First Kiss

1656 Words
"Lo bisa nyetir?" tanya Auriga pada Lovarie yang sudah berdiri. Lovarie mengangguk. "Tiap Jensen mabok, gue yang nyetir dan anter dia pulang." Auriga menatap Jensen yang sudah tumbang. Lelaki itu sudah menghabiskan lima botol wine sendirian dan muntah di kamar mandi beberapa kali. Kacau sekali. "Gue aja yang nyetir, sini kuncinya." "Naik mobil Jensen. Kunci ... bentar, biasanya ada di saku," jawab Lovarie sembari berusaha merogoh saku celana jeans Jensen. "Ugh, Babe, you looks so stunning tonight. Uh, Sayang, kamu terlihat menakjubkan malam ini," cakap Jensen pelan. Lovarie sempat menghentikan gerakannya, tetapi segera melanjutkan aktivitas. "Shut up, you're drunk! Diam, kamu mabuk!" desisnya. "Lov, perlu gue bantu?" tawar Auriga yang merasa iba dengan kondisi dua kawan barunya. Kepala gadis Asia itu menggeleng. "Ini, bentar lagi dapet. Dia masukin dalem banget di saku." Gerakan Jensen yang tiba-tiba membuat Lovarie dan Auriga membulatkan mata. Laki-laki berambut pirang itu mencium bibir Lovarie. Karena terlalu terkejut, Lovarie hanya bisa diam. Sampai dia ditampar kenyataan ketika Jensen berkata, "Cayanne, you taste a bit different. Cayanne, rasanya sedikit berbeda." Segera Lovarie menjauh dari Jensen, menggigit bibirnya sekeras mungkin sambil berbalik badan. Rasanya masih semenyakitkan ini meskipun dia sudah sering merasakan. Jensen tidak pernah melihatnya, tidak sekalipun sedang mabuk. Bahkan Jensen mencuri ciuman pertamanya tanpa sadar. Auriga melihat tubuh Lovarie sedikit bergetar, tetapi dia tidak berani bertindak apa-apa. "Hei, Lova ... lo ... baik-baik aja?" Lovarie berbalik badan. Air mata sudah turun menghiasi wajah. Hati Auriga teriris melihat gadis menangis di hadapannya. Tidak dia pedulikan Jensen yang kembali muntah di parkiran belakang kafe. Auriga memeluk Lovarie. Untung, gadis itu tidak menolak. Namun, tidak membalas juga. "It's really hurt, Ga. Itu benar-benar menyakitkan, Ga. Gue emang cengeng banget gini doang nangis, tapi gue enggak tau harus gimana. Tiap Jensen mabok pasti dia bakal nyebutin nama-nama ceweknya, tapi dia enggak pernah nyium gue kayak tadi. Itu first kiss gue dan dia ... dia ... lakuin itu waktu dia enggak--" Auriga mengusap-usap rambut Lovarie dan berbisik, "Ssstt, udah. Dia lagi enggak sadar, kok. Jangan marah ke Jensen, ya? Tindakan dia emang salah, gue paham. Ayo senyum, gue enggak suka liat lo yang kayak gini." Beberapa saat kemudian, tangis Lovarie reda. Gadis itu mengusap wajah, mengulas senyum tipis. "Sori gue malah bawa perasaan kayak gini. Makasih, Ga. Selama ini gue simpen sendirian. Gue cuma seneng sekarang punya lo yang ngertiin gue." Mendengar penuturan tulus itu membuat d**a Auriga menghangat. Perasaan aneh yang belum pernah Auriga rasakan sebelumnya. Hanya melihat senyum Lovarie pun, dunianya terasa membaik. Suara muntahan terdengar lagi, menginterupsi interaksi. Lovarie menampar keras pipi Jensen sembari berkata, "This is for stealing my first kiss, Drunk f**k Boy. Ini untuk mencuri ciuman pertamaku, Drunk f**k Boy." Mau tak mau, Auriga terkekeh melihat Jensen kebingungan sekaligus menahan sakit karena tamparan Lovarie. "Keren, Lov. Besok pagi pasti pipinya merah. Udah, yuk, makin malem. Bantu gue buka pintu mobil." Auriga yang sudah mendapat kunci mobil segera menghidupkan mesin, lalu memapah Jensen untuk masuk ke mobil. "Gue tau Jensen emang lebih tinggi dari gue, tapi anjir dia berat banget!" Lovarie bersedekap d**a. "Lo aja yang cowok bilang berat, apalagi gue." "Hilih, gini-gini lo juga cinta ke dia," cibir Auriga. Dia mengaduh karena Lovarie mencubit keras lengannya. "Lo ember banget mulutnya, anjing. Sekali lagi ngomong gitu gue pukul!" *** Pagi harinya, Auriga bersama Lovarie habis jogging mengelilingi perumahan. Mereka kini duduk di jalan setapak yang sepi sambil meminum air mineral. Ibu Jensen yang sedang menyiram tanaman menyapa, "Morning!" "Morning, Aunty!" balas Lovarie. Belum sempat bicara lagi, tiba-tiba Jensen keluar rumah sambil memegangi kepala. "Dang, my head is really painful. Duh, kepalaku sakit sekali," keluhnya. Ibu Jensen menyiramkan air ke kepala putranya, menyulut tawa Auriga sekaligus Lovarie. "You've drunk again, right? Naughty boy! Kamu mabuk lagi, 'kan? Anak nakal!" Mata Jensen yang semula tertutup langsung membuka lebar. "Mom, it's cold! Stoooop! I don't drunk again, promise! Ibu, dingin! Berhenti! Aku tidak akan mabuk lagi, janji!" "Shut your mouth! I don't trust you. Tutup mulutmu! Aku tidak percaya padamu." Seperti biasa selama hampir tiga tahun, Lovarie akan segera menghampiri Jensen. Memeluknya dan menatap Violet—ibu Jensen—penuh hormat. "Aunty, he just teenager and teenager make some mistakes, right? He would be stop, but please, don't say you don't trust him anymore. Tante, dia hanyalah remaja dan remaja membuat beberapa kesalahan, 'kan? Dia akan berhenti, tetapi tolong, jangan bilang Tante tidak memercayainya." Gerakan wanita berambut pirang itu berhenti. Dia menatap Lovarie. "Lova, don't protect him anymore! I'm so done with him. He acts like an adult person, makes a big decision without ask his parents. But here we go. Everything he prove is immature things. Lova, jangan melindunginya lagi! Aku sangat muak padanya. Dia bertingkah seperti seorang dewasa, membuat keputusan besar tanpa bertanya pada orang tuanya. Namun, mulai lagi. Semua yang dia buktikan adalah hal-hal kekanak-kanakan." Tidak ada yang bisa Lovarie katakan. Dia hanya menatap iba pada Jensen. Namun, melihat wajah Violet, dia pun tidak bisa menyangkal semua ucapannya. Sebagai orang tua, Violet pasti marah pada Jensen yang belakangan memang Lovarie akui bertindak ceroboh dan seenaknya. "I work and have my own money. Isn't that enough? Aku bekerja dan mempunyai uang sendiri. Tidakkah itu cukup?" tanya Jensen pelan. Dengan kemarahan yang belum reda, Violet berujar, "Oh, really? How about free s*x, drugs, tattoos, and many girls you made preg--. Oh, benarkah? Bagaimana dengan seks bebas, obat-obatan, tato, dan banyak gadis yang kamu buat ham--" "Sorry, Aunty, but that's enough. You don't want to share your son's problems at public, right? Maaf, Tante, tetapi sudah cukup. Kamu tidak ingin membagikan masalah anakmu di publik, 'kan?" potong Lovarie. Violet melempar penyiram tanaman, lalu berjalan ke arah pintu. Sebelum menutupnya, Violet berujar, "Don't you dare to enter this house without any regret, Jensen. Jangan berani masuk rumah ini tanpa penyesalan, Jensen." Setelahnya, pintu dibanting dan dikunci dari dalam. Lovarie menangkup pipi Jensen dengan dua telapak tangan. "Are you feeling hurt? Where? Lemme see. Kamu merasa sakit? Di mana? Biar kulihat." Mata biru Jensen menatap Lovarie dalam. Telunjuk kanannya menunjuk d**a kiri. "Here. Why are you still stand for me when you know how bad I am? Di sini. Menagapa kamu masih membelaku ketika kamu tahu betapa buruknya aku?" Lovarie menyatukan dahi mereka. Dia memejamkan mata. Seburuk apa pun Jensen, hatinya sudah terpaut begitu kuat. Mungkin tidak akan ada yang menggantikan posisi Jensen di hidup Lovarie. Atau ... mungkin akan ada yang menggantikan posisi Jensen di hidup Lovarie. "Sorry for bothering you two, but here's a towel for Jensen. You're shivering. Maaf karena mengganggu kalian berdua, tetapi ini handuk untuk Jensen. Kamu menggigil." Ucapan Auriga yang datar membuat Jensen tersenyum. Dia memakai handuk yang diberi Auriga. "Thanks, Bro, you found me at my worst. Terima kasih, kamu menemukanku di kondisi terburukku." "I'm not. Lova is the one who always found and support you at your worst, but you unnoticed that. Open your eyes widely. Come to my home, I'll borrow you my clothes and make a cup of hot tea. Bukan aku. Lova adalah orang yang selalu menemukan dan menyemangatimu di kondisi terburukmu, tetapi kamu tidak menyadari itu. Buka matamu lebar-lebar. Datang ke rumahku, akan kupinjamkan baju dan membuat secangkir teh hangat." Setelah berujar demikian, Auriga pergi begitu saja. Lovarie terpana. Dia merasa ... Auriga benar-benar mengerti perasaaannya. Lagi pula, melihat Auriga bicara serius seperti tadi merupakan hal langka dan Lovarie suka melihat itu. Jauh sekali dengan pembawaan Jensen yang selalu konyol. "Does he looks as badass as me? Apakah dia terlihat sekeren aku?" tanya Jensen, "I think he does. Kupikir iya." Lovarie melempar senyum tipis. "Yeah, not gonna lie. Ya, tidak ingin berbohong." Jensen merangkul Lovarie dan berjalan menuju rumah Auriga. "You have a crush on him? Woah, lemme help you, Babe! I can make he loves you as soon as possible. Just wait, okay? Kamu naksir dia? Wah, biarkan aku membantumu, Sayang! Aku bisa membuatnya mencintaimu sesegera mungkin. Tunggu saja, oke?" Kemudian, senyum di wajah Lovarie hilang, tetapi dia tidak membalas apa-apa. Jensen menganggapnya sebagai jawaban "iya". Oh, tidak. Lovarie merutuk dalam hati. Ini makin sulit. Jensen mengira dia menyukai Auriga. Sial. Jensen berbisik, "I can keep secret. Chill. Aku bisa menjaga rahasia. Tenang." Pintu rumah Auriga terbuka. Mereka duduk di sofa yang tempo hari didudukki. Sudah ada segelas teh hangat di meja. Tak lama, Auriga sudah kembali bersama satu setel pakaian dan segera diserahkannya pada Jensen. "The clothes is mine, but the underwear is new. Don't be worry. I won't share underwear with anyone. Not even you. Baju milikku, tetapi pakaian dalamnya bari. Jangan khawatir. Aku tidak akan berbagi pakaian dalam. Bahkan denganmu." Jensen tertawa dan menempelkan celana dalam di jeans, hingga dia tampak seperti Superman yang memakai celana dalam di luar. "Okay, the size is match with me. We probably have the same size of 'that'. I don't have to mention it, right? Oke, ukurannya cocok denganku. Kita mungkin punya ukuran 'itu' yang sama. Aku tidak perlu menyebutkannya, 'kan?" "Seriously, this might be an adult talk. Go take a bath or I'll smack you! Serius, ini mungkin adalah pembicaraan dewasa. Pergi mandi atau aku akan memukulmu!" ancam Lovarie. Dengan raut menyebalkan, Jensen bersiul. "How about you joining me, Lova? Bagaimana kalau kamu bergabung denganku, Lova!" Kini, Auriga yang mendorong tubuh Jensen ke kamar mandi lantai satu. "You have to thank us about last night, but now, clean up! Kamu harus berterima kasih pada kamu tentang semalam, tetapi sekarang, bersih-bersih!" Setelah Jensen sukses masuk kamar mandi, Auriga duduk di hadapan Lovarie yang tampak murung. "Kenapa lo?" "Jensen kira gue suka ke lo. Sori karena lo jadi kebawa masalah ...." Auriga justru menelan kekecewaan. Ucapan Lovarie bukanlah sebuah ungkapan rasa suka. Bodohnya Auriga justru senang karena dia terlibat dengan Lovarie dan Jensen. Mungkin, Auriga mulai sadar kalau dia memang akan jadi bagian dari permainan takdir mulai sekarang. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD