Satu

1345 Words
Lea, wanita berwajah manis dengan tubuh langsing semampai dan tinggi tubuh ideal. Tak terlihat jika usianya sudah genap dua puluh delapan tahun, bahkan sudah mempunyai dua anak. Ya dia menikah muda di usianya yang baru dua puluh tahun. Hal yang belakangan selalu disesalinya, disaat teman-temannya sedang menikmati berkarir, hangout sana sini, dia sudah terjebak dalam rumah tangga, mengurus rumah dan anak seharian. Terlibat dalam perekonomian seadanya karena masih menempuh kuliah kala itu. Sementara suaminya pun tak bisa mencukupi segala kebutuhan dan sering menuntut Lea untuk berubah. Untuk menurutinya. Apalagi selalu mengekang dengan sifat over protectivenya. Tak pernah sekalipun Lea dibiarkan bertemu dengan teman-teman semasa sekolahnya. Bahkan untuk membiayai kuliah pun Lea masih sering dibantu orangtuanya, karena setelah menikah dia langsung hamil, hal yang membuatnya terpaksa resign kerja. Pada akhirnya, Ardy suaminya mengijinkan dia bekerja karena terhimpit perekonomian yang semakin sulit. Meski begitu pergaulan Lea sangat dibatasi pulang kerja harus selalu on time. Tak jarang mereka ribut bahkan hampir setiap hari. Lea yang semakin merasa terkekang, dan suaminya yang merasa sejak bekerja Lea terlalu sibuk diluar. Ardy tak sadar bahwa Lea tak mungkin bekerja jika saja hutang mereka tak menumpuk karena kebutuhan harian. Sampai kemudian mereka dapat melunasi seluruh hutang bahkan bisa membangun rumah pribadi meski hanya berukuran tiga puluh meter. Sikap Ardy tak pernah berubah, pun dengan Lea yang sudah terlalu lelah. Bahkan dia merasa sangat membenci suaminya saat ini. Ya saat ini Lea merasa dia harus pergi, meninggalkan semua, mungkin hanya sementara. Ditinggalkan kedua anaknya yang masih berusia tujuh dan tiga tahun mereka dititipkan ke orangtua Lea. Justin anak pertamanya yang berusia tujuh tahun, dan Kay putrinya yang berusia tiga tahun. Perceraian Lea dan Ardy tak pernah mendapat restu dari orangtua Lea yang tidak ingin anaknya menjanda meskipun tahu bahwa rumah tangga mereka sudah tidak sehat. Meskipun tahu bahwa berkali-kali Ardy melontarkan kata-k********r pada Lea. Dan inilah akhirnya. Wanita itu mengenakan jaket boomber berwarna hijau army, dengan tas ransel yang tidak terlalu besar di punggungnya, sepatu running juga celana jeans. Rambutnya di cepol asal dengan telinga yang tersumbat ear phone. Duduk di halte bus. Tak berapa lama seorang cowok berlarian dan berteduh disana. Cowok yang terlihat cukup tampan. Dengan jaket kulit berwarna hitam, jeans hitam dan sepatu kets merah. Tangannya menenteng kamera dan di tangan sebelahnya tercangklong tas kecil. Telinganya ditindik. Dan matanya menatap Lea dari atas kebawah. Lea tak terlalu memperhatikan karena hatinya yang sakit. Ya dia bahkan meneteskan air mata dan membiarkannya menganak sungai. Menangis dalam diam. Tangisannya bahkan sederas hujan saat ini. Tangan pria itu melambai depan Lea, berusaha mengajak bicara. Lea menarik kasar earphone di telinga sebelahnya dan mengusap air mata lalu menoleh. Pria itu tersenyum. "Mau kemana mba?" "Enggak tahu," Lea menunduk. Dengan sekali lihat saja pria itu bisa tahu kalau Lea lagi didera masalah. "Ikut gue aja, gue mau ke Bandung." Lea berjengit menatap pria itu, dia memang tidak tahu mau kemana? Tapi apakah ikut dengan pria yang tidak dikenal, aman baginya? "Tenang aja, gue gak bakal ngapa-ngapain lo disana. Gue janji." Pria itu membentuk jarinya dengan tanda damai, "Nama gue Ale." Lea tersenyum geli bagaimana nama mereka berdua bisa mirip seperti itu. "Lea," Lea mengulurkan tangan membalas uluran tangan Ale. Ale pun tertawa menangkap makna senyum Lea barusan. "Nama kita mirip ya. Lahir tahun berapa?" "Sembilan puluh." "Kok sama lagi." "Masa sih, bohong ah." Lea sekejap bisa melupakan sakit hatinya dia bahkan tertawa melihat ekpresi Ale yang menurutnya sangat tulus dan tidak dibuat-buat. "Serius, gue lahir bulan April, tanggal dua puluh." "Hehe beda sebulan, gue bulan mei. Tanggal lahir lo sama kayak sahabat gue, tapi dia udah meninggal tiga tahun lalu." Lea menunduk mengingat sahabatnya membuat hati semakin perih. Mereka bersahabat sejak kelas satu SD namun sahabatnya itu mengidap suatu penyakit yang membuatnya harus menghembuskan nafas terakhir tepat ketika Lea baru saja melahirkan. Mungkin jika masih ada, dia akan tahu kemana tujuan dia pergi sekarang. Karena Ina sahabatnya itu sangat mengerti dirinya dan selalu mau membantunya kapanpun. "Tuh mobil jemputannya udah dateng," Tunjuk Ale pada mobil pajero berwarna hitam yang menepi tepat di hadapannya. Sesaat Lea menimbang apakah keputusannya tepat? Namun dengan langkah cepat Ale membuka kursi penumpang dan mempersilahkan Lea masuk, sementara tangan sebelahnya dipakai untuk menutupi Kamera yang disandangnya seolah merupakan harta paling berharga. Rambut Ale sudah mulai basah oleh tetesan hujan. Membuat Lea menarik nafas panjang dan berlari masuk ke dalam mobil. Didalam sana sudah ada dua orang pria yang Lea taksir seusia dengannya. Kedua pria itu saling tatap dan mengangkat alis meminta penjelasan dari Ale yang sudah memberi kode agar lanjut jalan. "Sob, ini temen gue mau ikut ke Bandung. Kenalin namanya Lea." Lea mengulurkan tangan, salah satu pria di kursi penumpang yang memakai kemeja lengan pendek dengan scraft di lehernya membalas uluran tangan Lea. "Niko," ucap pria itu sambil tersenyum lebar ke arah Lea, "Gue Erik," ucap si pengemudi sambil tangannya terulur, sekilas berjabat dengan Lea. Pria yang bernama Erik terlihat cukup macho dengan tubuh yang atletis dan kaos ketat yang membuat otot kekarnya terlihat. Wajahnya juga cukup tampan dan Lea bahkan merasa cukup familiar namun entah dimana dia pernah melihatnya? "Udah ketemu temennya bro?" tanya Erik pada Ale "Udah Cuma mau ambil kamera ini aja yang dia pinjem kemarin. Oiya Nik alat make up semua udah dibawa kan?" "Udahlah beb," Niko mengerling membuat Ale dan Erik terkekeh. "Kalian mau ngapain pake alat make up segala?" Lea menatap heran pada Ale yang sudah nampak memperhatikan setiap detail kameranya. "Gue ada kerjaan disana." Jawab Ale acuh. Sementara Niko menghadap Lea dan menggeleng, tahu kalau Ale itu bisa dibilang tergila-gila dengan kamera. Semua jenis kamera. "Ehem jadi gini Cin.. Si Ale ini fotografer gitu, dan kita ada job di Bandung, untuk foto beberapa item baju di katalog yaa you tahu lah di Bandung itu kan banyak outlet-outlet fashion dan sebagainya kan... sementara gue ini yang biasa make up-in model-modelnya dan si Erik ini yang jadi model lakinya. You mungkin pernah beberapa kali lihat muka dia ada di mall bagian baju kan?" Lea menatap langit mobil dan mengangguk, pantas saja wajahnya terlihat familiar. Setelah menjelaskan hal itu. Lea memilih menengok ke arah kaca jendela dimana kaca tersebut sudah berembun karena cuaca dingin. Sementara Niko sudah menyetel music agar suasana menjadi lebih tenang. Lea mengalihkan pandangan ke depan, terlihat tangan Niko mengusap-usap paha Erik yang tak lama dibalas dengan genggaman Erik. Ale yang melihat tatapan Lea langsung tersenyum namun matanya masih mengarah pada kamera yang sedang dibersihkannya. "Mereka pasangan." Jawaban Ale seolah tahu isi di dalam kepala Lea. Lea ber –oh sambil merasa agak tidak enak. Niko tertawa dan mengambil tangannya dari paha Erik. "Maaf ya Beb lo keganggu yaa?" ucap Niko merasa bersalah, Lea menggeleng. "Enggak kok, gue juga punya temen kayak kalian, ya dia sering cerita meskipun gue gak pernah liat dia pacaran di depan gue." Lea terkekeh mengingat salah satu teman kerjanya ya bisa dibilang sahabatnya karena mereka telah berada dalam lingkungan kerja selama lebih dari lima tahun. Lelaki yang justru terlihat jauh kemayu darinya. "Oiya namanya siapa kali aja gue kenal?" Tanya Niko antusias, tak banyak orang yang bisa menerima kehadiran mereka Niko tahu itu, tapi melihat mata Lea yang seolah tidak risih membuatnya jadi memberi nilai plus pada wanita itu. "Namanya Randy temen kerja gue. Biasa dia kalau ngelucu bilang namanya Randiana." Kekeh Lea "Randy yang kerja di Petra FM bukan?" Lea tersentak bagaimana dia tahu? "Lo kenal? Iya Randy itu, gue juga kan kerja disana." "Ya ampun dunia kecil ya beb,, dia tuh temen kita clubbing dugem ya gitu-gitu lah temen mangkal juga ups itu dulu hihihi." Kekeh Niko, Lea hanya tertawa menanggapinya dia tahu maksud mangkal yang Niko ucapkan itu tidak serius. Sejak lama mengenal Randy membuat nya semakin tahu banyak hal, termasuk dunia yang mereka ciptakan. Tak butuh waktu lama untuk Niko yang langsung akrab dengan Lea, bahkan Ale saja merasa tersisih saat kedua mahkluk beda jenis kelamin namun punya kebiasaan mirip itu mulai ngobrol ngalor ngidul. Ale senang karena Niko bisa mencairkan suasana, dan lihatlah Lea tersenyum dengan gigi gingsul manisnya yang mencuat membuatnya semakin manis, membuat Ale membidikkan kamera ke arahnya secara diam-diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD