Don't You Dare to Forget Me

1614 Words
Bukankah sedikit terlambat bagi Jensen mengatakan semuanya? Lovarie tidak mungkin mengkhianati Cayanne meski ada kesempatan nantinya. Dia buta reaksi saat ini. Seluruh ucapan Jensen mengalihkan atensinya. Haruskah Lovarie terkejut? Atau salah tingkah? Atau takut? Atau senang? Atau marah? Lovarie tidak tahu ... dia masih diam tak bergerak. Jutaan hal sedang membanjiri pikirannya. Lovarie menggigiti bibir bawahnya. Gugup. Dia tidak pernah menyangka akan membicarakan perihal perasaan dengan Jensen. Ini agak aneh bagi keduanya. Hal baru. "I ... don't know what to say. Aku ... tidak tahu harus bilang apa." Hanya itu yang dapat Jensen terima dari hasil penantian dan kesunyian di antara mereka. Lovarie menunduk, tidak berani menatap Jensen. Hatinya berkecamuk. Perasaan campur aduk. "Do you want to hang out with me? I swear Cayanne wouldn't bother us. We didn't hang out for a long time, kinda miss you. Maukah kamu pergi denganku? Aku jamin Cayanne tidak akan mengganggu kita. Kita sudah lama tidak jalan-jalan, agak kangen." Ajakan Jensen membuat Lovarie melirik Russell yang masih tidak menyadari kehadiran mereka. "What about Russell? Bagaimana dengan Russell?" Jensen melepas topi, kacamata, dan maskernya, lalu memanggil, "Russell!" Lovarie membulatkan mata tatkala Jensen mengacungkan jari tengah pada Russell. Jensen menarik Lovarie untuk berdiri, kemudian merangkulnya dengan santai keluar kafe. "f**k him. Let's have fun. Persetan dengannya. Ayo bersenang-senang." Lovarie tertawa lepas. Ternyata semudah ini mengembalikan situasi. Kondiai sekarang jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Mereka sama-sama tahun perasaan masing-masing, tetapi masih sama. Tidak ada yang berubah. "I quite forgot that you're still crazy. Aku cukup lupa kalau kamu masih gila." Sembari bersiul, Jensen membalas, "I always am. Aku selalu begitu." *** Lovarie merasa asing ketika memasuki mobil milik Jensen. Memang dia sudah sangat familier dengan isinya karena sering bepergian bersama Jensen, tetapi nuansanya kini berbeda. Terdapat banyak barang Cayanne, baik di bagian kursi depan, belakang, maupun dasbor. Jensen buru-buru mengambil syal putih yang ada di kursi depan, memindahkannya ke kursi belakang. "Ah, it was Cayanne's scarf and--. Ah, itu syal milik Cayanne dan--" "No, it's okay." Lovarie duduk di kursi depan, sedangkan Jensen sudah mulai mengemudi. Terdapat sehelai foto Jensen dan Cayanne yang ditempel di dasbor. Mulut Lovarie tiba-tiba menyeletuk, "Moreover, this car is legitimately belong to her. Since Cayanne dating you. Selain itu, mobil ini adalah miliknya secara sah. Sejak dia berpacaran denganmu." Tidak ada respons apa pun dari Jensen. Namun, Lovarie tidak sepenuhnya menyesali ucapan tersebut. Sebab memang benar. Bukan kebohongan. Setelah beberapa menit diam, Jensen bertanya, "So, where we gonna go? Jadi, kita mau ke mana?" Bahu Lovarie terangkat. "We can't going to public place. Kita tidak bisa pergi ke tempat umum." "Why? Because of my fans? They already knew that you're my best friend. Kenapa? Karena penggemarku? Mereka sudah tahu kalau kamu adalah sahabatku," sahut Jensen. Lovarie menggeleng pelan. "Cayanne. I don't want to hurt her feelings. However, she's still my friend. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya. Bagaimanapun, dia tetaplah temanku." Sepertinya, sekarang mereka tidak bisa mengobrol tanpa membawa nama Cayanne. Lovarie membuang pandangan ke jendela karena lagi-lagi Jensen hanya diam. Keadaan ini asing. Cukup buruk. Sebesar apa pun berusaha agar terlihat tidak ada apa-apa, tetapi saja mereka tahu dengan pasti. Ada dinding tipis yang membuat mereka berjarak. "Do I need permission from Cayanne? Apakah aku perlu izin dari Cayanne?" "No, you don't. I just gonna hang out with my best friend. Tidak. Aku hanya akan menongkrong bersama sahabatku." Tidak ada yang bicara lagi setelahnya. Lovarie mengamati jalanan yang dilewati. Dia tidak tahu hendak menuju ke mana mobil yang dikendarai Jensen itu. Semakin jauh, semakin Lovarie sadar bahwa dia sedang berada di benua orang. Tempat yang meski sejuta tahun dia lewati tidak akan hafal jalannya. Sekilas, Lovarie merindukan Indonesia. Macet pagi hari, terik tatkala siang, mendengar bahasa Indonesia menguar ke sepenjuru kota, hingga aroma nasi goreng di pinggir jalanan malam. Hal-hal kecil seperti tenda angkringan juga tidak dapat dilupakan. Semegah apa pun Inggris, Indonesia tetaplah tempat di mana dia tumbuh. Masa kecilnya yang tidak kurang apa pun ... Lovarie berharap waktu dapat terulang. Ayah dan ibunya yang sudah tiada juga menambah luka. Lamunan Lovarie tentang Indonesia sirna ketika Jensen menepuk bahunya. "Hei, are you okay?" Lovarie mengangguk kecil. "I just ... missed my old life. Aku hanya ... merindukan kehidupan lamaku." "You don't like your life at this time? You don't feeling happy? Kamu tidak suka kehidupanmu saat ini? Tidak merasa bahagia?" tanya Jensen sembari terus menyetir. Kali ini dia mengarahkan setir ke kanan. "I do, but it's all strange. Like I'm not supposed to be here. Aku suka dan bahagia, tetapi semuanya asing. Seperti aku tidak seharusnya berada di sini," sahut Lovarie. Tangan kiri Jensen menggenggam tangan Lovarie. "Lova, you did your best efforts. Of course you're Indonesian, but now you also a part of London. You have two homes. Lova, kamu sudah melakukan yang terbaik. Tentu saja kamu orang Indonesia, tetapi sekarang kamu juga bagian dari London. Kamu punya dua rumah." Ini agak out of topic, tetapi Lovarie tersindir ketika Jensen mengatakan bahwa dia memiliki dua rumah. Tentu yang Jensen maksud adalah Indonesia dan London, tetapi ... Lovarie langsung berpikir bahwa dua rumah itu adalah Jensen dan Auriga. Oke, sepertinya Lovarie sudah tidak waras. Mungkin otaknya terlalu banyak berpikir sampai terjadi sedikit korsleting. Bagaimana bisa dia berasumsi demikian? Pertama, Jensen hanyalah sahabatnya. Ya, sa-ha-bat. Tidak etis bagi Lovarie menganggap bahwa Jensen adalah rumahnya. Apalagi, Jensen sudah memiliki kekasih. Cayanne, yang notabene adalah temannya sendiri. Kedua, untuk Auriga. Rasanya egois sekali bagi Lovarie menganggap Auriga sebagai rumahnya. Rumah kedua yang dia cari ketika rumah pertama berpenghuni. Oh, bahkan itu lebih buruk dari yang dibayangkan. Fix, Lovarie-lah orang jahatnya di sini. Karena hatinya yang plinplan, dia jadi seenak jidat menganggap Jensen dan Auriga seperti itu. Namun, bagaimana lagi? Apa yang bisa Lovarie lakukan sekarang? Benar, tidak ada. Beberapa puluh menit berlalu, mobil berhenti di sebuah rumah bergaya Eropa abad pertengahan. Suasananya membuat Lovarie tidak percaya ada tempat seasri ini di London. Jensen mengajaknya keluar mobil dan lelaki tersebut memimpin jalan menuju rumah. p****t Lovarie cukup pegal karena duduk di jok mobil selama hampir satu jam. "This is too natural for London, right? Ini terlalu alami untuk London, 'kan?" tanya Lovarie. Jensen meliriknya sekilas. "Stupid Lova. This is Watford!" Mulut Lovarie melongo. Hah? Padahal, awalnya Lovarie hanya ingin membolos kuliah dan menenangkan pikiran, tetapi dia justru pergi ke Watford bersama Jensen. "Who's own this house? I've never been here before. Siapa pemilik rumahnya? Aku tidak pernah ke sini sebelumnya," cicit Lovarie. "Cayanne's grandma. Take it easy, this house is empty in the morning. After all, we will only visit the back garden for a while, after that we gonna go home. Milik nenek Cayanne. Tenang, rumah ini biasanya kosong ketika pagi. Lagi pula, kita hanya akan menumpang di taman belakang sebentar, setelah itu pulang," jawab Jensen. Meski belum mengerti, Lovarie mengangguk saja. Toh, yang jadi pusat atensinya kali ini adalah tangan Jensen. Tangan lelaki tersebut menggenggam tangan Lovarie. Seolah tidak ingin lepas. Lovarie tak kuasa menahan senyumnya. Dia tidak bisa membayangkan hal yang lebih baik dari ini. Ternyata taman belakang yang dibicarakan Jensen indah luar biasa. Akses masuknya pun mudah karena hanya ditutup pagar besi yang tidak dikunci. Rindang sekali karena banyak pepohonan besar dengan daun gugur kecokelatan di sekitarnya. Lovarie berdecak kagum, speechless. Tiba-tiba dia menyesal tidak membawa kameranya kemari. Ini akan menjadi objek foto yang mengagumkan. Ada tiga ayunan kayu yang segera Lovarie naiki. Terdapat meja dan kursi, tampaknya dipakai untuk berpiknik. Sejenak Lovarie lupa bahwa itu adalah rumah nenek Cayanne. Siapa saja bisa melihatnya karena taman belakang itu terbuka. Namun, sejauh ini memang tidak terlihat ada orang. Aman. "Did you come here frequently? Apakah kamu sering datang ke sini?" tanya Lovarie sembari mengayunkan diri. Jensen di belakangnya mendorong dengan perlahan. "Not really. I've just came here twice. Tidak. Aku hanya pernah kemari dua kali." Lovarie mengisyaratkan Jensen untuk duduk di ayunan sebelahnya. Jensen menurut dan duduk di sebelah kiri Lovarie. Gadis tersebut kembali mengajukan pertanyaan. "Why did you take me here? Mengapa kamu membawaku ke sini?" "I want you to feel .... Aku mau kamu merasakan ...." Jensen menengadahkan kepala, memejamkan matanya. Angin musim gugur menerbangkan anak rambut Jensen yang pirang. "This peace. Ketenangan ini." Bukannya ketenangan, Lovarie justru merasa gugup karena Jensen hari ini ... benar-benar tampan. Akan tetapi, Lovarie mengikuti gerakan Jensen sembari mengayunkan diri perlahan. "I feel it. The peace, the autumn wind, the silence. Aku merasakannya. Ketenangan, angin musim gugur, keheningan." Ucapan Lovarie seolah terbang tertiup angin. Merasa tidak ada jawaban, Lovarie membuka mata. Jensen tengah menatapnya lamat-lamat. Aduh, bahaya. Kalau Jensen begini terus, bisa-bisa Lovarie mati berdiri. "You're pretty. Please, just the way you are. Kamu cantik. Kumohon, jadilah dirimu sendiri," bisik Jensen di sela-sela terpaan angin yang menyejukkan hati. Harus dengan kalimat apa Lovarie membalas? Dia justru menunduk, menatap tanah yang dipijak. "I always do. You're the one who should do it. Aku selalu melakukannya. Kamu yang harus melakukan itu." Jensen menyahut, "I knew you gonna say something. Just say it. Aku tahu kamu hendak mengatakan sesuatu. Katakanlah." Lovarie menaikkan pandangan, hingga terpaku di mata biru Jensen. "Please, don't use drug anymore. It's not about me, but you. It'll kill yourself slowly and I don't want you to die. Or at least, I don't want to see you die because of that. Tolong, jangan pakai narkoba lagi. Ini bukan tentangku, tetapi kamu. Itu akan membunuhmu pelan-palan dan Aku tidak mau kamu mati. Atau setidaknya, aku tidak mau melihatmu mati karena itu." "Nobody's gonna care about my death. Even my own family. Tidak akan ada yang peduli tentang kematianku. Bahkan keluargaku sendiri." "Me. Don't you dare to forget me. Aku. Jangan berani melupakanku." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD