new beginning

493 Words
Setiap orang diberi kebebasan untuk memilih dan berkehendak. Dalam setiap pilihan, ada dua jawaban yang dapat dipilih. Entah itu iya atau tidak, salah atau benar. Selalu berkutat di antara keduanya. Terkadang memilih satu di antara keduanya bisa mendatangkan pergolakan pikiran. Sebab tidak semua keputusan mudah untuk dipertimbangkan. Menikah dengan Mas Bara adalah keputusan yang termasuk mudah dan tidak perlu Kiara pertimbangkan. Tentu saja selain keputusan untuk berpacaran dan menerima lamaran Mas Bara. Rasanya bukan hanya Kiara saja yang tidak akan menolak lamaran Mas Bara. Mustahil ada wanita yang mampu menolak pesona Mas Bara. Mas Bara lahir dari keluarga Tantono yang terkenal sebagai pemilik saham di banyak perusahaan besar. Tantono Group bergerak di sektor industri dan teknologi yang tentu saja membuat keluarga besar Tantono sebagai salah satu keluarga borjuis. Posisi menjanjikan di perusahaan keluarga yang tentu saja akan menjadikannya sebagai direktur utama jika waktunya tiba, dan kecerdasan yang mampu membawanya menyelesaikan program doktoral dari salah satu universitas ternama di Jerman pada usia 30 tahun. Dua hal itu tentu sudah cukup membuat banyak perempuan menggilainya. Sayangnya, Mas Bara punya lebih dari itu. Mas Bara dan postur tubuhnya yang tinggi, tegap, dan atletis, serta wajah tampan membuat banyak konglomerat menawarkan putri mereka untuk dinikahkan dengan Mas Bara bahkan sejak usianya belum remaja. Tapi ada hal yang membuat Kiara sedikit menyesal dengan keputusannya mau menjadi istri Mas Bara. "Tidak perlu melanjutkan praktikmu sebagai dokter anak, Ki. Uangku sudah terlalu cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anak kita," kata Mas Bara di malam pertama pernikahan mereka, mengulangi yang sudah ia katakan pada Kiara beberapa kali setelah Kiara menerima lamarannya ketika itu. "Mas tahu sendiri perjuanganku sampai bisa menjadi dokter anak, tidak bisa semudah itu," jawab Kiara. Wajah Mas Bara memerah karena amarah. Masuk akal ia marah, sudah berkali-kali ia menjelaskan alasannya dan Kiara masih saja bersikeras ingin menggunakan gelar dokter anak yang dimilikinya. Alasan Kiara menurut Mas Bara terlalu klise; ingin menolong. Bilang saja soal uang.  Mas Bara menghela napas kesal. "Apa alasanmu mau jadi dokter anak, hah?" "Kamu suka anak kecil? Aku bisa memberikan anak kecil secepat mungkin dan sebanyak yang kamu mau, Ki!" kata Mas Bara. Selalu percuma melawan Mas Bara jika ia sedang penuh amarah, jadi Kiara memilih diam. Perasaannya diwakili air mata yang mengalir perlahan. Berkali-kali Mas Bara memintanya untuk tidak menggunakan gelar yang didapatnya setelah hampir 10 tahun perjuangan dan mengabdikan diri sebagai istri, berkali-kali pula Kiara mencoba merayu laki-laki yang sudah dipacarinya sejak awal masuk di fakultas kedokteran salah satu universitas ternama di Indonesia. Dari perdebatan yang tidak bisa Kiara lanjutkan, bahkan menangkan di malam pertama setelah ia resmi menyandang status sebagai istri sah Bara Tantono, Kiara mencoba merelakan nasibnya. Mungkin sudah menjadi takdirnya untuk barefoot, pregnant, and in the kitchen seperti pepatah lawas. Hidupnya hanya untuk hamil, melahirkan, membesarkan Tantono-Tantono kecil untuk menyenangkan Bara Tantono. Mas Bara tidak salah sewaktu ia berkata akan memberikan Kiara anak kecil secepat mungkin. Sebulan pernikahan mereka, dua garis merah itu muncul di testpack yang Kiara pegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD