Painting is The Only Way

1547 Words
Esok harinya, sekitar pukul dua siang, Auriga menyempatkan diri ke rumah Lovarie. Lagi-lagi tidak ada orang tua Lovarie karena mereka sibuk di toko kue. Auriga diajak ke salah satu ruangan di lantai dua. Ruang lukis yang berisi puluhan karya Lovarie. Bau cat minyak langsung menguar ketika pintu cokelat dibuka. Auriga terpana menatap isi ruangan. Benar-benar indah dan rapi. Kanvas-kanvas putih yang belum dilukis tertumpuk di sudut ruangan, bersama banyak peralatan lukis lain. Sedangkan kanvas yang sudah terdapat lukisan di atasnya terpajang sepanjang dinding. Penataan yang rapi dan tepat membuat sedap dipandang mata. Hal cukup mengejutkan, di salah satu bagian dinding, terpajang beberapa lukisan manusia yang Auriga yakin adalah Jensen. Ternyata dugaannya benar. Lovarie memang menyukai Jensen. "He knows this room and those paintings? Dia tahu ruangan ini dan lukisan-lukisan itu?" tanya Auriga. Lovarie yang berdiri menyender pada dinding tersenyum tipis. "Dia tau semuanya." "Termasuk perasaan lo?" Gadis itu terkekeh pelan. "Kecuali yang satu itu. Gue juga enggak berharap apa-apa." Auriga duduk di sofa yang ada di tengah ruangan. Lovarie mengambil posisi di sebelahnya. Mereka menatap kanvas kosong yang berdiri di easel. "Sagittarius emang gitu, ya." Ucapan Auriga yang tiba-tiba membuat Lovarie mengernyit. "Lo tau dari mana zodiak gue Sagittarius?" Lelaki berambut rapi itu justru tersenyum lebar. "Tebakan gue bener lagi ternyata. Gue mau nebak sekali lagi. Lo Sagittarius Desember, 'kan?" Kali ini, Lovarie menggoyang-goyangkan lengan kiri Auriga. "Kasih tau gue gimana caranya lo bisa tau! Enggak mungkin nebak sehoki itu." "Tebak apa zodiak gue," kata Auriga. Lovarie meletakkan telunjuknya di dagu. "Hm ... muka lo keliatan kayak Aries, tapi bukan juga. Aha! Gemini!" Giliran Auriga beraksi. Dia tertawa kecil. "Usaha bagus, tapi salah semua. Sebenernya enggak perlu nebak, sih, asal lo tau kriteria masing-masing zodiak aja. Orang kayak gue enggak susah ditebak zodiaknya. Rapi, perfeksionis, Virgo banget. Meski itu stereotip, tapi sebagian besar bener. Kadang gue bimbang mau percaya atau enggak sama zodiak." "I see. Hak masing-masing, sih. Gue lebih ke buat main-main aja. Ternyata lo seru juga. Sempet gue kira lo orang yang kaku dan bebal," ujar Lovarie. Auriga melebarkan senyum. "Pasti karena celana item dan kemeja putih polos itu. Emang bener kayak sales rokok. BTW, lo belum jawab pertanyaan gue. Bukan pertanyaan, sih, tapi lo utang cerita ke gue tentang lo." Lovarie berdiri, berjalan menuju sudut ruangan. Tampak menuangkan beberapa warna cat minyak ke palet, memilih kuas, serta mengambil kursi berkaki panjang. Gadis itu duduk di hadapan easel, siap melukis. "Sebenernya hidup gue biasa aja, kayak keluarga yang lain. Bahagia, seneng kumpul sama orang tua. Sampe kejadian hari itu." Lovarie melapisi kanvas dengan warna hitam. "Orang tua kandung gue difitnah mencuri data perusahaan dan dipenjara. Waktu itu gue masih kelas dua SMP. Bisa lo bayangin?" Sungguh, Auriga menelan ludah. Dia tidak tahu kalau masa lalu Lovarie benar-benar kelam. Lelaki itu menatap punggung Lovarie yang sedang melukis. "Pasti ... berat banget. Lo tinggal sama siapa? Makan? Sekolah?" Ganti warna putih yang sedang Lovarie coretkan ke kanvas. "Saudara yang lain mikir orang tua kandung gue emang berbuat jahat. Jadi, gue enggak dianggep lagi sama mereka. Masa itu gue hidup dari sisa tabungan. Tetangga yang udah paham orang tua gue mungkin prihatin dan sering kasih makanan. Empat belas tahun, urus hidup sendiri, bayar tagihan listrik, makan, sekolah." "Gosh ... sekarang orang tua kandung lo masih di penjara?" tanya Auriga. "Ibu dan ayah udah meninggal." Auriga terkejut bukan main. Dia merasa salah ucap, tetapi sebagian dirinya juga bersyukur karena tahu hal ini di awal perkenalan. "Sorry to hear that. Wanna show your emotions? Maaf mendengarnya. Mau menunjukkan emosimu?" Ini aneh. Padahal, mereka baru kenal lima hari, tetapi Lovarie merasa bersama Auriga semuanya aman. Lovarie menoleh, Auriga menatapnya. "Thanks, that's means a lot for me. But painting is the only way I show my emotions. Terima kasih, itu sangat berarti bagiku. Namun, melukis adalah satu-satunya caraku menunjukkan emosi." Sesuai penelitian Auriga, manusia tidak selalu butuh pelukan ketika mereka sedang curhat. Mereka hanya butuh didengarkan. Namun, hal ini tidak bisa dipukul rata dan dijadikan patokan. Kembali lagi pada masing-masing kepribadian orang. Mungkin ada yang memang nyaman dengan sentuhan fisik kecil. Jujur, Auriga ingin tahu seperti apa wajah Lovarie saat ini. Apakah sedih, marah, kecewa, atau apa? Hanya melihat punggungnya, Auriga tidak dapat mengetahui apa pun. "Ayah dan ibu meninggal karena keracunan makanan di penjara. Emang sejak awal udah ada konspirasi dari pihak yang enggak suka sama mereka. Mereka meninggal waktu gue kelas sembilan. Masa-masa yang harusnya sibuk belajar buat ujian, gue justru kelimpungan gimana cara bertahan hidup. Sedih, berantakan, hancur, sakit, gue rasain sendirian. I thought I don't have any reason for life again. Then, God saved me. Kupikir aku tidak punya alasan untuk hidup lagi. Lalu, Tuhan menyelamatkanku. "Dua bule dateng ke rumah cari orang tua kandung gue. Ternyata mereka temen ayah dan ibu. Kami sempet ketemu di Bali waktu gue kecil. Singkat cerita, dengan bantuan tetangga gue yang jago bahasa Inggris, gue sukses jadi anak angkat dan pindah ke London setelah lulus SMP. Life changing yang terlalu tiba-tiba. Belajar bahasa Inggris, hidup sama orang enggak dikenal, kultur baru, pergaulan baru, kehidupan baru. Butuh waktu lama sampe gue bener-bener nyaman. Bukan hal mudah, tapi gue berhasil sampe sekarang." Selanjutnya, hanya ada suara alunan musik lirih dari lantai satu yang sengaja Lovarie putar tadi sebelum masuk ke ruangan lukis. Lidah Auriga kelu. Dia memang sering dicurhati, tetapi ini yang paling singkat, jelas, dan membuatnya menjadi lebih tenggang rasa. Auriga berdeham, mengubah posisi duduknya. "Gue ... jujur, gue bingung mau ngomong apa." Lovarie bangkit dan mundur beberapa langkah. Melihat lukisannya dari jarak beberapa meter. Tak lama, dia ambil kanvas itu, diserahkan pada Auriga. "Lo satu-satunya orang yang gue ceritain hampir semua dari cerita hidup gue di minggu pertama kenal. Entah gue yang doyan curcol atau emang lo punya aura kuat yang bikin orang nyaman dan aman sama lo. Sekali lagi, makasih." Lelaki bernama Auriga Aprilio itu menatap lukisan di tangannya yang berlatar warna hitam dan terdapat objek titik koma (;) berwarna putih. "Lov, ini alasan kenapa gue terbuka sama lo kemaren malem. Lo perempuan cerdas dan kuat. Makasih udah berbagi ke gue. Gambar ini memperjelas perasaan lo." Senyum Lovarie mengembang. "Cuma lo yang langsung tau arti gambar gue tanpa tanya-tanya." "Yah, dan mungkin cuma gue yang bisa ngertiin lo." Kemudian, keduanya tenggelam dalam lenyap. Mata mereka beradu, tetapi lidah sama-sama kelu. Mereka hanya dua remaja dari negara yang sama dan kebetulan bertetangga. Hanya itu. Sisanya takdir yang bicara. Atau Jensen yang akan bicara karena dia sudah berada di ambang pintu. "SURPRISE! KEJUTAN!" seru Jensen. Lovarie dan Auriga sama-sama kaget. Senyum Lovarie mengembang lebar seketika. "You told me you'd be here at night! Kamu bilang kamu akan ke sini malam hari!" Teriakan Lovarie membuat Jensen tertawa kecil. "Technically yes, but the project is kinda boring. I literally prefer spend the time with you. Secara teknis iya, tetapi proyeknya agak membosankan. Aku benar-benar lebih suka menghabiskan waktu denganmu." Dapat Auriga lihat pipi Lovarie merona sedikit, tetapi raut gadis itu biasa saja. Hm, cukup pandai memanipulasi. "It's been a long days without you my friend. Hari-hari terasa panjang tanpammu, teman," sapa Auriga. Jensen justru bersenandung menggunakan nada lagu "See You Again" milik Charlie Puth dan Khalid. "It's been a long days, without you my friend. So, what are you doing here? Apa yang kalian lakukan di sini?" "As always, painting. Seperti biasa, melukis," jawab Lovarie, "there's any perform tonight? Ada penampilan malam ini?" Wajah Jensen seperti sedang mengingat-ingat. Dia pun mengangguk. "Seven PM at Cornelius Café. You'll be there, right? Jam tujuh malam di Cornelius Café. Kamu akan di sana, 'kan?" Sebelum menjawab, Lovarie menoleh pada Auriga. "Ikut, yuk! Nonton band-nya Jensen tampil. Lumayan dapet meja depan." Auriga mengangguk. "Boleh." "What? Apa?" tanya Jensen tak paham. Lovarie terkekeh dan berkata, "I invited him to join us. It'll be fun! Aku mengajak dia untuk bergabung. Itu akan menyenangkan!" Jensen menyugar rambutnya yang cukup panjang dan tergerai. "Woohoo! You have to watch me on the stage! It really badass! Kamu harus melihatku di panggung! Itu benar-benar keren!" Lelaki yang duduk di sofa itu tertawa kecil. "I know that. You're a girl's-magnet type. Like Harry Styles, or someone like him. Aku tahu. Kamu adalah tipe pemikat gadis. Seperti Harry Styles atau seseorang yang seperti dia." "I am. You know what, Dude. Benar. Kamu tahu, Bro," ucap Jensen sembari merangkul leher Auriga. "I slept with random girl yesterday. Manchester's girls are incredible, you have to try one. Aku tidur dengan gadis random kemarin. Gadis-gadis Manchester luar biasa, kamu harus mencobanya." Bukannya antusias dengan topik bahasan, Auriga justru menelan ludah. Dia melirik Lovarie yang berwajah datar, tetapi sinar matanya meredup. Gadis itu pasti sudah sering mendengar berita seperti ini dari Jensen. Auriga menggeleng pelan. "I don't do free s*x, sorry. Aku tidak melakukan seks bebas, maaf." Lovarie menjitak kepala Jensen. "Can you stop talk about s*x and your many girls? Bisakah kamu berhenti bicara tentang seks dan gadis-gadismu?" Jensen menyeringai lebar dan mendudukkan Lovarie di pangkuannya. "Are you jealous, Baby Girl? Apakah kamu cemburu, Baby Girl?" Segera Lovarie berdiri dan menendang tulang kering Jensen. "In your dream! Mimpi!" Sedangkan Auriga di tempatnya tersenyum tipis. Pantas saja Lovarie terbawa perasaan. Perlakuan Jensen saja begitu. Kasihan sekali Lovarie. Korban friend zone. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD