalaku tiba-tiba pusing sekali,” ujar Zea.            Zea dan dr. Viona berenang menuju puing-puing helikopter yang bisa membuat mereka bertahan di tengah sungai ini. Tidak peduli jika Axton dan Hugo tengah berkelahi dengan dua pria itu.            Namun, saat mereka hendak menjangkau puing-puing helikopter yang mereka inginkan, tiba-tiba saja Zea menjerit sebab melihat salah satu pria menyeret sebuah pusing berukuran besar, hendak memukulnya ke arah Axton dan Hugo. “Axton!! Hugo!! Awas!! Minggir kalian!!” teriak Zea.            Terkejut, dr. Viona langsung mengerahkan seluruh tenaganya, berenang mendekati mereka berempat. Tidak peduli jika air sungai masih terus bergelombang akibat hempasan helikopter yang terjatuh. “Hey! Kalian!! Berhenti!!” teriak dr. Viona. Pertarungan sengit di sungai itu tidak terelakkan. Zea dan dr. Viona sudah menjerit menyuruh mereka untuk berhenti. Apalagi sungai ini mulai membuat tubuh mereka sedikit menggigil. Sayangnya, suara mereka tidak cukup keras membuat keempat orang pria itu menghentikan pertengkaran mereka. Tanpa mereka sadari, dua ekor reptil bertubuh panjang di bawah sana mulai mendatangi area yang mengganggu dunia mereka. Mereka dan spesies mereka yang lain memang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam air. Tapi, hanya mereka berdua yang mencari tahu kejadian yang membuat dentuman keras di sekitar perairan Amazzon. Air sungai Amazzon bergelombang hebat hingga membuat mereka semua tidak nyaman. Penguasa perairan ganas ini mulai mendekati sesuatu yang mereka yakini sebagai penyebab terganggunya istirahat mereka. Hewan dengan tubuh sepanjang 8 meter dan lebar hampir mencapai 1 meter. Berat tubuhnya 250 kilogram. Mereka bergerak cepat di bawah permukaan air sebab melihat banyak kaki manusia disana. Dari kejauhan, dua ekor reptil itu saling melirik satu sama lain. Merasa tidak beres jika perairan mereka mulai terancam, mereka semakin bergerak cepat ke arah sana, meliak-liukkan tubuh mereka yang besar dan panjang. “Axton! Hugo! Kalian hentikan ini!! Hentikan!!” teriak dr. Viona masih terus berenang. “Dokter! Kemarilah! Jangan kesana!” teriak Zea yang takut jika dr. Viona terkena lampiasan amarah keempat pria itu.            Tadinya Zea hendak membantu mereka. Namun, teriakan Zea membuat dr. Viona menghentikan gerakannya. Dia kembali ke arah Zea. “Kalian jangan bertengkar!! Kita sudah terjebak disini! Jadi pertengkaran kalian hanya sia-sia!!” teriak dr. Viona mencoba untuk menasehati mereka. Meskipun ia sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah sia-sia.            Aktivitas fisik keempat pria itu melonggar dan masih mengatur napas masing-masing. Mereka saling membuat jarak dan melempar tatapan tidak suka. “Gara-gara kau!” ketus salah satu pria menunjuk ke arah mereka. “Kami?? Apa kalian tidak sadar diri?!” sahut Hugo ketus. “Dasar berengsekk!!” geram salah satu pria menepuk kuat area permukaan sungai.            Mereka semua berada di posisi masing-masing. Zea dan dr. Viona saling berdekatan dan bertahan pada puing-puing helikopter. Sementara keempar pria itu masih berdiam diri.            Yah, mereka semua tengah mengamati permukaan sungai yang mulai tenang. Disini, adalah tempat mencengkam bahkan sangat mematikan. Perasaan khawatir dan takut di benak mereka sudah ada sejak tubuh mereka terjatuh di perairan terlarang ini. Ketika mata mereka menatap ke arah Hutan disana. Yah, itu adalah Hutan Hujan Amazzon. Hutan yang paling mematikan bagi kaum manusia yang mungkin nekat terjun ke area ini. Tidak ada seorang pun dari mereka yang bersuara. Hanya gerakan tangan agar mereka tetap berada diatas permukaan air yang sangat dingin ini. Enggan saling berdekatan, jarak Axton dan Hugo cukup jauh dari dua pria itu. Sementara Zea dan dr. Viona, mereka juga berada jauh dari sisi belakang Axton dan Hugo. Lelah, hampir 5 menit mereka mengapung di perairan ini setelah perkelahian mereka terhenti. Mata mereka melirik ke arah Hutan disana. Sangat lebat dan pekat sekali. Bahkan area disini sangat dan sangat hening. Seperti tidak ada kehidupan apapun. Walau mereka tahu, kehidupan disini jelas ada yaitu para monster mengerikan. “Apa kita akan disini saja?? Sebaiknya, kita ke arah sana! Dari pada harus berada di sungai ini! Sepertinya itu area daratan!” ujar dr. Viona dengan nada bicara sedikit tinggi.            Mereka semua masih saling berdiam diri sambil mempertahankan tubuh mereka. Hugo berenang menuju dr. Viona dan Zea untuk ikut berpegangan pada puing helikopter yang lumayan besar.            Axton juga sama. Namun, sebelumnya dia sempat memejamkan mata. Dia tidak tahan dan menyelam ke bawah untuk membasahi seluruh tubuhnya. Entahlah, matanya sangat perih sekali. Mungkin karena konsentrasi air sungai ini tidak terbiasa dengan mata mereka yang hidup di perkotaan, pikir Axton.            Ketika matanya terbuka dan mengerjap sedikit melihat ke bawah air. Deg! Glek! “Oh Tuhan??” gumam Axton dengan degup jantung mulai berdetak tidak karuan.            Tubuhnya kembali ke permukaan. Dengan gerakan cepat, Axton menyusul Hugo yang berenang menuju dr. Viona dan Zea. “Hey? Ada apa??” tanya Hugo yang sempat aneh merasakan air bergoyang, ternyata Axton bergegas berenang bahkan melampauinya sekarang. “Ada ular dibawah sana!! Besar sekali!!” teriak Axton. “Cepat menghindar dari sana, Hugo!! Oh Tuhan!! Selamatkan kami dari sungai ini!” sambung Axton lagi terus berenang menuju dr. Viona dan Zea. “Apa?!” Zea membelalakkan mata. “Astaga!! Axton, jangan bercanda!!” teriak dr. Viona hendak naik ke atas puing-puing helikopter.            Hugo mulai berkeringat dingin. Tanpa meminta penjelasan, dia langsung berenang mendekati mereka. “Dimana kau melihatnya, Axton!!” teriak Hugo sambil berenang. Dia mengambil satu puing helikopter di dekat Zea dan dr. Viona. Seketika, dia mengingat sesuatu. “Astaga!! Sungai Amazzon?! Aku lupa kalau sungai ini—” ucapannya berhenti menatap ketiga timnya juga berwajah khawatir. Sementara kedua lelaki itu masih berdiam diri dan tampak bingung dengan ucapan Axton barusan. “Apa maksud kalian?!” “Dimana dia?!” Tanpa mereka sadari, seekor reptil raksasa mulai menyerang salah satu dari mereka lalu. “Aahkk!! Tolong aku!!” teriak seorang pria mulai terlilit dan tubuhnya terangkat ke atas. Kedua tangannya melambai ke atas meminta pertolongan. Deg! Glek! “Oh … My God!” “Oh, God! Anakonda??”            Anakonda, ular raksasa yang merupakan salah satu penghuni paling mematikan di Sungai Amazzon ini. Tidak ada kata ampun bila reptil melata raksasa ini sudah menyerang mangsanya. Mereka terkejut. Degup jantung mereka mulai tidak terkontrol. “Pergi dari sana! Hey, kau!!” teriak Hugo. Zea dan dr. Viona menjerit, menyuruh salah seorang pria untuk segera menghindar dan mencapai daratan yang cukup jauh dari posisi mereka saat ini. “Bagaimana ini?! Bagaimana dengan nasib kita!” ujar Axton melihat ke sekeliling mereka.            Semua pandangan mereka tertuju ke arah sana. Air sungai bergoyang hebat, sebab salah satu Anakonda lain mulai melilit bagian besar helikopter di sekitar sana hingga helikopter itu remuk dan hancur tidak bersisa. Axton dan Hugo langsung mengambil satu puing helikopter untuk tubuh mereka. “Kita harus segera mencapai daratan! Setidaknya kita bisa memanjat pohon!” ujar Axton.            Zea dan dr. Viona masih menatap ke arah sana. Tubuh mereka tegang dan sangat syok melihat Anakonda raksasa disana melahap pria itu dalam sekejab. “Oh Tuhan!!” teriak pria itu mulai berenang menuju mereka berempat.            Mereka berempat masih berada di posisi yang sama dan enggan untuk bergerak dari sana. Entah mereka akan selamat atau tidak, tapi mereka masih belum ingin bergerak dari area ini, area yang terdapat banyak puing-puing helikoper.            Setidaknya, area seperti ini mungkin akan menyulitkan Anakonda memangsa mereka. Itulah harapan dan yang ada di pikiran mereka saat ini.            Tapi, belum ada beberapa detik mereka melihat pria itu berenang ke arah mereka. Air sungai ini terasa tenang.            Tidak terlihat ada tanda-tanda serangan Anakonda ke arah mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka bergegas berenang menuju area daratan. “Ayo, cepat! Kita kesana! Cepat!” ujar dr. Viona berenang sembari mengajak Zea yang sudah mengangguk kecil. “Ayo, Zea! Bertahanlah sedikit lagi!” ujar Axton menuntunnya.            Zea mengangguk paham dan berenang sedikit berjarak dari mereka. Yah, mereka berlima berenang bersama-sama menuju daratan kecil disana. Sembari berenang, Zea menoleh ke belakang. Dia menjerit melihat puing-puing helikopter menyingkir seakan ada yang bergerak di dalam air. “Itu dia?!!”            Mereka semua melihat ke arah belakang. “Tenang!! Semua tenang!!” teriak Axton.            Pria yang ikut bersama mereka, dia terus berenang menuju daratan dari sisi berbeda. Namun, dia sempat melewati Zea dan mendorong tubuhnya. “Kau harus mati!” ketus pria itu. “Aahhkk!” pekik Zea kehilangan keseimbangan. Mereka bertiga melihat ke arah Zea. Axton dan Hugo segera mengejar pria itu. Mereka kembali tertengkar dengan seorang pria yang tersisa, sebab pria itu hendak berenang menuju daratan, tapi sempat mendorong Zea hingga hampir tenggelam. Axton dan Hugo tidak terima dan mengejar pria itu. Mereka mendekatinya dan kembali memukul pria itu. “Berengsekk!!” Bugghh!!            Satu tinjuan Axton mengenai wajah pria itu Bugghh!! Bugghh!!            Hugo menambah tinjuan di sisi wajah lain pria yang sama. “Berani sekali mengatakan itu pada sahabatku!” Dr. Viona berenang mendekati mereka untuk melerai. “Cukup!! Hentikan ini!” jerit dr. Viona. Zea masih berada diantara mereka. Selang berapa detik, dia tersingkirkan hingga kepalanya terkena beberapa puing yang terhempas ke arahnya. “Aahhkk!” pekiknya lagi sambil memegang sisi kepalanya. Denyutan di kepalanya akibat dari hempasan puing helikopter beberapa menit lalu belum reda, kini bertambah lagi. Zea mulai merasakan pening yang amat dahsyat. Axton memperhatikan reaksi Zea, dia murka dan meninju habis-habisan pria itu. Bagghh!! Bugghh!! Bagghh!! Bugghh!! “Bajingann!” geram Axton lalu menariknya ke arah sana, jauh dari area mereka. “Dasar berengsekk!! Jangan dekati kami!” ketus Axton mendorong tubuh pria yang sudah terlihat lemas itu.            Hugo masih melindungi Zea dan menahan tubuhnya. “Pegangan ini, Zea! Kau akan baik-baik saja!” ujar Hugo membantu Zea. Axton kembali berenang menuju mereka. Namun, tiba-tiba saja air sungai bergoyang hebat. Satu Anaconda menunjukkan tubuh besarnya diatas permukaan air. Mereka semua terkejut melihat ke arah sana. Pria itu hendak berenang mendekati mereka lagi. “Kalian!! Tolong aku!!” teriaknya sembari berenang. Tenaganya sudah habis. Gerakannya sangat lambat untuk mengikuti posisi mereka yang masih berada di sekitar puing-puing helikopter. Tapi sayangnya Anaconda itu lebih cepat memangsanya hidup-hidup. Mereka menangis melihat dengan mata kepala sendiri. Untuk kedua kalinya, melihat Anaconda berukuran raksasa itu memangsa manusia tanpa ampun. Hanya tangisan dalam diam yang bisa dilakukan oleh Zea dan dr. Viona. Setelah kejadian itu, dr. Viona dan Zea saling memeluk erat. Begitu juga dengan Axton dan Hugo, mereka berdua berada diantara dua wanita yang tengah mereka lindungi. Ini memang terlihat aneh, sebab kata melindungi tidak akan pernah pantas untuk situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Lihat sekarang, air sungai kembali tenang setelah kejadian sekitar dua menit lalu, dimana Anakonda raksasa itu sudah tenggelam di dasar air. “Dimana mereka, Dokter?? Apakah … kita mangsa mereka selanjutnya??” gumam Zea sedikit menggigil.            Hening, dr. Viona hanya menangis dan mengeratkan pelukannya diatas permukaan air. “Tuhan … lindungi kami. Kumohon, lindungi kami. Biarkan mereka pergi dan tidak melihat kami,” gumam Axton berulang kali mengeratkan pelukannya di sisi kiri dr. Viona.            Hugo terus melihat ke sembarang arah. Matanya tidak luput melihat ketenangan air sungai yang sudah kotor dengan puing-puing helikopter. “Tuhan ada di sungai ini. Tuhan ada disini. Tuhan pasti membantu kami. Tuhan pasti melindungi sekitar kita,” gumam Hugo mulai menggigil karena khawatir. Sebab dia sangat geli terhadap seekor ular. Itu sebabnya, saat melihat Anakonda raksasa tadi, dia pikir bahwa tubuh gempalnya akan lenyap dimulut hewan reptil itu. Saat mereka sudah lelah dan hanya bisa pasrah, sekitar mereka tidak menunjukkan gejala yang bahaya. “Dimana mereka?? Apa mereka sudah pergi?” gumam Zea dengan nada bicara sepelan mungkin.            Mereka saling menatap satu sama lain. “Biar aku lihat di bawah air,” ujar Axton memberanikan diri dan langsung menyelam ke bawah. “Axton!” ujar Zea sangat khawatir.            Hugo melakukan hal yang sama. Hingga berulang kali mereka menyelam dan memperhatikan area sungai, tidak ada tanda-tanda hewan reptil di sekitar mereka.            Axton dan Hugo menggelengkan kepala sembari menyapu wajah mereka. “Tidak ada!” ucap Hugo dengan yakin. “Tidak ada, Dokter! Sebaiknya kita mengambil kesempatan ini untuk sampai di daratan!” ujar Axton. “Kalian yakin? Kita kesana?” tanya dr. Viona menatap mereka berdua, lalu menatap Zea yang terlihat sudah lemas. “Zea??” ujarnya sembari menepuk pelan wajah Zea. “Iya, Dok. Ayo kita kesana. Aku percaya kalau Tuhan pasti akan melindungi kita,” ujar Zea dengan nada bicara terdengar lemah sekali. “Baiklah, ayo!” “Biar aku membantumu, Zea.” Satu tangan Zea dipapah oleh dr. Viona.            Sementara Axton dan Hugo berenang sembari mengamati area sungai. Sesekali mereka menyelam ke bawah untuk melihat apakah ada hewan reptil dan melata lainnya di sekitar mereka. Kesempatan emas itu tidak dibuang begitu saja, mereka langsung pergi dari sana dan berenang menuju daratan meski jarak sedikit jauh. Hanya ini jalan satu-satunya agar mereka tidak mati dibawah suhu dingin Sungai Amazzon. Mereka sangat fokus dengan keselamatan saat ini. Tanpa mereka sadari, cairan Zingi curas telah merembes keluar melalui retakan botol yang seharusnya kuat. Saat helikoper dililit oleh Anaconda raksasa itu, beberapa puingnya jatuh berhamburan di atas permukaan air. Sebagian puing-puing mengenai Zea dan mengenai botol yang menempel di tubuhnya. Mereka sama sekali tidak berpikiran kesana, sebab fokus mereka adalah selamat sampai daratan. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD