Something's Goes ....

2054 Words
Usai memastikan Victoria tidur di kamarnya, Lovarie bergabung dengan Jensen dan Auriga di ruang tengah. Mereka memang belum pulang pasca pertemuan Victoria dengan Russell. Jaga-jaga barangkali Victoria berbuat hal di luar kendali. Lovarie memijat kening, sedangkan dua laki-laki tersebut saling lirik. "Are you okay?" tanya Jensen. "Want to eat something? You haven't ate yet. Mau makan sesuatu? Kamu belum makan," ucap Auriga. "No, it's okay. I just kinda tired. Guess what, they have been in relationship even it already over, but we didn't know anything about that. Aku hanya agak lelah. Coba tebak, mereka pernah menjalin hubungan, bahkan sudah selesai, tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang itu." Jensen mengernyitkan kening tanda tak mengerti. "Who are they? Mereka siapa?" Lovarie mendongak. "Russell and Victoria." "WHAT THE f*****g HELL?! Hah?!" seru Jensen seketika. Auriga langsung mengimbuhi, "Don't yelling, Victoria could hear you. Jangan berteriak, Victoria bisa mendengarmu." "Riga's right. You all better go home for now. I'll stay here for a while. Riga benar. Kalian semua lebih baik pulang untuk sekarang. Aku akan tinggal di sini sebentar." Jensen dan Auriga setuju untuk pulang lebih dahulu dengan catatan Lovarie harus segera menghubungi mereka jika terjadi sesuatu. Setelahnya, mereka pergi dengan mobil masing-masing. Sisa Lovarie yang langsung terlelap di sofa. Hari ini cukup panjang dan melelahkan. *** Bangun tidur, bukannya mengerjapkan mata pelan-pelan, Lovarie justru langsung melotot karena teriakan Victoria yang bernada panik. "OH MY GOODNESS! YOU BETTER WAKE UP BEFORE CAYANNE'S DAD KILL YOU! Oh ya ampun! Lebih baik kamu bangun sebelum ayah Cayanne membunuhmu!" Lovarie terduduk dan tidak sempat bertanya ada apa karena Victoria sudah menyodorkan ponsel tepat di depan wajahnya. Dia makin melebarkan mata dan melongo. "HOLY f**k! PLEASE KILL ME BEFORE CAYANNE'S DAD DO THAT, VIVI! Sialan! Tolong bunuh aku sebelum ayah Cayanne melakukannya, Vivi!" Victoria melempar ponselnya ke sofa, dia menatap Lovarie. "I know you're stupid, Lova, but do you f*****g know what the heck were you did? Aku tahu kamu bodoh, Lova, tetapi apakah kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?" Lovarie tidak menjawab. Dia hanya mondar-mandir tidak jelas di hadapan Victoria. Tangan kirinya berada di pinggang, sementara yang kanan memegangi dahi. "Stop asking me, Victoria. Tell me what to do. Berhenti menanyaiku, Victoria. Katakan apa yang harus kulakukan." "Well, nothing. Yah, tidak ada." "s**t, I'm in trouble. Sial, aku dalam masalah," gumam Lovarie. "Actually, you're the trouble, Lova. Sebenarnya, kamulah masalahnya." Ucapan tersebut sukses menyinggung Lovarie. Gadis berdarah Asia itu langsung menatap Victoria. Yang ditatap menarik Lovarie untuk duduk di sebelahnya. "As your friend, I have to tell you when you're on wrong path. Listen, didn't you ever think that these mess is because of you? I don't mean to make you overthinking about that, but have you ever? I don't blame you. Sebagai temanmu, aku harus memberitahumu ketika kamu berada di jalan yang salah. Dengar, tidakkah kamu pernah berpikir bahwa kekacauan ini disebabkan karena kamu? Aku tidak bermaksud membuatmu overthinking tentang itu, tetapi pernahkah kamu berpikir demikian? Aku tidak menyalahkanmu." Kalimat-kalimat panjang itu dicerna oleh Lovarie yang kini termenung. Bernahkah ini semua karena ulahnya sendiri? Mengapa dia tidak sadar? Tentu dia tahu bahwa Victoria tidak mungkin menyalahkannya tanpa sebab. Lagi pula, seperti yang Victoria bilang, gadis itu bukan sedang menyalahkan Lovarie. Jika memang dialah yang bersalah, di mana letak kesalahannya? Apakah salah mencintai Jensen? Lovarie tidak mengerti. Dia tidak paham apa yang telah dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Namun, dia juga bukan lagi anak kecil yang setiap perbuatannya harus didikte orang lain. "I need your honesty. Please tell me what it is. Aku butuh kejujuranmu. Tolong katakan kesalahan apa itu." Victoria menggenggam tangan Lovarie, membuat gadis berambut hitam itu menatapnya. "You can't love two guys at the same time. Kamu tidak bisa mencintai dua laki-laki di waktu yang bersamaan." Lovarie menggeleng pelan. "But I don't love Riga! Akan tetapi, aku tidak mencintai Riga!" "Yet. Belum," sanggah Victoria, "you felt it and I saw it from your eyes. Kamu merasakannya dan aku melihat itu dari matamu." Kali ini Lovarie sempurna membisu seribu bahasa. Tepat sasaran. Victoria memahami dirinya lebih baik dari Lovarie sendiri. Setelah ini apa? Adakah yang lebih buruk dari tidak mengenal diri sendiri? Jika penasaran, berita yang membuat Victoria sampai berteriak heboh membangunkan Lovarie adalah pesan dari Cayanne ke ponsel Victorua. Pesannya berbunyi: Tell Lova that I wanna meet her privately. Tomorrow, 7 PM. Katakan pada Lova bahwa aku ingin bertemu dengannya secara pribadi. Besok, jam 7 malam. "You don't fit with that face. Let's smile widely. Feeling's never wrong. You only have to be honest with Cayanne. Can you? Kamu tidak cook dengan wajah itu. Ayo tersenyum lebar. Perasaan tidak pernah salah. Kamu hanya perlu berkata jujur pada Cayanne. Bisakah kamu melakukannya?" Lovarie menggigit bibir bawahnya. "I'm scared. She's so nice to me, Vivi. She doesn't deserve a friend like me. Aku takut. Dia sangat baik padaku, Vivi. Dia tidak pantas mendapat teman sepertiku." "You ain't wrong. Chill out. Face it, I knew you can do that. Kamu tidak salah. Santai saja. Hadapilah, aku tahu kamu bisa melakukannya," tutur Victoria. Gadis berambut pirang itu langsung dipeluk oleh Lovarie. "I just wanted to say thank you and I love you, Vivi! Aku cuma mau bilang terima kasih dan aku menyayangimu, Vivi!" Victoria langsung melepas pelukan Lovarie dan bergidik geli. "Hella crazy, I'm not a lesbian! Gila banget, aku bukan lesbian!" "DO YOU THINK I AM?! Apakah kamu pikir aku lesbian?!" Bahu Victoria terangkat. "Let's eat, I'm totally starving. Ayo makan, aku sangat kelaparan." *** "Riga, bisa jemput gue? Eh, tapi kalo lo lagi nugas nanti aja boleh, kok." Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana. "Gue ke sana sekarang. Mau nitip apa gitu? Atau buat Victoria barangkali?" Lovarie melirik Victoria yang sudah terlelap di sebelahnya. "Enggak, deh. Dia udah tidur. Sekarang jam sembilan malem, lo yakin enggak lagi ngapa-ngapain?" "Ini gue lagi ke garasi rumah lo, ambil mobil," jawab Auriga. "Gercep banget, ya. Enggak salah mama angkat lo jadi sopir gue." Auriga tertawa, lalu menyahut, "Bener. Gaji gue mahal, sih, jadi gue mau-mau aja." Lovarie pelan-pelan menutup pintu kamar Victoria, lalu berjalan keluar rumah. Berniat menunggu Auriga di teras depan. Orang tua Victoria merupakan dokter yang hampir setiap hari berada di rumah sakit. Kakak laki-lakinya kebetulan juga mendalami dunia kesehatan, meski bukan bekerja di rumah sakit. Bisa dibilang, hanya Victoria-lah yang memilih jalur paling berbeda. Untung saja orang tuanya melihat potensi Victoria dalam bidang tinju, kalau tidak, sudah pasti Victoria disuruh mengambil pendidikan kesehatan juga. "Eh, emang lo digaji sama mama?" Terdengar suara mesin dihidupkan. Jelas Auriga sudah hendak meluncur kemari. "Enggak juga, sih. Bukan uang bentuknya. Beliau kasih gue kepercayaan buat jagain lo. Hal yang berharga, lho, gue bisa sama lo terus." Sembari terkekeh, Lovarie duduk di sofa depan rumah Victoria. "Ada-ada aja. Lo pasti tadi lagi gabut sampe gue telepon langsung jemput." "Sebenernya enggak. Gue lagi ngerjain project buat ulang tahun seseorang," kata Auriga. Lovarie mengangguk-angguk. "Emang banyak, ya, yang ulang tahun di musim gugur. Gue jadi pengin, deh. Autumn, 'kan, musim favorit gue." "Winter juga keren padahal. Dingin, putih, suci, tenang, damai." "Biasanya musim dingin mendung. Gue enggak suka euforianya, bikin gue ngerasa sedih, padahal enggak tau kenapa." Auriga berdecak, "Ck, jangan spoiler, dong. Gue belum pernah ngerasain winter beneran di London soalnya. Biat jadi surprise gitu." Lagi-lagi Lovarie tertawa kecil. "Hahaha, oke nanti kalo salju pertama turun, kita bakal liat sama-sama. Lo harus liat London yang biasanya colorful jadi penuh sama warna putih," sahutnya menggebu-gebu. "Boleh, boleh. Berarti gue cuma punya kesempatan tiga sampe empat tahun liat salju di London, ya," komentar Auriga. Entah kenapa senyum Lovarie memudar begitu saja. Dia lupa bahwa Auriga tidak akan menetap di London. Suatu saat Auriga pasti akan kembali ke Indonesia. Kembali ke kehidupan aslinya yang tidak ada Lovarie di dalamnya. Memikirkan hal itu membuat Lovarie sedih. Nanti tidak akan ada lagi Auriga yang bisa diminta menjemput atau mengantarnya ke mana pun. Tidak akan ada lagi Auriga yang selalu berkata jujur meski kadang menyakiti hati orang lain. Tidak akan ada lagi Auriga yang menunggunya bangun dari jendela kamar. Tidak ... Lovarie memang tidak mencintai Auriga. Entah kalau ternyata dia 'belum' mencintai Auriga. Namun, sebagai teman pun, Lovarie tidak ingin kehilangannya. Auriga adalah orang baik yang tidak akan Lovarie temui lagi replikanya dalam hidup. "Lova, kenapa lo sedih?" "Gimana bisa lo tau gue sedih?" Tin, tin! Suara klakson dari mobil milik ibu angkatnya membuat Lovarie tersenyum. Dia langsung mendekat dan masuk ke mobil. "Enggak ngomong kalo udah sampe. Kok cepet banget?" "Agak ngebut tadi, enggak enak gue bikin lo nunggu lama. Anyway, itu rumah Victoria enggak dikunci?" tanya Auriga. Lovarie menggeleng. "Ada pembantu Victoria, kok. Nanti dia yang kunci rumah, gue udah bilang." Mobil mulai meninggalkan pekarangan rumah Victoria. "Lo belum jawab pertanyaan gue tadi." Gadis yang sedang memasang seat belt itu menoleh. "Pertanyaan yang mana?" "Kenapa lo sedih?" Auriga melihat Lovarie meletakkan ponsel di dashboard, lalu menghempaskan tubuhnya ke punggung jok mobil. "Tiba-tiba kebayang kalo lo udah enggak di sini. Gue pasti bakal kangen banget sama lo. Ah, ayo pindah ke sini aja." Senyum Auriga tercetak tipis. "London is a great place, but it isn't my home at all. London adalah tempat yang bagus, tetapi itu bukan rumahku sama sekali." "Even when there's me in it? Bahkan ketika ada aku di dalamnya?" Auriga tidak menjawab. Dia hanya melirik Lovarie yang sedang menatapnya untuk sesaat, kemudian kembali fokus pada jalanan. Hening itu membuat canggung menyergap. Lovarie merasa bodoh karena sudah menanyakan hal yang aneh. "Lo satu-satunya hal yang enggak mau gue tinggal di London saat gue harus balik ke Indonesia nanti." "Terus rumah yang di sini diapain? Gue bahkan enggak pernah liat om lo masuk ke rumah itu," lontar Lovarie. Auriga memutar setir untuk berbelok kanan di perempatan. "Itu sebenernya rumah nenek gue, tapi dipake om beberapa tahun lalu karena dia pernah kerja di sini. Tiga tahun lalu dia balik ke Indonesia karena kontraknya udah abis. Mungkin waktu om udah di Indonesia, lo baru ke sini, makanya enggak pernah liat." Lovarie mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham. "Kalo soal ... luka di jidat lo itu? Sorry gue tanya gini, lo boleh enggak jawab, kok." "Cuma luka kecil di masa kecil yang ternyata kebawa sampe gue dewasa. Luka ini yang bikin gue sadar bahwa hidup ada bukan untuk disia-siakan. Karena luka ini ada, gue jadi selalu ingat buat bersyukur dan berusaha mati-matian dalam mengusahakan sesuatu. Gue rasa lo enggak perlu tau kenapa bisa ada luka ini. Cukup lo kenal gue sebagai Auriga yang sekarang. Jangan dikaitkan dengan masa lalu." Lampu mobil dinyalakan, Lovarie menyibak poni Auriga sampai terlihat luka jahit itu, kemudian mengusapnya pelan. "Gue enggak tau lo kayak apa dulu, juga enggak bakal maksa kalo lo enggak mau kasih tau. Yang jelas, gue mau lo kasih tau gue tentang Auriga yang sekarang. Apa pun itu. Termasuk ketakutan terbesarnya, kelemahannya, apa aja. Lo paham kalo lo bisa berbagi ke gue." "Lov, gue tau, kita masih terhitung orang asing karena porsi enggak tau gue tentang lo lebih gede daripada hal-hal yang udah gue tau. Walaupun gitu, gue selalu berusaha buat terbuka sama lo. Termasuk tentang perasaan gue. Bohong kalo gue bilang enggak ada rasa, tapi gue berani sumpah, that's it. Cuma itu. Gue enggak ada niatan deketin lo pake modus nemenin lo pas lagi sedih karena Jensen. Gue juga enggak ambil kesempatan yang bikin keadaan bakal kacau. "Gue ngomong ini supaya lo tau, kalo gue beneran seneng bisa berinteraksi sama lo, apa pun jenisnya. Mau itu ngobrol, bantuin lo, anter-jemput, chatting, atau bahkan cuma liat lo lagi sama Jensen. Karena gue enggak tau apa yang bakal terjadi besok dan di masa depan. Gue di London punya jangka waktu dan kalo gue egois dengan maksain diri supaya bisa sama lo, ujungnya bakal lebih nyakitin buat semuanya. Jadi, jangan pernah ngerasa enggak enak lagi sama gue. Gue suka sama lo karena gue mau, jangan pernah lo jadikan beban." Speechless. Lovarie kehilangan seluruh kosakata yang ada di kamus kehidupannya. Dengan bahasa apa dia harus membalas? Dengan nada seperti apa dia harus menjawab? Orang sebaik Auriga ... tidak pantas mendapatkan skenario romansa berjangka waktu seperti ini. "Apa sebuah makasih cukup buat balas ucapan panjang lo?" Keduanya saling tatap. Lagi-lagi kutipan Kahlil Gibran terngiang di kepala keduanya. Ketika mata bertemu mata, seluruh dunia tidak akan terlihat. Auriga tersenyum dan menjawab, "Cukup, kok." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD