“Rhe, Rhea!” ujar Abiwara sambil melepaskan pelukkannya di tubuh sang istri yang terlihat masih termangu, “Rhe, kamu kenapa? Kamu sakit?” tanyanya sambil menangkup kedua pipi perempuan itu.
Rhea menggeleng lemah seraya berkata, “aku hanya keinget kenangan kita dulu, saat kita pertama kali bertemu. Hari ini rasanya seperti itu, rasanya baru aja ketemu sama kamu,” sahutnya dengan kedua bola matanya yang sembab.
Abiwara tersenyum sambil menatap perempuan itu lekat. “Dan harus dengan cara seperti ini, supaya aku bisa ketemu sama kamu,” selanya sambil menyeka pipi merah muda itu yang basah, “kamu tahu, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan ke kamu, tapi dunia kita sudah berbeda. Oleh karena itu aku meminta bantuan Satya untuk menyampaikannya ke kamu, karena aku tahu dia bisa melihat yang tidak terlihat.”
Perempuan itu mengangguk mengiakan ucapan Abiwara. “Aku minta maaf, karena aku nggak bisa begitu saja percaya sama Kak Satya, aku pikir ini nggak masuk di akal, it’s nonsense for me. Rasanya nggak mungkin. Kamu tahu aku, ‘kan?” Laki-laki itu mengangguk sambil membelai rambut hitam panjang yang selalu dimainkannya kala tertidur.
“Rhea, waktuku nggak banyak,” ujar Abiwara sedih, kedua bola mata perempuan muda itu kembali berkaca-kaca, “aku hanya punya waktu 100 hari di dunia ini untuk menuntaskan semua permasalahanku.”
“Apa kamu nggak bisa selama-lamanya di sini, menemani aku?” sela Rhea penuh harap sambil memegang lengan atas sang pujaan hati, “terus terang, aku belum siap, Mas. Aku butuh kamu, kamu harus ada di sini, di sisiku setiap saat.” Abiwara menggeleng dengan ekspresi wajahnya yang sedih. “Aku mohon, Mas. Meskipun kamu menjadi hantu, arwah, roh atau apapun, aku nggak masalah! Yang penting kamu ada di sisiku. Aku mohon, Sayang.” Laki-laki itu kembali menggeleng, sementara yang lainnya hanya terdiam.
“Rhea, Rhea … dengarkan aku, itu nggak mungkin, Sayang. Dunia kita sudah berbeda, kamu harus mengikhlaskan aku, aku nggak mungkin berada di sisimu terus. Kamu sadar, ‘kan?” Abiwara mencoba menyadarkan mantan istrinya yang masih mengharapkan dirinya, meskipun dimensi mereka sudah berbeda.
Rhea masih saja menggeleng lemah seraya berkata, “Iya, aku tahu. Kalau dunia kita sudah berbeda, tapi aku butuh kamu, Mas.” Perempuan itu masih saja berharap, meskipun dia tahu kalau harapannya ini adalah semu.
“Saat ini Abisatya yang akan menemani kamu, Rhe.” Kedua bola mata Rhea mendelik, “dia yang akan melindungi kamu dan Shira. Aku sudah bilang sama dia agar dia mau melindungi kamu, karena kamu dalam bahaya, Sayang. Kamu nggak tahu betapa jahatnya mereka. Satya sudah cerita semuanya ‘kan ke kamu. Mereka itu bisa begitu tega sama aku yang temen sekantornya, apalagi sama kamu, yang bukan siapa-siapa.”
Abiwara tahu kalau Rhea tidak mudah percaya begitu saja, laki-laki itu lalu memberikan vision pada saat kecelakaan itu terjadi. Perempuan itu benar-benar tidak percaya akan apa yang dilihatnya, saat Adham dan Beno membiarkan suaminya meregang nyawa, daripada menolongnya. Tak terasa air matanya mengalir deras, tangannya pun mengepal keras, dia tidak menyangka kalau kedua teman sekantor almarhum suaminya yang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri ternyata tega berbuat seperti itu. Mata Rhea baru terbuka dan percaya kalau apa yang dikatakan oleh Abisatya itu adalah benar.
“Kamu lihat sendiri ‘kan apa yang sebenarnya terjadi padaku?” Rhea mengangguk sambil menyeka air matanya, “itulah kenapa aku minta Satya untuk melindungi kamu, bahkan kalau bisa, aku minta dia agar menikahi kamu.” Kedua bola mata perempuan itu semakin membulat dan mendelik keluar, “iya, Sayang. Maksudku untuk melindungi kamu. Nanti setelah masa iddah-mu sudah berakhir, aku sangat berharap kamu mau menikah dengannya, agar kamu ada yang melindungi. Dengan begitu aku merasa lega dan tenang karena kamu berada di tangan yang tepat.” Rhea menggeleng seolah-olah tidak menyetujui apa yang direncanakan oleh almarhum suaminya.
“Aku nggak bisa, Mas. Aku nggak mungkin bisa menikah sama Kak Satya,” sela Rhea lirih sambil terus menggeleng. Abiwara kembali menangkup kedua pipi perempuan itu dan berusaha menenangkannya. “Bagaimana aku bisa menikah sama dia, sementara aku baru saja kehilangan kamu, Mas?”
“Kamu harus bisa, Rhea. Semua ini demi keselamatan kamu, aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu dan Shira. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan, nggak ada cara lain,” sahut Abiwara masih dengan tangannya yang menangkup kedua pipi sang mantan istri.
“Tapi tidak dengan menikah, ‘kan?” selanya dengan suara parau karena menangis sedari tadi, “aku masih dalam berkabung, Mas. Aku masih berduka karena kehilangan kamu, apa kata orang kalau tiba-tiba aku menikah lagi dengan saudara kembarmu lagi!” Rhea benar-benar tidak bisa membayangkan kalau dia menikah lagi dengan saudara kembar suaminya.
“Kenapa kamu malah peduli sama omongan orang? Apa mereka bakal peduliin kamu? Kalau terjadi sesuatu sama kamu dan Shira? Apa mereka bakal peduli?” tanya Abiwara tegas, ada nada marah yang tersirat dalam setiap ucapannya. Membuat Rhea jadi kaget dan merinding saat mendengar suara pria yang dicintainya itu begitu kesal. “Maafkan aku, aku nggak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin kamu sadar, kalau kamu itu dalam keadaan bahaya dan hanya Abisatya yang bisa melindungi kamu saat aku sudah pergi nanti. Aku mohon, Rhea. Penuhi permintaanku ini,” lanjutnya sambil mendekatkan keningnya di kening perempuan itu.
Ditatapnya wajah itu dalam-dalam, mungkin setelah ini dia tidak bisa sedekat ini lagi dengan mantan istrinya, karena kemunculannya ini di depan mereka memerlukan energy yang cukup banyak dan menguras tenaga, sama seperti manusia. Dibelainya wajah cantik itu berulang kali dan dikecupnya perlahan bibir mungil yang merekah yang selalu menjadi candunya. Tanpa basa-basi, Rhea langsung membalas kecupan hangat itu. Perempuan itu rindu akan moment-moment indah seperti ini, diabaikannya orang-orang yang berada disekelilingnya yang menatap malu dan sungkan akan ulah mereka berdua. Bahkan diabaikan tubuh yang dipakai oleh Abiwara saat ini, Rhea hanya ingin merasakan oase itu kembali. Semuanya terasa sama, sama seperti ketika Abiwara melumat rakus bibirnya sejak pertama kali.
♥♥♥♥
“Kisah kita ini mirip seperti kisahnya Bintang dan Angkasa, ya?” ujar Rhea kala itu, saat makan malam bareng Abiwara di sebuah restaurant. Malam itu, Abiwara memang sengaja mengajak Rhea untuk kencan makan malam di sebuah restaurant di pinggir pantai. Suasana remang-remang lampu dan suara deburan ombak yang memecah karang menjadi penambah keromantisan ambience yang mewarnai malam itu. Rhea suka suasana pantai seperti ini, apalagi makan malam berdua dengan sang pujaan hati yang masih bercokol di hatinya.
“Kisah dua orang teman yang ketemu lagi setelah berpisah sekian lama? Dan kali ini aku nggak nyangka kalau aku ketemu sama Dokter Rhea Shaquitta. Seorang dokter muda, mature, matang, kelihatannya ambisius dan cantik mempesona.” gadis itu mengulum senyum malu, saat Abiwara memuji dirinya.
“Kenapa kamu bilang aku ini kelihatannya ambisius?” tanyanya heran.
“Bagaimana nggak ambisius? Di usia kamu yang baru 21 tahun aja, kamu sudah lulus kedokteran dengan nilai c*m laude, mahasiswa kedokteran universitas manapun jarang-jarang lho ada yang lulus di usia segitu!” Pujian Abiwara yang bertubi-tubi benar-benar membuat hati Rhea melambung tinggi.
“Dan kamu sendiri, juga seorang arsitek kenamaan, Insinyur Abiwara Darmais, oh bukan salah! Sarjana Arsitektur Abiwara Darmais! Bener, ‘kan? Aku kagum sama kamu, Mal!” pujinya tulus.
“Terima kasih, kamu ingat … apa yang dibilang sama Angkasa waktu ketemu lagi sama Bintang, setelah sekian lama mereka berpisah?”
Rhea tersenyum penuh arti. “Waktu itu Angkasa bilang sama Bintang, kalau Bintang itu tempatnya seharusnya ada di Angkasa, sama seperti Bintang yang ada di hati Angkasa,” sahut Rhea dengan rona pipi yang bersemu merah muda karena tersipu malu.
“Seperti itu juga yang ingin aku bilang ke kamu saat ini, Rhe. Setelah selama sembilan tahun kita nggak ketemu. Rasanya nggak perlu basa-basi terlalu lama, aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu seharusnya ada di hati aku selamanya,” ujar Abiwara to the point. Gadis itu pun kembali mengulum senyum. “Nah, itu makanan pesanan kita datang. Aku tahu kalau kamu alergi udang, jadi tidak ada menu udang di makanan seafood kita kali ini. Yang ada cumi asam manis, ikan bakar sambel dabu-dabu dan cah kangkong. Bagaimana? Kamu suka?”
Kedua bola mata gadis itu mendelik dan bersinar terang saat melihat makanan yang dipesan oleh Abiwara. “Hmm … yummy! Perutku langsung keroncongan. Kamu tahu aja kalau aku alergi udang?”
“Kamu heran, ‘kan? Bagaimana aku bisa tahu? It’s a secret! Yang penting aku tahu! Yuk, makan!” Abiwara bergegas mengambil cumi asam manis dan diletakkan di atas piring, sedangkan Rhea mengambil daging ikan bakar bagian perut plus sambel dabu-dabu. “Bagaimana enak ikannya?” tanyanya sambil menyesap air putih perlahan.
“Enak! Gurih, manis, yummy!” sahut Rhea yang terlihat kepedasan hingga wajah cantiknya memerah, “ngomong-ngomong sudah berapa lama kamu garap resort hotel itu?”
“Kurang lebih lima bulan, kamu sendiri sudah berapa lama tugas di Puskesmas?”
“Kalau nggak salah, hmm … hampir dua tahun, iya hampir dua tahun aku tugas di sana. Ternyata nggak nyangka, ya kita bisa ketemu di sini, di daerah yang dekat sama pantai, persis seperti yang kamu suka,” sahut Rhea sambil mengambil cumi asam manis dan diletakkan di atas piring yang hampir kosong, masih ada sisa sedikit nasi dan daging ikan bakar.
“Kamu masih ingat juga ternyata, kalau aku lebih suka pantai,” sela Abiwara sambil mengambil daging ikan bakar yang masih tersisa.
“Kamu ‘kan dulu pernah bilang kalau kamu lebih suka pantai ketimbang gunung. Kak Satya, saudara kembarmu itu yang lebih suka gunung. Benar, ‘kan?” Abiwara mengangguk mengiakan ucapan perempuan itu, “lalu bagaimana kabar Kak Satya? Apa dia masih di Perancis?” tanyanya penasaran.
“Dia sudah balik. Saat ini Satya kerja di sebuah hotel di Bandung. Dia sudah jadi chef sekarang, Makanan buatannya enak! Kapan-kapan kamu harus icip masakannya! Oh ya, gimana kalau abis makan, kita jalan-jalan sebentar di tepi pantai?”
Perempuan itu mengangguk. Mumpung besok hari libur, malam ini pulang agak larut, rasanya tidak masalah. Karena moment special seperti ini bareng Abiwara baru dirasakannya lagi setelah selama 9 tahun mereka berpisah. Tak dipungkirinya selama berpisah dari Abiwara, banyak cowok yang mendekati dan berusaha menarik perhatiannya. Namun, lagi-lagi berujung ke Abiwara. Rhea selalu membandingkan cowok-cowok itu dengan Abiwara. Baginya cinta pertama tidak mudah dilupakan begitu saja. Cinta pertama adalah segalanya bagi Rhea.
“Selama kamu di Pangandaran ini, apa kamu sering jalan-jalan di pantai seperti ini?” tanya Abiwara sambil menenteng sepatunya.
“Yaa, jarang, sih. Kalau pas libur aja aku baru jalan-jalan ke sini. Kalau resort hotel yang kamu bangun itu dekat sama pantai, ‘kan? Pasti kamu sering jalan-jalan di tepi pantai,” sahut Rhea yang juga menenteng sepatu high heels-nya dan merasakan dinginnya air laut yang menyentuh kakinya, belum lagi udara malam yang berembus sedari tadi, membuat kulit tangannya menjadi dingin. Sesekali diusap-usapnya kulit lengannya yang dingin.
Sejak awal dia sudah menyadari kalau gaun yang dikenakannya ini salah, seharusnya gaun terusan tanpa lengan ini tidak dikenakannya untuk makan malam di tepi pantai seperti ini. Rhea salah prediksi, tapi nasi sudah jadi bubur, tidak mungkin tiba-tiba dia minta pulang untuk ganti baju di kencannya yang pertama dengan Abiwara setelah sekian lama berpisah.
“Kamu kedinginan? Pakai jasku saja,” ujar Abiwara sambil melepas jasnya dan mengenakan di bahu perempuan itu agar tidak kedinginan.
“Terima kasih!” sahut Rhea sambil mengenakan jas itu. Aroma parfum maskulin tercium menguar di udara, perempuan itu suka dengan aroma khas laki-laki seperti ini. “Baunya enak!”
“Apa?” sela Abiwara heran.
“Aah … nggak! Nggak papa,” sahut Rhea kikuk, “aku suka dengan bau laut seperti ini.” Perempuan itu berusaha mengalihkan percakapan mereka. Berjalan bersisian dengan laki-laki yang sangat diimpikan sejak dulu, membuat gadis itu canggung dan kikuk. Apalagi saat tangannya digenggam erat oleh sang pujaan hati, hati Rhea semakin berbunga-bunga.
“Rhea …,” ujar Abiwara sambil menghentikan langkahnya dan berdiri berhadap-hadapan dengan gadis itu, “aku serius denga napa yang aku ucapkan tempo hari, aku nggak hanya ingin menjadikan kamu sebagai pacarku, tapi aku juga ingin menjadikan kamu sebagai istri dan ibu dari anak-anakku. Kamu mau, ‘kan?”
Kedua bola mata perempuan itu tampak berkaca-kaca dan berkilat, ada riak air mata yang tampak mendesak keluar di kelopak mata yang bulat itu. Rhea terharu, tanpa basa-basi dan menunggu cukup lama, Abiwara telah melamar dan mengajaknya menghabiskan sisa umur mereka untuk hidup bersama sampai tua. Tanpa ragu, gadis itu pun mengangguk mengiakan ucapan laki-laki itu. Abiwara menyeringai lebar dan tersenyum bahagia, perlahan dikecupnya bibir mungil yang sedikit menganga saat menatapnya, Rhea pun membalas pagutan liar sang kekasih yang semakin intens dan dalam. Deru ombak yang menyentuh pasir pantai dan desiran angin laut yang berembus di sekitar mereka menambah suasana romantis yang tercipta. Kedua pasangan yang sedang dimabuk cinta ini serasa mendapatkan oase di padang tandus, keduanya menumpahkan semua asa dan kerinduan yang terpendam selama ini.