Chapter 3 : Boleh Jadi Pacarmu?

735 Words
 “Sori, Pak. Kecapekan,” kata Sam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Suaranya sedikit sengau, menandakan hidungnya mampet, karena gejala flu. Vania memperhatikan Sam sejak tadi. Cowok yang ada dihadapannya cukup jangkung. Meskipun hak sepatu Vania 7 senti, tetap tidak membuatnya berdiri sejajar.  Rambut cowok itu awut-awutan dan diikat asal-asalan. Rambut depannya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Meskipun terkesan berantakan, namun wajah cowok ini tergolong tampan bahkan manis seperti wajah boyband K-Pop. Tidak ada bekas jerawat di mukanya, maupun jenggot yang harus dicukur. Malah bisa dibilang, wajahnya memang tidak ditumbuhi rambut halus macam itu.  Jika ada yang disebut sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin inilah momennya bagi Vania. Sesuai prinsip Vania yang mengincar setiap kesempatan untuk memperoleh cowok, maka saat yang ditunggu-tunggunya telah tiba.  Kapan lagi ia bisa bertemu dengan cowok yang mempesona seperti ini?              “Hai, saya Vania. Pegawai magang baru di sini. Salam kenal,” ucap Vania sambil mengulurkan tangan, sambil tersenyum sumringah.              Sam melirik Vania sekilas, dan menjabat uluran tangan Vania. “Hai juga. Saya Sam, salah satu staf kreatif di sini,” jawab Sam.              “Dia salah satu Art Director Junior di sini,” jelas Pak Ivan.              “Oh, I see. Sudah menikah?” tanya Vania tanpa basa-basi.              “Belum. Masih single,” jawab Sam.              Pak Ivan melirik ke arah Vania dengan sedikit terkejut atas pertanyaannya yang langsung dan blak-blakan.              Beberapa staf yang tadinya tertidur, kini sudah terbangun dan memandang kedatangan Vania dengan mata berbinar-binar. Maklum, sebagian besar isi kantor ini adalah laki-laki single.  Cewek manis macam Vania sudah jelas seperti gula-gula di tangan anak kecil, atau... domba di tengah serigala? Yah, pokoknya intinya sama saja.              “Kalau begitu saya boleh dong mencalonkan diri,” kata Vania percaya diri.              Pak Ivan membelalak. Ia mulai bisa menduga arah pembicaraan ini. Tapi, terlalu sayang jika ia menghentikannya sekarang.  Sama seperti orang-orang yang lain, dirinya pun kadang-kadang butuh hiburan. Dan, percakapan ini bisa menjadi tontonan yang menarik baginya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum geli.              “He? Mencalonkan diri untuk apa?” tanya Sam seperti orang bodoh. “Jadi pacar kamu,” kata Vania tersenyum manis. “Hah?!! Yang bener aja!!” Sam terkejut akan keterusterangan Vania. Ia memandang gadis itu dengan tatapan tidak percaya sambil menggelengkan kepala.              “Kenapa? Saya bukan tipe kamu, ya?” tanya Vania tidak mengerti.              Sam tidak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya berguncang-guncang, dan meledaklah tawanya, diikuti tawa seisi kantor, seolah-olah kata Vania merupakan lawakan paling top.              Pak Ivan terbatuk-batuk, berusaha menutupi tawanya yang nyaris meledak.              Vania langsung salah tingkah dengan wajah merah padam.  “Apanya yang lucu?” bentak Vania galak.              “Sori, sori. Saya tidak bermaksud menghina kamu,” kata Sam berusaha menghentikan tawanya yang sulit dikendalikan.              “Lalu apa?” tanya Vania merajuk.              “Kamu manis. Tapi saya nggak suka perempuan,” jawab Sam, mati-matian menahan tawa.              “Oh, begitu. Jadi kamu gay,” keluh Vania kecewa.              Tawa seisi kantor semakin keras, sampai-sampai Vania yang malang semakin kebingungan dan ingin menangis.              “Ada apaan sih?” tanya Vania merengek.  Hari pertamanya rusak sudah. Belum apa-apa seisi kantor sudah mentertawakannya, entah karena apa. Apalagi cowok ganteng dihadapannya jelas-jelas menolaknya terang-terangan, tanpa basa-basi.  Kepercayaan diri Vania langsung runtuh seketika. Kakinya ingin kabur sekarang juga, meninggalkan kantor impiannya, menyembunyikan wajahnya di dalam tanah seperti burung unta.              “Hush!” kata Pak Ivan menyuruh anak buahnya diam, melihat karyawan barunya sudah berkaca-kaca.  Ia lalu melotot ke arah Sam yang masih belum juga memberi penjelasan yang bagus. Padahal, sedetik yang lalu ia mati-matian menahan tawa.              Sam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak dikeramas selama dua hari dengan tampang bodoh. Ia lalu melambaikan tangannya, menyuruh teman-temannya diam, lalu memandang ke arah Vania dengan mimik kasihan.              “Bukan begitu...” jawab Sam.              “Lalu apa? Salah ya saya ngomong begitu?” tanya Vania menunduk, tidak berani menatap wajah cowok ganteng di hadapannya.              ‘Nggak juga sih...” jawab Sam bingung.              “Teruus...” kata Vania menuntut penjelasan.              “Eee...” kata Sam kehabisan kata-kata. Ia berusaha memutar otak untuk memberikan kata-kata yang bagus untuk Vania.  Jangan-jangan kenyataan yang harus dikatakannya terlalu kejam untuk gadis semanis ini. Ia harus berhati-hati dalam bicara, meskipun tak satu rangkai kata-kata mutiara muncul di benaknya.              “To the point aja, kenapa sih?” kata Pak Ivan jengkel.              Vania mengangkat wajahnya, menunggu jawaban dari mulut Sam. Rekan-rekan sekantornya terdiam, menunggu kata-kata itu keluar dari mulut Sam sendiri, sambil cengar-cengir lebar.              “Saya... perempuan,” kata Sam akhirnya.              “Tidaaak!!” jerit Vania histeris sambil mendaratkan tamparannya di pipi Sam, lalu berlari sekencang-kencangnya, bagaikan pelari tercepat sedunia, masuk ke dalam toilet terdekat dan menolak keluar berjam-jam kemudian.              “Apa gue bilang? Udah pasti Sam disangka cowok. Sini, mana lima puluh ribu gue?” kata Jimi tersenyum penuh kemenangan ke arah Dede.              “Sialan, gue kalah taruhan. Gara-gara elo Sam,” gerutu Dede sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu yang masih baru dengan berat hati dari dompetnya.              “Nenek, lo. Siapa suruh taruhan? Gue dijadiin tarohan. Sakit muka gue, kena tabok. g****k,” dengus Sam cuek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD