Dua

2611 Words
            Minggu pagi, aku lepas dinas dalam. Suntuk di mess, memutar otak memilih apa yang harus kulakukan. Si mobil waktunya servis bulanan, tapi aku malas pergi ke bengkel. Mau mengisi perut, tapi kantin sedang tutup. Mau masak sendiri juga malas. Maklumlah bujangan. Ini juga yang membuatku ingin segera menikahi Putri. Agar ia bisa merawat bujangan sepertiku ini.             Mendingan mencuci baju saja. Ah, kapan ya ada yang membantuku mencuci baju? Seperti Sertu Rofik, si pengantin baru itu. Bajunya selalu klimis dan wangi. Kalau aku sih, seingatnya saja. Toh kegiatan yang paling malas kulakukan semenjak jadi taruna dulu ya ini, mencuci dan menyetrika baju. Mau laundry juga malu sendiri karena sudah punya mesin cuci. Cuma, seragam kan paling anti kumasukkan mesin. Kenapa aku jadi senewen sendiri gini sih?             Ah, mungkin benar kata Putri. Ini dilema calon pengantin. Memang benar kalau sekarang waktu terasa begitu lambat. Aku sangat bosan menunggu 4 pekan ini. Kenapa tidak bisa di-skip langsung bulan depan saja sih? Aku ingin segera menjabat tangan Pak Satya, ayahanda Putri, calon mertuaku. Ingin segera kuhalalkan kekasihku supaya hidup ini tak terasa hambar dan itu-itu saja. “Pasti lagi bengong!” tebak Putri yang 100% benar. Dia menelepon saat aku asyik mengucek atasan doreng. “Enak aja, nyuci ini Dek!” jawabku senewen. Dia terkikik puas. “Huatcih!” terdengar suara bersin dari seberang, “ooh, srek-srek, kirain lagi malas-malasan di depan TV.” “Kamu flu ya?” tanyaku cemas. Ia seperti memasang suara santai. “Biasa Mas. Musim pancaroba makanya kena flu,” jawabnya santai. Sudah kuduga. “Jangan dibiasakan. Kamu itu jaga kesehatan dong, Dek. Kita mau nikah loh, 4 minggu lagi Dek!” dia tertawa geli. “Aduh Mas, flu itu seminggu juga sembuh. Tenang aja kali, Mas. Putri pasti jaga kesehatan buat Mas,” jawabnya menenangkanku. “Oh ya udah. Kalau gitu sekarang istirahat aja. Mas mau lanjut nyuci,” alihku sambil membenarkan headset. “Jalan yuk, Mas? Putri bosan di rumah,” ajaknya santai. Yakin nih? Kami kan dalam status pingitan. “Yakin? Dipingit loh, Dek. Kamu jangan bandel ya!” aku menceramahinya. “Gak kok! Putri kangen sama Mas Aksa. Jalan yuk!” ulangnya sekali lagi. Aku menghela napas berusaha sabar, “Dek, tradisi jangan dilanggar ya? Tapi kalau kamu maksa, mas bisa apa. Tunggu di depan gang ya? Daripada mas diomeli ibu.” “Hehe, siap Mas! Cepetan gak pakai ngaret ya?” ujarnya berhati-hati. “Siap Cinta! Duh kamu ini bandel-bandel nggemesin,” putusku sesaat sebelum telepon terputus.             Ya minggu ini tak hambar seperti yang kupikirkan. Entah karena apa Putri tiba-tiba menunjukkan kebandelannya. Ia mengajakku bertemu di tengah status pingitan kami. Mau dikata apa kalau itu kalah dengan rasa rindu. Toh kami juga tak akan berbuat aneh-aneh. Aku sangat mencintai Putri dan ingin menjaga kehormatannya hingga kami resmi. Aku kan lelaki sejati.             Oke sip, aku gegas mematut diri. Memilih sepotong kaos katun warna salem dan celana jins pendek warna biru dongker. Rambut tipisku hanya kuberi minyak supaya tak kelihatan kusut. Wajahku kuoles dengan pelembab ber-sunblock. Tangan dan kaki juga kuoles handbody supaya tak kusam. Tak lupa beberapa semprot parfum hadiah dari Putri kupakai. Sip, sudah rapi jali dan gak kebanting kecantikan Putri. ---             Aku tersenyum sendiri sambil meminggirkan mobilku. HRV hitam ini berhenti di depan sebuah rumah dinas Danrem 083, rumah dinas ayah Putri, Pak Satya calon mertuaku. Belum kukatakan ya kalau Putri adalah anak sulung dari Kolonel Inf. Satya Prakasa, Komandan Korem 083/Baladhika Jaya. Entah karena takdir apa, aku segera mempersunting putri salah satu perwira menengah di kota ini. Takdirku sungguh sempurna, bukan? Status yang kumiliki ini adalah impian prajurit manapun sekarang.             Putri melambai ketika mobilku mendekatinya. Aku tersenyum santai sambil celingak-celinguk. Takut kalau ada yang memergoki kami. Bukannya kenapa-napa, tapi tradisi pingitan ini memang menyiksa. Kami tak diperkenankan bertemu bahkan komunikasi juga dibatasi. Tapi dasar tentara dan anaknya tentara, itu tak menghalangi kami untuk bertemu bukan? Bukan anaknya tentara kalau tidak bandel, itu pikirannya Putri. “Kita gila, Mas!” ucapnya riang sambil berteriak kecil. Sesekali ia mengusap hidungnya yang memerah. “Kamu nih Dek! Sekelas kolonel dikerjain. Awas kalau ketahuan ayah, Mas tidak tanggung ya?” tukasku gemas sambil menjalankan mobil menuju jalanan lepas. Kami hendak ke Batu, menikmati udara segar pegunungan. “Gak apa-apa, Mas. Hitung-hitung ilangin stres kan. Ayah pasti udah tahu kalau Putri perginya sama Mas Aksa,” ucapnya santai sambil meraih tisu di dashboard. “Kamu masih pilek? Yakin gak apa nih jalan ke tempat dingin?” aku merasa khawatir. “Tenang aja, Mas. Putri udah minum obat kok,” ujarnya menenangkanku. Calon istriku ini memang paling santai menghadapi apapun. Dia terlihat mengamati tisu bekasnya, ada yang janggal, “Putri mimisan, Mas.” “Hah?” aku terkesiap lantas mengerem mobil, meminggirkannya di tepi jalanan ramai.             Kuamati sejenak calon istriku. Kuraih tisu bekas yang dinodai darah segar itu. Seketika hatiku berdebar keras. Dia mimisan. Entah karena apa ini ya? Karena kelelahan atau karena apa? Aku lantas memindai satu persatu tubuh Putri. Kupencet-pencet lengannya cemas. Ia terlihat menengadahkan kepala ke jok. Dia menghadap atas sambil menarik napas. “Kita pulang saja yuk, Dek?” tawarku yang langsung dibalas gelengan kepala darinya. “Gak Mas. Putri gak apa-apa. Mungkin karena luka kebanyakan kena tisu. Atau mungkin kelelahan. Nanti juga hilang. Kemarin juga pernah tapi buktinya Putri gak apa kok,” jawabnya masih mengentengkan. “Jangan gitu, Dek. Gak baik meremehkan sesuatu. Kita ke dokter aja ya? Siapa tahu memang ada penyakit yang lain,” dia menyelaku cepat. “Mas mau Putri sakit ya?” aku menggeleng tegas. “Bukan Sayang, mas cuma gak mau kamu sakit. Kalau cuma kelelahan, tandanya kamu harus istirahat,” tukasku pelan. Dia menyentuh lenganku lembut. “Mas, Putri gak apa-apa. Aku yang paling tahu kondisi badanku. Kita lanjut saja yuk? Nanti keburu sore,” desaknya yang membuatku pasrah. Tampaknya Putri memang baik-baik saja. “Oke deh, kita mampir ke minimarket sebentar ya? Beli air es supaya gak mimisan lagi,” putusku sambil menjalankan mobil kembali. “Emangnya cara itu manjur?” godanya. Aku hanya mengangkat kedua bahu. “Kayaknya sih gitu. Es kan membantu pembekuan darah,” entah aku menyimpulkan dari ilmu mana itu. Walau ibuku seorang dokter, tapi aku sangat awam dengan medis. “Hehe, mas Aksa lucu deh!” dia terkekeh Riang. Entah baik atau pura-pura saja. --- “Huatcih!” Putriku bersin untuk yang kesekian kali. Sepertinya dia beneran flu. Aku jadi merasa bersalah sudah mengajaknya ke tempat tinggi dan dingin seperti Gunung Banyak, kawasan Paralayang Batu. Mau dikata apa kalau Putri berkata jenuh dan ingin yang segar-segar. Tumben dia terlihat frustasi kali ini. Mungkin benar beban calon pengantin itu berat. Mungkin kami merasakan hal yang sama. Hanya saja aku masih bisa menutupinya. Kulapiskan sebuah selimut hijau yang selalu teronggok di dalam mobil pada tubuh ringkihnya, “kita pulang saja yuk Dek?” “Enggak ah Mas. Nanggung. Segar sekali hawanya di sini, Mas. Aku beneran merasa bebas dan lega,” ujarnya riang sambil meminum air mineral kesukaannya. Air mineral berbotol corak air ungu dan biru. “Tapi kamu mau pilek itu. Ini lagi tanganmu legam-legam kenapa sih, Dek?” aku jadi mengamati sekujur tubuh calon istriku. “Gak apa, Mas. Mungkin cuma kecapekan,” elaknya sambil menarik tangan halus itu. “Dek, kamu jangan meremehkan kesehatanmu gitulah. Mas gak suka melihatmu sakit,” ucapku khawatir. Dia tersenyum tanpa suara, seperti kesukaannya selama ini. “Dasar comel. Ini yang buat aku pengen cepet nikah sama Mas Aksa,” dia menyelaku dengan nada manis, “rasanya ingin segera menjadi Nyonya Angkasa.” “Kok bisa gitu, Dek? Kamu cinta sekali ya sama Mas?” dia berhasil mengalihkan perhatianku. “Mas tahu impian terbesarku? Bangun di pagi hari dan menoleh ke samping, ada kamu yang masih terlelap. Dengan mata terpejam, hidung kembang kempis, dan mulut yang setengah terbuka. Kamu pasti lucu,” ujarnya sambil menerawang lurus pada pemandangan di depan sana. “Enak saja! Memangnya mas sejelek itu apa kalau lagi tidur. Ngawur kamu, Dek!” olokku sambil mengacak rambut kesayangannya. Dia terkikik pelan, “Putri ingin segera jadi istrimu, Mas.” “Apa kamu tak sabar lagi ingin menikah dengan Mas? Apa kamu merasa 4 pekan ini terlalu lama?” tanyaku tak sabar. Ia mengangguk malu-malu. “Sehari saja terasa lama, Mas. Apalagi 4 pekan. Aku ingin segera merasakan ciuman di bawah sinar rembulan, seperti janjimu,” ah, dia membuatku bersemu. Selalu saja bisa membuatku jatuh cinta sepanjang waktu. “Mas jarang mengucap cinta padamu, Dek. Apa itu tak masalah?” sejenak aku mengendurkan perbincangan ini. “Sejauh kita masih selalu bersama, Putri baik saja dengan itu Mas,” tak sabar lagi, kupeluk erat calon istriku itu. Dia melepas pelukan ketika sebuah getaran halus muncul dari dalam tasnya, “Mas, kayaknya ayah udah tahu deh kalau Putri kabur. Kita naik paralayang sekali terus pulang yuk?” “Yakin mau naik paralayang?” tegasku bingung. Dia mengangguk yakin sambil menarik tanganku.             Putri memang wanita manis yang penuh dengan kejutan. Di balik sikap kalem dan manjanya, dia berhasil memukauku dengan sikap yang lain. Seperti saat ini, dia duduk di depanku untuk melakukan olahraga ekstrim macam paralayang. Kami terbang tandem penuh kemesraan. Walau tentara Angkatan Darat, aku bisa menerbangkan alat itu. Tentu saja, Putri kegirangan sendiri tatkala aku akhirnya mendampinginya naik. Pada umumnya, penumpang akan merasa tegang berdebar, tapi tidak dengannya. Dia justru berteriakk bebas seperti melepaskan beban berat. “Ini seru sekali, Masss!” teriakknya riang sambil memegang erat sisi tali.             Aku hanya mesem pelan tanpa suara ketika mendengar pekikan riangnya. Entah kenapa aku merasa damai berada di ketinggian bersama Putri. Naik paralayang bersama bak memeluknya di udara, sangat romantis. Sesekali aku mencium aroma parfum bunga magnolia vanilla yang segar. Aku suka sekali dengan aroma manis ini. Menurutku aromanya Putri sekali, lembut; kalem; dan menggetarkan.             Kami dua kali berputar di langit Batu. Merasakan dinginnya hawa pegunungan. Sesekali geli sendiri mendengar Putri bersin. Tapi dipangkas habis dengan tawa riangnya. Dia berkata bahwa hatinya sangat bebas. Katanya lagi prosesi pernikahan adalah proses rempong sedunia dan lain sebagainya. Putri sangat cerewet kali ini, dan aku suka itu. Dia tak tertekan, aku juga merasa bebas. Kami merasa bebas menjelang hari bahagia ini. “Kamu gila, Dek! Bukannya takut malah ketawa-tawa,” celetukku sambil melepas helm pengaman. Putri terkekeh bahagia. “Seneng lagi Mas. Merasa nyaman karena instruktur terbangnya Mas Aksa sendiri. Kenapa Mas gak jadi Angkatan Udara aja sih!” balasnya sambil mengusap keringat dingin di dahinya. “Entahlah, darat lebih nyaman daripada udara,” ucapku asal. Dia terkekeh lagi, kami hanya berbahagia sekarang. “Aku bahagia, sangat Mas!” ucapnya pelan, mengaburkan pandangan padaku.             Aku heran melihat lonjakan ekspresinya. Tawa riang itu mendadak berubah menjadi raut sedih, entah karena apa. Apa yang sedang disembunyikan gadis cantik ini dariku? Tapi tampaknya ia tak ingin bercerita apapun. Dia memang gadis yang punya prinsip bahwa perempuan paling cantik ketika tertawa dan menangis. Tapi, dia paling suka saat tertawa. Ah sudahlah, mungkin Putri hanya lelah. Tapi, benar-benar ada yang aneh dari tatapan matanya. Ia terlihat nanar, pandangannya mengabur, dan terus mengerjapkan matanya. “Putri, kamu mimisan lagi Dek!” ujarku cepat-cepat menadahi darah segar yang menetes dari hidungnya. Dia terkesiap dan langsung menutup hidungnya, “i…iya nih. Duh kenapa ya?” “Kamu sakit, Dek?” tanyaku bingung. Tapi tak kudengar lagi suara manisnya. Yang ada dia sudah lunglai, jatuh pingsan.             Aku tak lagi berkata banyak. Sigap kutangkap tubuh mungilnya. Gegas kulucuti semua peralatan keamanan di tubuhku dan tubuhnya. Beberapa orang membantu kami. Putri pingsan dengan keadaan aneh, darah segar mengucur dari hidung dan mulutnya. Beribu tanya menyeruak di batinku. Sakit apa calon istriku ini? Pendarahan ini tidak wajar bukan? Bahkan untuk ukuran orang yang awam kesehatan sepertiku. “Langsung dibawa ke mobil saja, Mas!” perintahku terburu sambil membopong Putri menuju mobil di parkiran. “Kamu kenapa, Dek?” kuguncang pelan tubuhnya, “bangun Dek! Bangun Dek Putri!” ---             Kuputar cincin emas putih di jari manis tangan kiriku. Cincin ini berpasangan dengan milik Putri. Putri yang sedang terbaring di dalam UGD dan diperiksa dokter. Katanya dia tak kunjung siuman padahal hampir sejam ia masuk ke situ. Hatiku berdebar cemas menebak apa yang sedang terjadi padanya. Pikiranku bercabang kemana-mana. Aku takut jika calon istriku sakit parah. Kami hendak menikah sebentar lagi. Kuharap tak ada halangan yang berarti. “Sa, bisa ikut ke ruangan sebentar?” buyar sebuah suara milik wanita paruh baya berjas putih. “Iya Dok!” jawabku pelan sambil mengekor tubuh tinggi dokter perempuan bernama Dokter Wanda itu.             Aku masuk dengan langkah pelan ke ruang dokter yang berbau khas itu. Pandangan mataku sedikit tersentak tatkala ada dua orang pasutri yang sangat kukenal. Kolonel Satya dan Ibu Paramita, kedua orang tua Putri sekaligus calon mertuaku. Mereka duduk dengan tenang walau pandangan Bu Mita terlihat sendu. Sebenarnya ada apa ini? Apa yang terjadi pada Putri? Apa yang akan dikatakan dokter ahli penyakit dalam sekaligus ibuku itu? “Ada apa ini, Ma?” tanyaku bingung sambil menatap wajah ibuku yang terlihat datar. “Apa kamu siap mendengar semua ini, Sa?” tanya ibuku pelan. Sebenarnya ada apa ini? Apa suasana aneh ini berkaitan dengan sakit yang diderita Putri? “Apa saya harus mengatakannya sekarang, Pak Bu?” alih ibuku pada kedua orang tua Putri. Pak Satya menarik napas berat, “Angkasa berhak tahu, Dokter.” “Baiklah,” ibuku menarik napas beratnya, “hari ini saya akan berbicara sebagai dokter Wanda spesialis penyakit dalam, bukan sebagai ibu dari Angkasa.” “Tolong jelaskan saja, Ma! Saya tak suka berbelit-belit!” desakku tak suka. Aku menghimpun tangan ibuku dengan hangat. “Jadi menurut hasil tes darah dan pemeriksaan lainnya, Saudari Putri dinyatakan mengalami Leukimia Limfotik Akut atau LLA stadium 3. Leukimia ini dapat menghambat fungsi limfosit sehingga pengidapnya berpotensi mengalami infeksi serius. Saudari Putri mengidap kanker darah akut yang berkembang dengan cepat akibat penambahan jumlah sel darah putih yang berlebihan…”             Penjelasan ibuku tak lagi terdengar jelas hanya karena satu frasa ‘kanker darah’, ‘leukimia limfosit akut’. Bak terputus karena disambar petir. Membuatku hangus seketika, terbakar panas seluruh tubuhku. Aku bak tak mempercayai pendengaranku sendiri. Tapi, raut wajah ibuku tak dapat berbohong. Beliau benar-benar serius. Apalagi isak tangis calon ibu mertuaku mulai terdengar. Tuhan, apa yang barusan terjadi? Ini tidak mungkin kan! “Ma, tolong jangan bercanda dengan saya! Ma, ini tidak mungkin kan?” tegasku sambil menghimpun tangan dokter cantik ini. Namun, ibuku melepaskan himpunan itu dan malah menggenggam tanganku. “Sa, mama berbicara sebagai dokter. Mana mungkin ini bohong. Putri menderita leukimia stadium 3. Kanker itu berkembang dengan cepat tanpa disadari. Tampaknya Putri menyembunyikan rasa sakitnya selama ini,” langit bagai runtuh kembali di atas kepalaku. Aku hanya bisa melongo seperti orang bodoh. “Kalau ini hukuman karena saya telah melanggar pingitan, ini sangat tidak lucu! Maafkan saya karena tindakan tidak dewasa itu, tapi ini tidak lucu!” aku kalut sendiri sambil menjambak rambutku frustasi. “Huuuhuuu Sa, sudah Nak! Sudah lama Putri sering sakit dan mimisan. Tapi, ibu tidak tahu kalau dia menderita penyakit itu,” calon mertuaku merengkuh pundakku yang bergoncang hebat. Beliau tersedu sedih sekali. “Aaargg! Tidak Tuhan, ini tidak mungkin kan!” aku menatap ibuku tajam, “tolong lakukan tes sekali lagi Ma!” Ibuku menggeleng tegas, “tes ini sudah dilakukan berkali-kali, Sa. Hasilnya tetap sama.”             Aku mengacak dan menjambak rambutku penuh frustasi. Kenapa harus Putri? Kenapa harus penyakit itu yang menghampirinya? Kalau harus sakit, tidak bisakah ia hanya kelelahan? Kalau bisa tidak usah sakit. Tuhan, pernikahan ini tinggal 4 pekan lagi. 4 pekan lagi kami akan bahagia sebagai suami dan istri. Semua ini bak mimpi buruk yang datang perlahan. Bahkan, aku tak mau ada mimpi buruk di cintaku dan Putri. Tuhan, aku tak mau ini! ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD