[1] Awal Rencana

1629 Words
Di kediaman Albert, lebih tepatnya di ruang santai. Tiga orang pria yang memiliki wajah hampir sama itu sedang merundingkan hal serius. Satu di antaranya sudah paruh baya, rambutnya pun sudah ditumbuhi uban. Sedangkan dua orang lainnya mereka kembar dengan kepribadian yang berbeda-beda. Adam Albert hanya memiliki anak kembar yang bernama Aldi Albert dan Alan Albert. Pria paruh baya itu sedang membicarakan prihal keinginannya kepada kedua anaknya. Mungkin sudah saatnya mereka memiliki keluarga masing-masing. Dan hidup tanpa bergelantungan pada hartanya. "APA?" "Papa ingin melihat kalian menikah dan hidup bersama dengan pasangan kalian masing-masing. Papa rasa umur Papa gak akan panjang." "Papa bilang apa sih," kata Aldi tidak suka. "Iya nih si Papa, ngomongnya suka ngaco!" sahut Alan dengan santai. "Lagian ya Pa, kita ini masih kuliah. Masa disuruh kawin." "Nikah Lan, bukan kawin," ralat pria itu. "Kalian kan kuliahnya semester akhir. Jadi, kalian bisa fokus dulu sama kuliahnya. Kalo udah selesai mah bebas mau ngelakuin apa saja sama istri kalian nanti." Setelah dipikir-pikir apa yang diucapkan Papanya terdengar mudah. Tapi kan Aldi tidak punya pasangan, mau nikah sama siapa? Lalu dia menjawab, "Iya sih, Pa. Tapi kan aku belum ada calonnya. Si Alan aja dulu yang udah punya." "Yah ... jomblo emang gitu ya," ledek Alan. "Heh bang, di mana-mana yang nikah duluan itu yang paling tua dulu. Kagak mau gue ngelangkahin lo, ntar kualat. Gue juga yang kena, b**o!" "Alan!" peringat Adam dengan tegas. Pria paruh baya itu tidak suka jika sedang berkumpul, anak-anaknya mulai bicara yang tidak sopan. Dengan siapapun dia, atau di manapun dia berada, Adam tidak ingin anaknya berbicara yang tidak baik. Karena orang ada saja yang menilai dari cara bicaranya. "Iya, maafin Alan, Pa. Nggak lagi deh, tapi nggak janji juga hehe." Lelaki itu menyengir sambil mengangkat dua jarinya Adam menggelengkan kepala mendengar ucapan anak bungsunya itu. Lalu ia menatap pada si sulung yang sedang menunduk. Memang Aldi ini sifatnya berbeda dengan sang adik. Kalau Alan memiliki sifat pecicilan tapi humoris. Sedangkan Aldi sedikit agak pendiam, tapi sifatnya yang tak mau kalah dari siapapun, membuat Adam tidak menyukai sifatnya. Bersyukur sekali Adam tidak mempunyai anak yang sifatnya dingin seperti di novel yang pernah ia baca, ketika istrinya masih hidup. Dulu waktu sedang mengandung si kembar, istrinya mengdiam baca novel terus. Sampai satu rak penuh dengan novel dari berbagai genre. Semua akan dilakukan Adam asal istrinya bahagia. Sayang, kini tinggal kenangan. "Di, kamu tenang aja. Papa cari pendamping buat kamu yang insyaalloh calonnya baik. Papa mana mungkin cari calon menantu yang nggak bener. Betul gak, Lan?" Alan mengangguk setuju. Karena tidak mungkin juga seorang Ayah mendorong pada yang salah. "Pa, nggak usah deh. Ini tuh udah zaman modern. Nggak usah jodoh-jodohin segala, aplikasi cari jodoh juga ada," tolak Aldi sambil berdecak kesal. "Belum tentu cari jodoh lewat aplikasi bener bibit, bebet, bobotnya. Mendingan langsung Papa jodohin biar tau gimana kelakukannya. Calonnya juga baik, bukan kata Papa aja loh." "Bener tuh, Di. Emang lo mau dapet istri di foto iya sih cantik, lah aslinya ternyata astagfiruloh." Aldi terdiam. Kalau sudah adu bacot dengan adik kembarannya, pasti ia kalah. Meskipun sebenarnya dia tak mau kalah. Tapi harus inget, mulut adiknya sudah bagaikan bebek kelaparan. "Pokoknya Papa mau kalian segera nikah, itu tujuannya. Papa udah capek ngurus kalian sampe segede gini," ucap Adam. "Wah, Papa mau nelantarin kita, iya? Oke fiks Pa, kamu bukan bapakku lagi!" kata Alan dengan dramatis. "Iya, Papa udah muak liat muka kalian yang gak ada gantengnya dibanding Papa. Apalagi muka kamu, Lan." Adam berdiri dari duduknya dibantu dengan tongkat sebagai penahan. "Satu bulan lagi pernikahan kalian akan dilaksanakan. Alan, kamu segera hubungi pacar kamu. Nanti besok kita datang ke rumahnya. Dan kamu Aldi, kita akan ke rumahnya dua hari lagi." Setelah sang Papa sudah masuk ke kamarnya, Aldi menghempaskan tubuhnya ke sofa dibarengi helaan nafas panjang. Sedangkan Alan memainkan ponsel dengan wajah tanpa beban. Berbeda dengan Aldi yang terlihat frustasi. "Lan, gimana ini?" gerutu Aldi. "Kagak gimana-gimana. Kita gak bisa nentang Papa, dan gak ada yang perlu dikhawatirin juga. Bawa santai aja, Di." "Maksud lo apa, hah? Pernikahan itu sangat sakral, mana bisa kita main-main sama pernikahan. Dosa baginya jika terjadi perceraian. Dan itu sangat dibenci Tuhannya." "Bapak Ustad Aldi bin haji Mikail sedang melangsungkan dakwahnya. Mari para hadirin sekalian yang bersedih hati, bila ada yang mau bertanya cukup acungkan jempol kakinya," kata Alan melantur dengan gerakan-gerakan tangan seperti sedang berdakwah. Aldi yang kelewat kesal dengan tingkah aneh adiknya itu. Ia mengambil bantal sofa dan melemparnya berkali-kali sambil sumpah serapah. "Woy! Diem napa!" sentak Alan tak suka. Aldi berhenti melempar bantal sofa dan kembali duduk dengan lesu. "Lan, bantuin gue dong. Gue gak mau dijodohin. Ini tuh bukan zamannya Siti Nurbayan lagi," ucap Aldi lesu dan terlihat berpasrah. Lelaki itu merasa tidak laku saja sampai harus dijodohkan begitu. "Siti Nurbaya, oon! Emangnya penyanyi tut mbomu." Alan mendelik sinis. "Sorry man, gue gak bisa bantu lo kali ini. Gue pergi dulu ya, mau ketemu calon bini. Tatah abangku sayang." Suara Alan semakin menghilang dibalik pintu. Aldi menghela nafas dengan kasar sambil menggeleng. "Salah apa gue sampe punya kembaran b**o kayak dia." ●▪●▪● Di rumah sederhana yang sejuk karena di sisi rumahnya ditumbuhi pohon besar dan rindang. Seorang gadis sedang bersenandung di kursi kayu bawah pohon. Gadis itu sedang menunggu jemuran milik Ibunya yang beberapa menit yang lalu berteriak memintanya untuk menjaga. Baju kesayangan Ibunya dikotori oleh kotoran burung, sehingga harus dicuci lagi. Maka dari itu, gadis yang bernama Arina itu harus menjaga jemurannya agar tidak ternodai lagi. "Rin, sini lu!" Perintah seorang pria paruh baya yang berada di depan teras rumahnya. Sambil melambaikan tangan untuk menyuruh sang anak untuk mendekat. "Apaan sih, Beh? Lagi disuruh nungguin jemuran sama Mimom." "Sini dulu lu, Babeh mau ngomong!" teriaknya sekali lagi. Karena jarak mereka lumayan agak jauh. Mendengar Ayahnya seperti ingin membicarakan hal penting, gadis itu menurutinya. Ia juga mengikuti Ayahnya masuk ke dalam rumah. "Ada apa sih, Beh?" "Nyak, lu mana?" tanyanya balik. "Dapur kali," sahut Arina dengan malas. Dia malah mengigiti kukunya dan membuangnya begitu saja di hadapan Ayahnya. "Panggilin dulu noh. Babeh gak mau mulai kalo belum ada Nyak lu," ucap pria itu. "Mimom, kamhir!" Lantas pria itu menggeplak mulut anak gadisnya dengan peci yang dipakai. Gadis itu langsung mengelus bibirnya yang terasa panas "Babeh jahad, huwaaa." "Siapa yang ngajarin lu buat gak sopan gitu, hah? Gue juga pan pernah bilang, jangan panggil Nyak lu dengan sebutan Mimom lagi. Eneg gue dengernya, kagak usah lu manggil-manggil gituh. Muka udah bener-bener kampungan, masih aje dibilang sok orang kaya." "Yeuu si Babeh. Itu kan kemauannya si Mimom. Marahnya juga ke Mimom dong jangan ke Arin." "Diem lu! Lagian elunya juga mau-maunya disuruh gituh sama Nyak lu." "Beh ... jangan salahin Arin dong—" Dari arah dapur seorang wanita dengan usia yang mencapai limapuluh tahun itu, datang dengan wajah berseri-seri. "Ada apa sih teriak manggil Mimom gituh?" "Elu, sini duduk! Gue mau ngomong penting." "Ya alloh bang, biasa aje napa kagak usah ngegas gituh. Sama bini tuh harus baek-baek, bang!" Pria yang menjadi kepala keluarga itu namanya Jaelani, mendengus kesal mendengar cerocosan istrinya, Siti. "Tadi pak Adam telepon gue," ucap Jaelani yang langsung dipotong oleh istrinya. "Sahabat abang yang dulu itu, yang kaya raya kan? Yang punya perusahaan gede di Jakarta, ya? Yang punya ntu hotel yang deket sama kampung kita kan? Mau ngapain bang?" Dan Jaelani langsung menatapnya sinis. "Siti, bisa gak elu gak maen potong omongan gue. Gue belum selese ngomong." "Ya maap, bang. Aye kan penasaran." "Makanya denger dulu!" kata Jaelani agak menyentak. "Dia bilang mau jodohin salah satu anaknya sama anak kite." Arina yang sejak tadi diam saja, seketika menegakkan tubuhnya ketika Jaelani langsung menatapnya. Wah, pasti ada yang tidak beres kalau diberi tatapan seperti itu. "Gak mungkin sama Arin kan, Beh? Mana mungkinlah, Arin kan baru aja lulus SMA." Arina tertawa garing sembari menatap orang tuanya bergantian. "Terus kalo gak sama lu, sama siape lagi? Anak Babeh cuma berdua, elu sama si Zaki. Mana mungkin gue jodohin abang lu sama anak pak Adam, anaknya dia laki semua." "Beh!!" rengek Arina. Tanpa dipertegas Arina sudah tahu bahwa incaran Jaelani pasti dirinya. Gadis itu kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan wajah mengenaskan. "Arin belum siap nikah, Beh. Masih delapan belas tahun juga." "Sebenarnya Babeh juga mau nolak. Babeh juga sayang sama lu, Rin. Tapi dia maksa jodohin anaknya sama lu. Katanya dia pengen anaknya itu dewasa dengan cara kawin gini, mungkin aja ada perubahan," jelas Jaelani. "Kasian juga Rin, dia cuma punya anak dua tapi belum pada dewasa semua. Sedangkan dia kan sakit-sakitan, siapa juga yang mau ngurus usahanya kalo merekanya gituh," lanjutnya. "Iya Rin, terima aja. Pak Adam tuh kaya, dijamin dah idup lu bakal seneng. Daripada sama kite yang gini-gini mulu. Kasian Mimom mah sama lu. Jadi mau, ya!" bujuk Siti. Siapa yang tidak senang anaknya bisa menikah dengan orang kaya. Siti punya pemikiran jika Arina menikah dengan anak dari sahabat suaminya, pasti hidup Arina akan lebih baik. "Lu tenang aja Rin, dia gak bakal apa-apain lu sebelum lunya mau. Pak Adam tadi ngomong gituh sama Babeh." Arina masih cemberut. Bayangkan saja diusia mudanya ia malah dijodohkan dengan orang yang tidak dikenal. Lalu ia harus menikah muda begitu? Bagaimana kalau calonnya orang yang gak bener? Bagaimana kalau dia ternyata tukang selingkuh, atau lebih parahnya hobi menyiksa? "Yaudah deh, Beh. Tapi Arin mau karena pengen batuin pak Adam aja," putus Arina akhirnya, meskipun masih ada keraguan. Jaelani terseyum tipis. Ia tahu masih ada keraguan pada anaknya itu. Tapi ia juga tidak bisa menolak permintaan sahabat lamanya yang sudah banyak membantunya. Walaupun tidak akan bisa membayarnya dengan uang, tapi dengan cara seperti ini ia bisa membalasnya dengan cara balas budi. "Maafin Babeh, Rin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD