The Old Wound has Found Its Cure

1530 Words
Entah bagaimana caranya kesabaran Lovarie selalu berhasil membujuk Jensen. Mereka sudah berada di taksi, menuju perumahan. Mungkin istirahat adalah hal terbaik yang dibutuhkan Jensen. Sampai di rumahnya sendiri, Jensen langsung masuk dan Lovarie berlari menyusul setelah membayar taksi. Terdengar teriakan dari dalam rumah. Suara Violet. Lovarie mengumpat, cukup kacau keadaan ini. "JENSEN! LISTEN TO ME! Dengarkan aku!" seru Violet. Jensen seolah menuli, dia terus saja menaiki tangga dan memasuki kamar sendiri. Pintu ditutup kencang. Violet yang hendak membuntut langsung dicegah Lovarie. "No more, Lova. He should--. Jangan lagi, Lova. Dia harus--" Lovarie mengangguk paham. "I know, I know, but he's literally a mess. He was hit our friend by car on the road, but she's okay. It was an accident. Sorry, but I think he's still trauma about ... José's death. Aku tahu, aku tahu, tetapi dia benar-benar kacau. Dia menabrak teman kami dengan mobil di jalan, tetapi dia baik-baik saja. Itu kecelakaan. Maaf, tetapi kupikir dia masih trauma tentang ... kematian José." Violet menghentikan gerakannya setelah mendengar nama José. Lovarie tersenyum kecut. Dialah yang membuka luka lama di keluarga ini. Meski merasa bersalah, Lovarie harus melakukannya demi Jensen. "I'm so sorry, Aunty. Jensen needs support and I'll be there if you allow me. Maaf, Bibi. Jensen butuh dukungan dan aku akan di sana jika Bibi mengizinkanku." "Please take care about him. Thanks a very lot, Lova. You always be in his side and I don't know how can I pay it back. Tolong jaga dia. Terima kasih banyak, Lova. Kamu selalu berada di sisinya dan aku tidak tahu bagaimana cara aku membayar itu." Jika sudah begini, bagaimana pula Lovarie menolaknya? Ini salah satu alasan Lovarie selalu ada untuk Jensen. Violet benar-benar mengandalkannya, meski sering mengomel karena Lovarie terlalu melindungi dan memanjakan Jensen. Namun, di lain sisi, Lovarie tahu sekali bahwa Violet menyayanginya, pun kepada Jensen. Setelah itu, Lovarie masuk ke kamar Jensen seperti biasa, menutup pintunya pelan. Dia berjalan menuju Jensen yang terduduk di sofa kamar. Tidak ada percakapan. Lovarie hanya duduk di sebelah Jensen, meletakkan kepalanya di bahu lelaki itu, memejamkan mata. Suasana tenang ini adalah interaksi mereka yang menjadi favorit Lovarie. Suara tik jam dinding terlalu lambat jika dibandingkan dengan debaran jantung Lovarie saat ini. Jensen menautkan tangan mereka tanpa mengucap apa pun. Lovarie berusaha sekeras mungkin agar tidak terbawa perasaan dan tahu situasi. Bukan saatnya mengurusi masalah hati. "Sing for me, please? Menyanyi untukku, plis?" pinta Jensen pelan. Lovarie terkekeh. "You'd regret it later. I'm not have a good voice, you know it so well. Kamu akan menyesalinya nanti. Suaraku tidak bagus, kamu tahu betul." Jensen menggeleng pelan. "Just sing." Usai beberapa detik memilih lagu yang hendak dinyanyikan, akhirnya pilihan Lovarie jatuh pada lagu "cardigan" milik Taylor Swift. Cukup mengekspresikan perasaannya. "You know me and you're really my favorite cardigan, Lova. Kamu mengenalku dan kamu adalah kardigan favoritku, Lova," bisik Jensen. To kiss in cars and downtown bars Was all we needed You drew stars around my scars But now I'm bleedin' "I'll never make you bleeding. Aku tidak akan pernah membuatmu berdarah," shut Jensen lagi. Lovarie hanya bisa tersenyum tipis dan melanjutkan nyanyiannya. And I knew you'd come back to me "I knew I'd come back to you. Again, as always. Aku tahu aku akan kembali padamu. Lagi, seperti biasa." Jensen memeluk pundak Lovarie. "Thank you. Terima kasih." Sesingkat itu. Ucapan terima kasih sesingkat itu sudah cukup bagi Lovarie. Dia balas memeluk perut Jensen. "I'm always here and you can count on me. Aku selalu di sini dan kamu bisa mengandalkanku." Jensen mencium pipi kanan Lovarie tiga kali berturut-turut. "I'm feeling better now. Aku merasa lebih baik saat ini." "Are you sure you're okay? You can tell me anything, but please, don't doing drugs .... Yakin kamu baik-baik saja? Kamu bisa cerita apa pun padaku, tetapi tolong, jangan memakai narkoba ...." Gerakan tangan Jensen di rambut Lovarie berhenti sejenak. Lelaki itu berujar dengan nada pelan. "I've tried, but I can't. Sorry because you have to buy it for me. You shouldn't do it again, I can ask help to my friends. Sudah kucoba, tetapi gagal. Maaf karena kamu harus membeli itu untukku. Kamu tidak seharusnya membeli itu lagi, aku bisa meminta bantuan pada teman-temanku." Kepala Lovarie sontak tergeleng, membuat Jensen mengernyit. "This is selfish, but ... I want you to depend only on me. Lemme be your best friend and best friend would do anything, right? Ini egois, tetapi ... aku mau kamu hanya bergantung padaku. Biarkan aku jadi sahabatmu dan sahabat akan melakukan apa saja, 'kan?" "I don't know how it's going to be kinda romantic. So strange because we usually don't do this thing. Cringe, isn't it? Let's back to normal. Aku tidak tahu bagaimana itu menjadi agak romantis. Sangat aneh karena kita biasanya tidak melakukan ini. Menggelikan, bukan? Ayo kembali normal," celetuk Jensen. Lovarie tertawa hambar. Apa katanya? Cringe? Interaksi ini cringe menurut Jensen? Baru saja Lovarie senang karena Jensen menggenggam tangan, mencium pipi, serta memeluknya. Keadaan memang dapat berubah kapan saja. Secepat itu Jensen menerbangkan Lovarie, kemudian dihempaskan. Karena sudah telanjur sakit hati, Lovarie bertekad sekalian menghancurkan hatinya supaya esok sudah tidak dapat mencintai Jensen. Maka, Lovarie pun bertaya hal dan topik yang akan menyayat hatinya tipis-tipis. "So, tell me about your present girlfriends. Jadi, ceritakan padaku tentang pacar-pacarmu saat ini." Jensen mencubit hidung Lovarie. "Since when you curious about them?" Oke, sayatan pertama sudah dibuat. Jensen menyebut pacar-pacarnya dengan "them" atau "mereka". Berarti memang ada lebih dari satu gadis. Lovarie tersenyum lebar. "Just tell me! How many girls? Ten? Twenty? Katakan saja! Berapa banyak? Sepuluh? Dua puluh?" Lagi-lagi Lovarie menerima kekerasan dari Jensen. Oh, maaf terlalu berlebihan kata-katanya. Jensen hanya menjitak jidat Lovarie, tidak bisa disebut kekerasan, ya? "Too much, Silly Girl! I just dating with three girls. Terlalu banyak, Gadis Konyol! Aku hanya kencan dengan tiga gadis." "The crazy f**k boy, like always. Laki-laki b******n gila, seperti biasa." Giliran Jensen. Dia memosisikan duduknya agar berhadapan dengan Lovarie. "Why are you still single? You know exactly there's many boys have a crush with you, right? Kenapa kamu masih jomlo? Kamu tahu persis banyak laki-laki yang naksir kamu, 'kan?" Lovarie memasang raut ingin muntah. "Did you mean The Arrogant Peter and Hugo with his scary biceps? Apakah maksudmu Peter si Sombong dan Hugo dengan biseps mengerikannya?" Jensen tertawa tanpa bisa ditahan. "Agree with Peter's arrogantly, but hei, Hugo's biceps so big and strong, isn't it? Setuju dengan kesombongan Peter, tetap hei, otot biseps Hugo sangat besar dan kuat, bukan?" Membayangkan Hugo yang gila olahraga untuk membesarkan otot bisepsnya membuat Lovarie bergidik. "BIG NO, JENSEN!" "How about Auriga? You forgot to mention him in the list of boys who have a crush with you. Bagaimana dengan Auriga? Kamu lupa menyebutkannya di daftar laki-laki yang naksir kamu," ucap Jensen. Kali ini Lovarie tidak buru-buru merespons. Mengapa Jensen berujar demikian? Karena kejadian truth or dare itu atau apa? "Why are you assumed he has a crush with me? Kenapa kamu berasumsi dia naksir aku?" Senyum miring lelaki berambut pirang itu tercipta. "Boys always know each others. No need a hard work to know that Auriga interested to you. Laki-laki selalu memahani satu sama lain. Tidak perlu berusaha untuk mengetahui bahwa Auriga tertarik padamu." Ucapan tersebut mau tak mau membuat Lovarie berpikir. Benarkah? Tidak mungkin juga, 'kan? Pasti Jensen sedang bercanda. Namun, ketika teringat ciuman itu dan fotonya bersama Auriga, pipi Lovarie memanas. "Well, you're into him too, right? Nah, kamu juga naksir dia, 'kan?" Entah mengapa sulit sekali bagi Lovarie menggeleng. Jadilah dia diam seperti patung. Jensen menunggu jawabannya. "I don't know. Aku tidak tahu." "Yes you are. Iya, kamu naksir." Lovarie menggeleng-geleng kecil. "I'm not sure. Can we stop talk about this? Aku tidak yakin. Bisakah kita berhenti membahas ini?" Jensen bersiul pelan, menggoda Lovarie yang merotasikan dua bola matanya. "Okay then, what we gonna talk about? Oke kalau begitu, apa yang akan kita bicarakan?" "I wanna reminding that you always have me. Even if someday we become enemy to each others, I always here for being your listener. Don't do any stupid thing when you're alone. Call me, then I'll be there as soon as possible. Aku ingin mengigatkan kalau kamu selalu memilikiku. Bahkan jika suatu hari nanti kita menjadi musuh, aku selalu di sini menjadi pendengarmu. Jangan melakukan hal bodoh ketika kamu sendirian. Panggil aku, aku akan datang secepat mungkin." Tahu tidak Lovarie dan Jensen jarang sekali membahas hal seperti ini karena mereka memang sengaja menghindarinya. Mereka sama-sama tidak suka sedih membahas kemungkinan yang tidak ingin mereka alami nantinya. Padahal, aturan alam sudah ada sejak dahulu. Manusia hidup untuk dua hal, satu berusaha mengubah takdir, dua menerima takdir yang tidak bisa diubah. Sejatinya Jensen sendiri tidak pandai dengan kata-kata. Maka, dia pun hanya memeluk Lovarie erat-erat. Tidak apa-apa. Ini lebih dari cukup bagi Lovarie. Setidaknya, Jensen tahu bahwa dialah yang akan selalu berada di sisi Jensen, berapa kali pun Jensen akan membuangnya. Katakanlah Lovarie bodoh atau naif karena rela melakukan hal timpang sebelah seperti itu. Namun, Lovarie benar-benar ikhlas melakukannya. Dia tidak tahu bahwa suatu hari, dia akan diperlakukan sedemikian tulusnya. Oleh seseorang yang masih dirahasiakan namanya. Bisa jadi Jensen, orang yang dia kenal, atau justru orang baru. Who knows? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD