Cinema and A Little Accident

1678 Words
Sembari berkutat dengan spagetinya, Jensen bertanya, "Did you know that Lova with me? Apakah kamu tahu Lova bersamaku tadi?" Auriga melepaskan atensinya dari laptop, kemudian mengangguk. "Yeah, Russell told me that he--. Ya, Russell mengatakan padaku bahwa dia--" Penuturam Auriga terpotong karena tiba-tiba Jensen tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Lovarie sampai menyodorkannya minum dan mengusap-usap punggung Jensen. Wajah lelaki itu sampai memerah. "Oh my, Russell the one who told you? That's mean he saw us, Lova! Ya ampun, Russell yang mengatakan padamu? Berarti dia melihat kita, Lova!" Lovarie memutar bola matanya, tidak terkejut. "Of course he does. Don't be so stupid. You were yelled at him and gave him a middle finger. Tentu saja. Jangan bodoh. Kamu berteriak padanya dan memberi dia jari tengah tadi." Cengiran lebar Jensen membuat Auriga menggelengkan kepalanya. "I'm trying my best to act surprised. Aku mencoba untuk terkejut." "So, you two have a free time? Jadi, kalian berdua punya waktu senggang?" Pertanyaan Lovarie membuat kedua lelaki di meja itu dengan kompak mengangguk. "Let's go to cinema! I always wanted to watching movie with you. It'll be amazing. Ayo pergi ke bioskop! Aku selalu ingin menonton film dengan kalian. Pasti akan menyenangkan!" "No." "Okay." Dua jawaban berbeda dari dua laki-laki yang berbeda kepribadian pula. Namun, di luar dugaan, yang mengiakan justru Auriga, sedangkan jawaban Jensen menolak ajakan tersebut. Jensen menelan spagetinya, kemudian menatap Auriga yang memakai kembali kacamatanya. Ah, belum tahu, ya? Auriga memang sering memakai kacamata khusus ketika sedang fokus mengerjakan tugas. Selain untuk menghalau sinar dari laptop, juga karena mata Auriga memiliki minus, meski memang tidak besar. "Is my ears error? Do you really wanna watch movie at cinema, Riga? Apakah telingaku rusak? Apakah kamu benar-benar ingin menonton film di bioskop, Riga?" tanya Jensen keheranan. Kepala Auriga mengangguk kecil. "Why not? I'm interested to do it. If you don't want to join, then--. Kenapa tidak? Aku tertarik melakukannya. Kalau kamu tidak mau ikut, lalu--" "I'm in! Aku ikut!" potong Jensen semangat. Lovarie tersenyum lebar. "That's incredible! I'll book three tickets for us. I'm an impatient person, I can't waiting in line just for a film ticket. Luar biasa! Aku akan memesan tiket untuk kita bertiga. Aku orang yang tidak sabaran, aku tidak bisa mengantre hanya untuk sebuah tiket film." "Enggak heran, sih, Mbak Sagittarius emang begitu," komentar Auriga. Tidak menjawab dengan kata-kata, Lovarie hanya melayangkan tatapan tajam yang sama sekali tidak membuat Auriga takut. Jensen yang keki karena tidak tahu pembicaraan Auriga dan Lovarie menyela, "Let's get in my car. Ayo masuk ke mobilku." Auriga menutup laptop, melepas kacamatanya, lantas menjawab, "How about Lova's car? Mobil Lova gimana?" "Can't it just parked in front of this cafe? Tidak bisakah diparkir di depan kafe ini?" usul Jensen. "I don't think it's a good idea. Kupikir itu bukan ide bagus," balas Lovarie. Kepala Auriga mengangguk. "Agreed. We can't--. Setuju. Kita tidak bisa--" "Okay, okay. You ride your car, I ride mine. Kamu mengendarai mobilmu, aku mengendarai mobilku." Lovarie sudah mendapat alarm bahaya. Dia bertanya, "And me?" "With me." Nah, 'kan, benar. Lovarie menepuk jidatnya ketika Jensen dan Auriga menjawab bersamaan. Perkara sekecil ini pun membuatnya pusing tujuh keliling. Harus dengan siapa dia ke bioskop? Jensen melirik Auriga. "She's gonna go with me. You can drive by yourself. Dia akan pergi denganku. Kamu bisa berkendara sendiri." "That's Lova's car. I can't drive it when the owner isn't with me. It's not polite though. Itu mobil Lova. Aku tidak bisa mengendarai itu kalau pemiliknya tidak bersamaku. Itu tidak sopan." Mendengar alasan masuk akal dari Auriga, pandangan Jensen berpaling pada Lovarie. "Lova, you choose. Lova, kamu yang memilih." Baru disuruh memilih pergi dengan siapa ke bioskop saja Lovarie sudah kewalahan. Dia tidak boleh menyakiti hati salah satu dari dua sahabat baiknya. Auriga tentu saja tidak keberatan jika dia bersama Jensen, tetapi ... Lovarie tidak ingin melihat tatapan 'itu' lagi dari mata Auriga. Namun, jika dia bersama Auriga, Jensen akan berpikir yang tidak-tidak. Uh, sungguh, mengapa selalu ada lebih dari satu pilihan? Padahal hanya hal sesepele pergi ke bioskop, Lovarie sampai overthinking seperti ini. Aha! Benar, selalu ada lebih dari satu pilihan bukan berarti hanya ada dua. Jadi, di kepala Lovarie saat ini, ada beberapa opsi yang memungkinkan. Pertama, dia ikut Jensen. Dua, dia ikut Auriga. Tiga, mereka batal menonton. Empat, Lovarie naik taksi. Setelah dipikir ulang, pilihan terakhir adalah yang paling aman. Jadi menonton, tetapi tidak akan menyakiti salah satu hati. "Okay, I have a decision. Aku sudah punya keputusan." Seketika meja kecil itu hening. Jensen mendorong piring kosongnya yang semula berisi spageti. Sedangkan Auriga sendiri sedang berusaha bersikap biasa saja. Menetralkan perasaan agar tidak terlalu berharap. "I'll go with ... cab driver. Aku akan pergi dengan ... sopir taksi." Jensen yang pertama kali bereaksi atas jawaban Lovarie. "What do you mean, huh?"  Lovarie hanya mengangkat bahu. "It's better than choose one between you two. Itu lebih baik daripada memilih satu di antara kalian berdua." "Lo punya dua, tapi pilih yang ketiga?" Pertanyaan Auriga yang diiringi raut wajah tenang itu membuat Lovarie mengerjapkan mata. "Iya. Daripada pilih satu dari dua itu, mungkin mending kehilangan dua-duanya." Jensen berdiri sambil berkata, "Let's go!" Lelaki berambut pirang itu sudah keluar kafe, sedangkan dua orang Indonesia tersebut masih duduk di kursi masing-masing. Hingga Auriga bangkit dan mengucapkan kalimat yang makin membuat Lovarie ingin pulang saja. "Siapa tau lo enggak bakal kehilangan salah satu dari dua itu karena dia enggak keberatan kalo lo pilih yang satunya." Kalimat rumit yang sebenarnya bermakna sederhana. Atau sebaliknya. Kalimat sederhana yang bermakna rumit. Lovarie mematung di tempatnya duduk. Dia tahu persis apa maksud Auriga. Gadis itu menoleh, melihat Auriga dan Jensen yang sedang mengobrol singkat diiringi tawa. Sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya. Mau sampai kapan dia begini? Jika lama-lama dibiarkan, Lovarie yakin semuanya akan makin buruk. But it feels so good. Iya, Lovarie egois. Memang. Dia tahu itu. Lagi pula, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, besok, lusa, seminggu kemudian, bulan depan, bahkan beberapa tahun lagi. We never know. Tidak ada yang tahu. Takdir begitu misterius dan karenanya manusia terus melakukan kesalahan demi mengungkap kebenaran. *** "I'll pay the tickets. Aku akan membayar tiketnya," usul Jensen ketika mereka sampai di salah satu gedung bioskop besar. "I've paid it. Aku sudah membayarnya," sahut Lovarie. Tidak ingin merasa dibayari, maka Jensen kembali menambahi, "Then I'll buy the popcorn. Kalau begitu aku akan membeli popcorn." Auriga bersedekap d**a. "Three Pepsi size large, right? Tiga Pepsi ukuran besar, 'kan?" Senyum Lovarie mengembang lebar. Dia mengangguk setuju. "Great!" Tiga remaja itu berpencar. Lovarie menuju loket tiket, Jensen membeli popcorn, sedangkan Auriga memesan tiga cup besar soda. Hubungan persahabatan yang cukup sehat. Tidak ada yang diberatkan sebelah karena masing-masing ambil bagian. Toh, mereka memang tidak perhitungan menyangkut uang dan materi. Beberapa menit kemudian, ketiganya sudah masuk ke studio dan duduk sesuai tiket yang dipesan. Lovarie memilih berada di tengah sebelum terjadi perdebatan lebih lanjut. Namun, sebelum film dimulai, rupanya Jensen buru-buru keluar studio karena ingin buang air kecil. Tersisa Lovarie dan Auriga yang sedang duduk anteng sambil memakan popcorn masing-masing. Hening di antara mereka, tidak ada yang memulai percakapan.  "Gue penasaran, lo punya temen deket sejak SMP sampe sekarang? Temen yang bener-bener masih berhubungan sama lo saat ini," ujar Auriga. Lovarie berpikir sejenak, lalu menjawab, "Kalo gue mau bohong, jawabannya ada. Sayang, kalo sama lo, gue segan buat bohong. Jadi, jawabannya enggak punya. Rumor orang tua gue bikin hidup gue berubah drastis. Temen-temen gue ngejauh karena benci seketika. Beberapa gue tau mereka orang baik kok, tapi mereka disuruh orang tua buat jangan deket-deket sama gue." Kecepatan rahang Auriga dalam mengunyah popcorn berkurang. Dia merasa tidak enak karena menanyakan hal tersebut pada Lovarie. "Sorry." "Enggak papa. Lo sendiri masih deket sama temen SMA?" "Enggak terlalu, sih. Soalnya gue yang agak menarik diri dari mereka," jawab Auriga. Lovarie memperhatikan wajah Auriga ketika bicara. Wajah Auriga itu ... sesuatu. Rambut panjangnya menutupi jidat sehingga tampak berponi. Ah, bahkan Lovarie baru sadar bahwa dia tidak pernah melihat jidat Auriga. Ya, memang absurd dan tidak penting, sih, tetapi Lovarie penasaran saja seperti apa penampilan Auriga tanpa poni. Gadis itu meletakkan popcorn-nya di pangkuan, menjulurkan tangan pelan, lalu menariknya kembali. "Eh, sorry. Gue cuma penasaran gimana muka lo kalo enggak pake poni." Auriga tersenyum kecil, membuat Lovarie menahan napas sesaat. Aduh, aduh, aduh. Sedekat ini, mengapa Auriga harus mengembangkan senyum begitu? Lampu bioskop masih terang karena film baru beberapa menit lagi dimulai. "Lo ada-ada aja, deh." Baru saja Lovarie hendak meminta maaf lagi, ternyata Auriga menyugar rambutnya ke belakang. Wajah Auriga tanpa poni begitu ... tampan? Entahlah. Namun, Lovarie justru terfokus pada satu titik. Dahi kiri Auriga. Terdapat luka jahit di sana. Sungguh, dia tidak tahu-menahu soal luka di itu. "Itu ...." Auriga mengembalikan rambutnya ke posisi semula. Poni sudah menutupi dahinya kembali. "Makanya gue tutup pake poni. Ngeri, ya? Atau aneh diliat?" Tangan Lovarie kembali terangkat, mengusap luka jahit di dahi Auriga perlahan. Entah sejak kapan Auriga mendapat luka ini, yang jelas lukanya cukup dalam. "Masih sakit?" Sapuan lembut Lovarie di dahinya membuat Auriga menahan napas. Tatapan khawatir Lovarie lebih berharga dari popcorn mana pun. "Enggak," balas Auriga dengan suara serak. "Jangan simpen sakitnya sendiri, ya. Lo punya gue di sini. Mungkin gue emang bukan keluarga lo yang harus tau setiap kejadian yang lo alami, tapi gue siap dengerin apa pun itu. Selalu inget, lo enggak sendirian." Auriga menunduk, menurunkan tangan Lovarie pelan-pelan. "Lova, udah. Gue makasih banget ke lo karena udah perhatian, tapi tolong ... gue juga manusia. Kontrol gue atas perasaan sendiri juga punya batas. Lo tau love language gue kayak apa, jadi jangan bikin gue ngerasa kalo lo ada sesuatu ke gue. Sorry, sorry, sorry. Gue enggak bermaksud buat--" "Hei, it's okay. Gue ngerti, kok. Gue yang enggak seharusnya bersikap seolah kita enggak ada apa-apa. Kita ini sama-sama tau dan sama-sama diem. Soalnya ... emang enggak ada yang bisa kita lakuin, 'kan?" Auriga mendongak, menatap Lovarie tepat menembus jantung. "Ada. Let everything's going in its own way. Biarkan semuanya berjalan sesuai caranya sendiri." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD