Bab 3

1271 Words
Gegas kutinggalkan kamar, meninggalkan Mas Raga sendirian dengan emosinya yang menggebu. Terdengar suara benda-benda yang dibanting setelahnya. Mungkin dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dalam. Dan sekali lagi, aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting sekarang adalah pergi jauh darinya. Aku juga akan segera mengakhiri biduk rumah tangga kami. Tak guna mempertahankan seorang pengkhianat seperti dia. Afni sedang bermain di tengah rumah bersama dengan para sepupunya. Tak kulihat keberadaan Dika di sana. Mungkin dia sedang bersama baby sitter dan bodyguard-nya di tempat lain, entah. Mbak Anisa—kakaknya Mas Raga sedang menutup mulut. Tatapannya melihat ponsel di depannya dengan wajah terkejut. Heh, dia pasti sudah melihat kabar terbaru tentang adiknya. Wanita itu mengangkat wajah begitu mendengar langkah kakiku yang mendekat. “Apa ini, Zea? Ini pasti ulahmu, ‘kan? Ayo, ngaku!” Mbak Anisa melotot, “Mbak nggak percaya kamu setega itu pada Raga? Atau jangan-jangan ponselmu di retas oleh orang lain dan ia yang menyebarkan aib suamimu sendiri ke khalayak?!” tanya Mbak Anisa yang sepertinya tak percaya. Aku terkekeh membuatnya keheranan. “Kenapa heran begitu, Mbak? Lambat laun bukankah semua orang harus mengetahui tentang perbuatan Mas Raga dan wanita itu? Jadi, ketika saatnya datang, kenapa Mbak justru sangat terkejut?!” “Iya, tapi nggak begitu juga caranya. Kamu bodoh atau apa sih, Ze. Kelakuan nggak pake otak!” tudingnya geram. Belum selesai ucapannya, Mas Beni—kakak pertama Mas Raga juga ikut geram dan menatapku kesal. Kuraih kaos kaki milik Afni dan memakaikannya. Mbak Anisa meraih bahu membuatku berbalik menatap cepat ke arahnya. “Iya, tapi tidak begini juga, Zea. Kalau seperti ini caranya kau hanya akan mempermalukan semua orang. Bukan hanya Raga dan Sheva yang kena imbasnya, tapi pekerjaan suamimu, keluarga besar kita, termasuk kamu dan anak-anakmu,” serang Mas Beni turut campur, tapi tak kupedulikan. “Ze, kenapa diam?!” tanya wanita itu lagi. Aku berbalik cepat. Kupasang wajah garang menatap keduanya. “Aku tidak akan bertindak sejauh ini kalau tidak pernah memikirkan konsekuensi yang akan kudapatkan setelahnya.” “Sebenarnya kamu pasti tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu, atau jangan-jangan karena emosi dan cemburu, makanya kamu gelap mata sampai menyebarkan semuanya, termasuk bukti chat dan foto-foto m***m mereka?!” Mas Beni bertanya lagi. Mungkin aneh dengan sikapku yang sekarang. “Iya, Zea. Kenapa tega kamu melakukan hal itu pada suamimu sendiri. Setidaknya jika kamu sakit hati, pikirkan anak-anakmu juga. Orang akan menilai buruk kamu dan juga orang-orang di sekitarmu, termasuk kami juga,” timpal Mas Beni. Kakak pertama Mas Raga itu selalu membela adiknya yang salah. Aku menghela nafas dan masih menatap tenang. “Sudahlah Mbak, Mas, aku tahu konsekuensi yang harus kuhadapi dan aku sudah siap. Lagi pula aku tidak mau hancur sendirian. Mas Raga dan gundiknya harus merasakan konsekuensinya juga.” “Zea, ini—” Ucapan Mas Beni terhenti saat Afni tiba-tiba bersuara. “Ma, kita mau pergi ke mana, sih? Dan kenapa semua orang marah-marah?” tanya Afni begitu kuraih tangannya dan bersiap pergi. “Kita pulang ke rumah, ya. Mereka nggak marah, cuma lagi becanda.” “Tunggu, Zea. Obrolan kita belum selesai. Setidaknya kamu harus mendengarkan pendapat semua orang. Suruh Raga dan yang lainnya kumpul, kita bicarakan baik-baik.” Mbak Anisa mencoba menahanku, tapi aku menggeleng. “Bahkan setelah semuanya terjadi, Mbak Anisa masih menyuruh kami untuk kumpul. Buat apa, Mbak? Dan kenapa kalian masih ingin membela pria yang jelas-jelas salah itu?!” “Zea, kok kamu ngomongnya gitu sih. Ya ‘kan semuanya harus diselesaikan dengan kepala dingin. Seenggaknya kamu harus minta maaf dan menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai.” “Maaf Mbak, tidak ada lagi yang harus kujelaskan dan aku juga tak peduli dengan pendapat dari kalian. Bagiku semuanya sudah selesai. Aku akan kembali ke rumahku. Maaf, aku tidak ikut mendoakan ibu di sini.” “Lalu kamu akan angkat tangan begitu saja, hah?! Bagaimana dengan Raga, dia pasti mendapatkan banyak masalah setelah ini,” ucap Mas Beni kembali bersuara cemas. Mereka berdua hanya memikirkan tentang adiknya saja, dan tidak pernah memikirkan bagaimana hatiku yang terus-terusan dikhianati. Miris. Aku menatapnya datar dan mengangkat bahu, “Aku tidak peduli, yang jelas tugasku sudah selesai. Setelah ini aku akan segera mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Semoga Mbak Anisa dan Mas Beni bisa membujuk Mas Raga untuk mempercepat semuanya dan tak perlu mengundur waktu.” “Apa kau bilang?! Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Zea. Kau dengar, kita tidak akan pernah bercerai!! Sampai kapanpun kau akan tetap menjadi istriku!!” Aku dan dua orang yang tengah berdebat melempar tatap ke arah kiri. Entah sejak kapan Mas Raga mendengar pembicaraanku dengan dua kakaknya, tapi aku tidak peduli dan memilih membuang muka. “Itu urusanmu sendiri! Berani berselingkuh tentu berani bertanggung jawab dengan perbuatanmu, dan pada akhirnya jalan yang kupilih adalah perpisahan! Permisi!!” Gegas aku pergi ke arah pintu. Mencari Dika yang pasti sedang diajak main oleh Arvan. Keduanya sangat dekat setelah papanya tak peduli dengan anak itu. “Zea, kau tidak mendengar ucapanku barusan? Kita tidak akan pernah bercerai, tidak sampai kapanpun! Jadi, pikirkan lagi kata-katamu itu!!” Mas Raga memburu ke halaman. Berulang kali menarik tangan tapi berkali-kali juga kutepis kasar. Aku menatapnya jijik dan malas bersentuhan lagi dengannya. Bodohnya kenapa baru sekarang aku sadar kalau semuanya tak guna kupertahankan. “Zea, kau dengar aku, hah?!” Mas Raga yang kesal menahan bahu dan meremasnya. Rasa perih seketika terasa. Tenaga besar pria itu bertambah dengan emosi mampu meremukkan tulangku. “Papa! Jangan sakiti Mama!!” Afni yang melihat papanya marah sontak berteriak histeris. Mas Raga buru-buru melepaskan tangannya dan menyuruh anak itu untuk bermain dengan sepupunya. “Maaf Afni, Papa nggak sengaja. Sekarang main dulu sama Winda, ya.” Mas Raga melihat kepergian anaknya sekilas lalu tatapannya kembali jatuh padaku. “Kau lihat bagaimana anak-anak akan terluka atas keputusan sepihakmu ini? Pikirkan lagi. Kalau perlu aku akan minta maaf. Jadi pikirkan itu baik-baik, Zea.” Mas Raga bicara setenang mungkin tapi aku menanggapinya dengan sinis. “Itu urusanmu, yang jelas keputusanku sudah final. Aku tidak akan kembali apalagi memaafkanmu. Sudah cukup sakit hati yang kualami selama ini. Terima juga semua yang sudah kau lakukan. Tidak usah pikirkan pernikahan kita, karena saat aku berada di sisimu pun, kamu menganggapku tidak ada, dan lebih memilih berlabuh pada wanita lain,” ucapku dingin sambil terlalu. Kucari dua anakku di belakang rumah. Rupanya Arvan dan Dika sedang berada di halaman. Ada Afni juga yang langsung mendekat dengan wajah bingung. “Bu Zea, Anda mau kemana?” tanya Arvan. “Kita pergi dari sini, Arvan. Tugasku sudah selesai dan tak ada lagi yang harus diurusi di sini. Kau pastikan saja Afni dan Dika berada di bawah perlindunganmu. Karena setelah ini aku yakin Mas Raga tidak akan diam saja,” ucapku menjelaskan. Pria yang sudah menjadi bodyguard selama 2 tahun itu mengangguk dengan cepat, kemudian berjalan ke sisi mobil. Dia membuka pintu samping, aku dan dua anakku masuk ke dalam, dia dan baby sitter duduk berdampingan, sementara kulihat Mas Raga mengumpat di halaman. “Mama, papa marahan sama Mama ya, atau apa kalian bertengkar lagi?” tanya Afni yang lebih peka daripada adiknya. Aku menggeleng dengan hati meringis, berusaha tersenyum meskipun hatiku nyeri. “Nggak kok, Afni. Cuma mulai sekarang mungkin kita akan sedikit jarang bertemu dengan papa. Afni tahu ‘kan kalau papa sangat sibuk?!” Gadis kecilku mengangguk dengan cepat. “Iya, Ma. Aku juga nggak apa-apa, kok. Lagian ‘kan aku memang jarang sekali ketemu sama papa.” “Makasih udah ngertiin keadaan Mama, ya?” “Iya, Mama.” Aku mengusap kepala gadis kecilku, sampai ketika tiba-tiba mobil mengerem mendadak dan kepalaku hampir membentur jok di depan. Arghhh!! Ada apa ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD